Dalam kasus terakhir yang saya tahu sendiri adalah weton sudah cocok, tinggal menentukan hari baik untuk pernikahan.
Dihitung dengan pertimbangan-pertimbangan di atas tadi, ketemulah hari yang paling baik. Dan ternyata, ada keluarga yang meninggal di hari baik itu, kedua keluarga tersebut memutuskan tidak jadi menikahkan keduanya. Huhuhu sedih banget…
Lalu bagaimana jika sudah sangat saling mencintai?
Sebelum itu, alasan mengapa harus ada perhitungan dan pertimbangan di atas. Saya lebih suka menyebut itu semua adalah sebab adat. Adat merupakan kebiasaan masyarakat hingga menjadi budaya.
Dengan adanya perumusan weton, adalah produk dari budaya sebagai sarana komunikasi antar kedua keluarga. Bayangkan saja jika membahas hari-hari yang sangat bersejarah dirumuskan dengan biasa saja, tidak adanya hegemoni budaya di dalamnya.
Dalam buku “Dunia Simbol Orang Jawa” karangan Sindung Haryanto menjelaskan bahwa karakter orang Jawa suka menyatakan segala sesuatu dengan tidak langsung.
Filsafat dan pandangan hidup orang Jawa merupakan hasil krida, cipta, rasa, dan karsa sebagai refleksi dari realitas kehidupan (kasunyatan). Pandangan hidup orang Jawa banyak dipengaruhi oleh budaya animisme-dinamisme, Hindu, Budha, dan Islam.
Dan itu semua merupakan simbol bentuk komunikasi yang tidak langsung, artinya di dalam komunikasi tersebut, terdapat pesan-pesan tersembunyi sehingga makna suatu simbol sangat bergantung pada interpretasi individu.
Dalam pandangan agamawan Islam, hitungan weton tidak ada. Sebab bertentangan, karena mendahului kehendak Tuhan dan semua hari itu baik.
Tapi, kembali lagi weton adalah adat yang sudah disepakati oleh masyarakat banyak di Jawa. Adanya ajaran doa empat puluh orang sama dengan satu wali, di mana Tuhan akan mengabulkan doa tersebut adalah ketakutan agamawan Islam.
Karena adat ini sudah membudaya, dikhawatirkan banyak orang membicarakan yang kurang baik akan berakibat terkabulnya omongan tersebut.