Mohon tunggu...
Norman Meoko
Norman Meoko Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis

Menulis Tiada Akhir...

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Bang Ali, Cerita Sukses Sebuah Kota

8 Desember 2017   17:22 Diperbarui: 8 Desember 2017   17:30 846
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BANG Ali adalah Jakarta dan Jakarta adalah Bang Ali. Anggapan itu seratus persen benar! Tak ada yang memungkiri kesimpulan itu. Iya, Bang Ali, sapaan akrab Ali Sadikin, Gubernur Jakarta 1966-1977. Bahkan, Bang Ali juga pernah dinobatkan sebagai empu peradaban kota. Sebuah penghargaan yang diberikan Institut Kesenian Jakarta (IKJ) pada 2006 lalu.

Begitu popularnya Bang Ali sehingga ketika membahas soal sosok Jakarta agaknya tidak pas jika tidak juga menyinggung sosok Bang Ali. Letnan Jenderal KKO Purnawirawan yang pernah suatu ketika mendapat kue ulang tahun ke-50 tahunnya pada 7 Juli 1977. Kue itu berasal dari seorang lelaki yang mengaku "rakyat kecil dari Johar Baru." Si lelaki memberi kue itu sebagai tanda terima kasih karena kampungnya tidak becek lagi berkat proyek MH Thamrin. Ketika menerima kue ulang tahun itu mata Bang Alin berkaca-kaca. Air mata menggantung di matanya.

Bang Ali dikenal tegas dan keras. Ia bahkan pernah menempeleng seorang supir karena terbukti membawa truk dan sampahnya berceceran di jalan. Bang Ali ternyata juga bisa lembut selembut salju ketika dia turun langsung ke lapangan menangkap keluhan warganya. Kadang ia datang tanpa ajudan sama sekali. Bang Ali kadang keluar dari aturan protokoler hanya karena ingin mendengar jeritan rakyatnya.

Karena itu, tokoh pers, Mochtar Lubis dalam pengantar buku Bang Ali Demi Jakarta 1966-1977 yang ditulis Ramadhan KH menyatakan, Jakarta dan Indonesia beruntung mempunyai seorang putera Indonesia seperti Bang Ali yang dengan ketetapan hati menerima tugas dan tanggung jawab yang demikian berat ketika dilantik Presiden Ir. Soekarno menjadi gubernur Jakarta tahun 1966. Saat menjadi gubernur Jakarta, perekonomian negeri ini benar-benar terpuruk. Jakarta sama sekali tidak menerima kucuran bantuan sepeser pun dari pemerintah pusat. Bang Ali pun lantas memutar otak. Ia lantas melegalkan praktik perjudian meski tahu resikonya: ditentang habis oleh tokoh agama ketika itu.

Tak salah Ir Soekarno mengangkat Bang Ali. Ternyata perwira marinir ini dikenal "keras kepala" dan "berani". Jakarta ketika itu memang menbutuhkan seorang gubernur yang keras kepala dan berani. Dan, pilihan itu jatuh kepada seorang Ali Sadikin alias Bang Ali.

Banyak pihak yang memuji sosok Bang Ali bahkan hingga kini. Pria kelahiran Sumedang, Jawa Barat ini belakangan menjalankan program "menggusur dan membangun" dan tetap dicintai rakyatnya. Ia begitu favorit di mata rakyatnya. Dia mampu menangkap masalah secara komprehensif dan mencetuskan solusi yang menjadi tantangannya.

Bang Ali pernah bertutur. Begini, "Ayah saya merakyat, keras dan disiplin." Nilai itulah yang kemudian mengalir dalam darah Bang Ali. Sang ayah yang mendirikan dan menjadi guru sekolah pertanian di Tanjungsari, Sumedang, Jawa Barat selalu mengajarkan bagaimana hidup merakyat. Bergaul dengan rakyat dan berani membuang keturunan ningkrat keluarganya dan menguburkan dalam-dalam budaya feodal.

Salah satu prinsip yang patut dipuji dari seorang Bang Ali adalah dirinya terbuka terhadap kritik. Dia tidak alergi dengan hal itu. Hal itulah yang kemudian melahirkan apa yang belakangan dikenal sebagai Lembaga Bantuan Hukum (LBH). LBH dibentuk Bang Ali. Salah satunya tujuannya adalah untuk mengawasi kinerja aparatnya termasuk dirinya. Selain itu, LBH juga menjadi wadah bagi rakyat kecil mengadu; menyampaikan keluhan dan uneg-unegnya. Hingga kini LBH masih berdiri tegar.

Dalam buku Gita Jaya, Bang Ali mengungkapkan apa yang dipikirkannya ketika menjadi gubernur DKI Jakarta. Ia sadari bahwa mengelola Jakarta tidak bisa hanya memikirkan bagian per bagian, memikirkannya secara parsial. Pengelolaan Jakarta adalah "rangkaian yang saling berkaitan dari subsistem sarana dan prasarana, subsistem sosial budaya, subsistem ekonomi kota dan subsistem politik dan pemerintahan.

Bahkan, Bang Ali selalu melihat sebab, akibat dan pengaruh satu kebijaknnya terhadap kebijakan lainnya dan sasaran pembangunannya adalah manusia. Dengan kata lain, tertulis atau tidak, pembangunan Jakarta sebagai metropolitan berlandasan satu konsep yang padu, jangka panjang dan semua itu ditujukan untuk manusianya. Sama sekali jauh dari kepentingan politik atau balas budi. Atau ingin tampil beda sehingga mengobrak-abrik kebijakan yang sebelumnya pernah ada.

Goenawan Mohamad (GM) berpendapat sukses Ali Sadikini adalah menbuat Jakarta percaya pada dirinya sendiri. Katanya, dalam sejarah Jakarta, setidaknya ketika dia datang ke kota ini di tahun 1960, baru Ali Sadikin-lah yang berhasil membuat kota ini percaya dirinya sendiri.

Di bawah kepemimpinannya, Jakarta mengatasi lethargy yang menahu, mengatasi suasana lembek dan lamban, mengatasi sikap syak akan perubahan. Berangsur-angsur kota ini mengatasi sikap curiga kepada pelbagai hal yang baru dan melawan sikap pasrah yang menganggap bahwa yang buruk tidak akan bisa diubah menjadi baik.(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun