Mungkin Engkus memang terlahir sebagai Lelananging Jagad."
Membaca lakon Engkus, tidak sepenuhnya kita bisa memvonis bersalah. Hanya sebab Engkus mendobrak kesepakatan sosial kita tidak bisa mendiskreditkan Lelananging Jagad ini sebagai manusia yang gagal dalam moral masyarakat. Segala peristiwa bisa diamati memiliki hubungan tetap satu sama lain. Tetapi hubungan tetap itu tidak boleh dinilai sebagai hubungan sebab akibat. Dalam kasus Engkus melakukan hubungan seks, berpacaran dan pacarnya mau, tidak bisa disimpulkan bahwa  Engkus adalah seorang yang hypersex (propter hoc).
Sebab yg bisa diketahui hanyalah Engkus melakukan hubungan seks setelah pacarnya mau (post hoc). Yang bisa diamati hanyalah gejala satu menyusul gejala yang lain. Atau dalam kasus lain, membangun tokoh Engkus ini, penulis menceritakan latar belakang keluarga yang dekat dengan Agama dan dari keluarga yang baik-baik, bukan jaminan Engkus menjadi sosok yang diterima oleh kesepakatan sosial.
Atau juga dalam kasus Engkus yang menjadi pelampiasan kang santri saat mukim di Pesantren Al-Qur'an Cicalengka adalah mematahkan kesepakatan bagaimana Engkus dewasa menjadi pemuas wanita. Artinya jika sebab masalalu Engkus menjadikan ia berpikir bahwa setiap hubungan percintaan harus berakhir di atas ranjang, seharusnya ia adalah seorang penyuka sesama jenis. Sekali lagi tokoh Engkus sangat menarik untuk dibahas dengan tidak mengenyampingkan masalalunya.
Pagi dari Bali saya menulis resensi ini. Saya dikejutkan oleh sebuah berita dari BBC News Indonesia. Seorang WNI sekaligus mahasiswa S3 yang telah memperkosa lebih dari 100 pria muda di Inggris. Ternyata pendidikan tak juga mampu menjadi filter untuk melakukan ketidak sepakatan sosial.
Artinya seseorang bisa berbuat sesuatu yang mendobrak kesepakatan sosial sebab individu tersebut, bukan dari lingkungan. Mungkin lingkungan berpengaruh untuk individu tertentu. Tapi kita juga harus bersepakat bahwa ada orang-orang yang tidak bisa dipengaruhi oleh lingkungan individu tersebut.
Saya curiga dengan latar belakang FHP ini sebagai mahasiswa S1 Humaniora dan S2 Filsafat memiliki misi tersendiri. Saudara FHP ingin menampar atau mengkritik orang yang beragama, untuk terus mencari dan mencari benar beragama dan beragama dengan benar itu seperti apa. Atau bisa juga orientasi ranjang ini hanya sebagai kamuflase topik yang mudah dicerna, padahal pointnya bisa juga pada peristiwa yang lain.
Contohnya seorang Agamawan ketika diberi amanah untuk menjabat masih mau berkorupsi, seorang yang berpendidikan ketika diberi amanah tega mencari untung dan membuat orang buntung dan peristiwa kejahatan yang menurut kesepakatan masyarakat bisa diatasi dengan kesepakatan moral masyarakat bersama. Semoga kecurigaan saya ini salah besar.
Kekurangan dari novelet ini, pada akhir novelet yang menggantung "mungkin" menjadi ketidaksempurnaan dari karya ini. Saya tidak tahu ini merupakan suatu unsur kesengajaan atau memang unsur yang tidak sengaja.
Selamat berkenalan dengan seorang Engkus!
Denpasar, 7 Jan 2020