Kondisi ini jauh berbeda dengan Jakarta. Ruang publik tergerus pembangunan  fisik yang luar biasa. Mal terus bertambah meski belakangan banyak pusat belanja modern yang juga perlahan ditinggal pembelinya akibat bisnis daring.
Banyak kawasan yang semula direncanakan bukan menjadi kawasan bisnis dipaksa beralih fungsi menjadi kawasan komersial. Mal salah satunya. Kabarnya jumlah mal di Jakarta sudah melebihi angka 170 lebih. Itu jelas melebihi batas ideal dari jumlah penduduknya.
Jangan hanya mengatasnamakan kota modern, globalisasi dan perdagangan internasional bahkan sekadar menyongsong era yang disebut Sekjen PBB ketika itu, Kofi Anan sebagai urban milenium. Di era itu, masalah perkotaan akan menjadi tema sentral yang bakal sering diperbincangkan. Sebanyak 60-70 persen penduduk dunia berkumpul dan hidup berinteraksi di kota besar.Â
Tanpa disadari, para pengembang membangun mal untuk menjawab depresi dan stres warga Jakarta. Suasana di rumah dicoba dihadirkan di mal. Makan bersama yang menjadi tradisi ketimuran dihadirkan melalui sajian kuliner di mal-mal.
Pengembang berlomba mengembangkan ide mereka untuk membangun pusat belanja yang memiliki banyak fungsi. Tanpa disadari, fungsi taman kota pun hilang. Invasi kawasan hijau menjadi kawasan komersial karena penegakan tata ruang wilayah di Jakarta yang sama sekali lemah. Gubernur Wiyogo Atmodarminto pernah berujar. Katanya, posisi Jakarta begitu lemah saat bargaining dengan pihak swasta dalam membangun. Akhirnya, lahan-lahan di Ibu Kota sepenuhnya menjadi milik pengembang.
Menarik apa yang dikatakan mantan Wali Kota Bogoto, Kolombia, Enrique Penalosa ketika hadir dalam sebuah seminar di Jakarta beberapa tahun silam. Ia mengatakan, pembangunan mal di kota-kota besar tidak selamanya menunjukkan citra positif. Malah, sebaliknya bisa negatif. Penalosa menilai ciri-ciri kota sakit bisa dilihat dari banyaknya jumlah mal. Makin banyak jumlah mal, makin sakitlah kota tersebut. Itu karena pembangunan mal dipastikan memangkas ruang publik.
Kota yang baik, menurutnya, kota yang bisa menyediakan kebahagiaan bagi penduduknya yang bukan diukur dari pendapatan per kapita atau kemajuan teknologinya. Kota yang baik membutuhkan tempat untuk penduduk berjalan kaki dan berkumpul bersama.
Ketika mal menggantikan ruang publik sebagai tempat bertemu warga, kota itu bisa dicirikan sebagai kota sakit. Itu karena mal tanpa sadar menciptakan jurang antara si kaya dan si miskin.
Lantas, pertanyaannya: sudah sehatkah Jakarta?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI