Sebatang riuh angin pedihkan mata
derai air mata berjatuhan di tanah pipi
namun segera tersapu sang bayu
jemari lentik mencolok kelopak
gelaplah sudah pandangan hati
robohkan pandangan
kaburkan perintah
rupa yang abstrak itu selalu muncul tak tentu waktu
menerjang kapan saja
tak peduli basah atau keringnya hati
ia lumat semua sisakan puing-puing saraf yang terpecah
dan angin tetap berdesis
menunggu sikap para petuah
sebelum menari-nari
panggung sandiwara seakan abadi
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI