Saya tak pusingkan soal feature itu. Namun betapa kagetnya saya ketika tahu bahwa feature saya itu didesposisi Gubernur Jakarta Wiyogo Atmodarminto untuk dibantu. Klipingan feature saya disertakan di sebuah lembar surat. Saya senang dan bangga.
Dua bulan setelah itu saya pun main ke sekolah darurat bagi anak-anak pemulung itu. Belum sampai kaki saya tiba di sana. Sang guru yang saya wawancara dulu sudah berlari dan memeluk saya. Air matanya jatuh. Saya kaget bukan kepalang. Ternyata karena feature saya itu, sekolah mereka dibenahi. Buku-buku diberikan. Sang guru dan anak-anak pemulung itu bahagia. Setidaknya jika hujan turun mereka tak kebasahan. Ada senyum mereka.
"Terima kasih Mas. Karena tulisan Mas, kami kini diperhatikan. Kami dibantu. Terima kasih ya Mas, " kata sang guru.
Kami sempat ngobrol. Saya pun mendatangi anak-anak pemulung itu. Satu per satu memeluk saya. Pantang bagi saya untuk terhanyut dalam air mata bahagia itu apalagi di depan anak-anak.
Akhirnya kami pun berpisah karena hari sudah petang.
Kejadian itulah yang saya sampaikan kepada mahasiswa saya: mengapa hingga usia senja, saya masih menapaki prosesi sebagai jurnalis. Paling tidak menulis dan menulis. Tidak kaya memang. Tapi lebih mulia karena menjadi berkat bagi banyak orang.
Mahasiswa saya pun diam. Waktu sudah di ujung. Kelas melalui google meet dan gooegle class room pun bubar! Di balik jendela ruang kerja hujan mulai menangis. Hujan kembali turun dan bau tanah basah menyeruak di antara semilir angin menuju senja. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H