Setelah 15 January setahun yang lalu, tak ada satupun ucapan selamat yang kualirkan untukmu. Tahun ini, ku ucapkan banyak selamat, juga do’a yang lebih banyak serta lebih tulus untukmu, sayangku, yang Insya Allah akan segera menjadi imamku.
Hey, kamu ingat tanggal yang sama setahun yang lalu, Sayang? Waktu itu kau sibuk menyasarkan diri, mencari alamat rumahku! Kau juga rela membayar lebih pada seorang pengayuh becak demi berleha-leha di atas kendaraan roda tiga itu. Bayangkan kala itu kau membayar dengan mata uang berwarna biru bergambarkan tokoh pahlawan Indonesia yang berasal dari Bali. Harga yang bisa dibilang mahal untuk kayuhan becak berjarak kurang lebih tujuh kilometer. Luar biasanya lagi, kamu bahkan masih sempat memintaku menyiapkan segelas air penghilang dahaga untuk si bapak tukan becak itu. What? Tidakkah kau lihat si bapak itu? Saking girangnya, ia mungkin akan langsung pulang ke rumahnya tanpa melanjutkan pekerjaannya hari itu.
Hari itu adalah kali pertama kita bertemu. Masih ingat, apa yang kau kenakan hari itu? Setelan kemeja tanpa kancing, dengan kaus putih untuk dalaman. Warnanya biru muda dengan aksen garis vertical. Cukup bisa menutupi perut buncitmu agar terlihat langsing tentunya. Jujur, aku suka wangimu. Wangi dari sebotol parfum maskulin yang membuatku merasa segar. Sejak itu, aku suka berdekatan denganmu. Ada aroma yang tak bisa ku lupakan. Lebih tepatnya, dari hidung menyusup ke otak. Kemudian aku selalu mengingatmu. Ah.
Semakin aku menghindarimu, aku merasa ada yang kurang. Aku suka dengan semua perhatian yang kau berikan. Telingamu yang selalu mendengarkan segala hal yang keluar dari mulutku. Kau bahkan tak pernah mengeluh bila aku selalu mengulang cerita yang sama. Aku rasa, aku kecanduan olehmu.
Kamu masih ingat, komitmen apa yang pertama kali kita laksanakan? Aku bahagia, bisa mencium telapak tangan kananmu saat kita akan berpisah sementara waktu kala itu. Perpisahan yang manis di malam minggu dalam sebuah terminal. Meskipun tak lama kemudian kamu kembali datang. Kau membuatku terharu. Aku tau kau akan kembali datang, sayang. Dan dua bulan kemudian, kita resmi berpacaran. Ya, pacaran. Tapi tak lama, Â delapan bulan kita pacaran, kemudian berlanjut dengan prosesi lamaran. Aku mantab, dan menjatuhkan pilihan padamu. Aku berharap, aku tak pernah salah dalam memilihmu. Aku juga mencintaimu, aku percayakan segala yang baik padamu setelah Allah dan kedua orangtua.
Tak banyak potret sebingkai yang kita ambil tiap kita bertemu dulu. Mungkin waktu itu aku masih ragu padamu. Aku terlalu takut kau tiba-tiba kabur. Picik memang, pikirku. Tapi Allah maha tahu segalanya. Ku pasrahkan jodohku pada yang maha kuasa. Mungkin kau adalah jawabannya. Dan aku bahagia, sebab ada seseorang yang jiwanya seperti malaikat menjaga hidupku, menjaga senyumku. Ia adalah kamu. Tak pernah kau membiarkanku mengerutkan wajah, kau memberiku segala hal yang ku rasa cukup.
Sayang, kamu masih ingat ketika pertama menghadap kedua orangtuaku? Apa janjimu padaku waktu itu? Masih ingatkah? Sampai sekarang, kau masih berhutang beberapa janji untukku. Jika kau sudah resmi melamarku sebagai akhir hubungan pacaran kia, tentu kau sudah tahu langkah selanjutnya bukan? Aku menunggu, dan selalu berdoa untuk hal itu. Ada rasa bangga bila setiap hari aku berdoa, menengadahkan kedua tangan di hadapan sang maha kuasa. Ku doakan untuk kesehatan, keselamatan dan kemudahan jalanmu mencari rejeki yang halal, calon suamiku. Ku doakan pula agar hubungan kita cepat menjadi halal. Agar tak ada godaan haram yang menghadang di tengah perjalanan.
Memiliki dan dimiliki oleh mu adalah sebuah kebahagiaan. Aku senang bisa merasakan itu. Dan harapanku kedepan adalah, tetap merasakan kebahagiaan seperti ini sampai akhir hayat. Kamu tahu? Aku meminta pada Tuhan untuk mencabut nyawaku terlebih dahulu bila kita sudah menikah, punya anak, mantu, cucu juga cicit. Aku masih egois. Aku ingin kau merawat makamku dan tak lupa berdoa untukku setiap waktu, agar Tuhan mengampuni segala dosaku. Insya Allah, di dunia baka sana, kita akan bertemu lagi. Amin.
Sayang, seperempat abad lebih setahun sudah usiamu. Yang aku kenal, adalah kamu sebelum menginjak seperempat abad. Yang aku hafal dengan kebiasaanmu adalah tak pernah ingin jauh dari aku, selalu ingin tahu apa yang sedang ku kerjakan. Kamu bahkan pernah terus-terusan mengintaiku. Hai tampan, aku ini milikmu. Apa masih perlu pengintaian yang seperti itu? Yang aku ingat lagi, kamu selalu mendengkur setiap pulas tertidur. Dan setiap mendengarnya, aku seolah ingin mengamuk. Benar.
Sayang, selamat ulang tahun ya? Aku tahu, menyedihkan karena tahun ini kita berjauhan dan aku tak dapat berada disisimu dalam hari istimewa pergantian usia. Hanya kalimat-kalimat yang tak berarti dan rangkaian doa yang tersusun dalam sebuah judul yang mampu ku berikan untukmu. Sayang, pertambahan usia berarti mengurangi masa hidup di dunia. Untuk itu, perbaikilah hubunganmu dengan Tuhanmu, Tuhan kita Allah SWT. Aku senang kau selalu rajin mengaji. Kamu bahkan membelikanku sebuah mushaf bersampul kulit berwarna merah bata yang setiap selesai sholat fardhu, ku sempatkan membacanya lembar demi lembar.
Suatu hari, akan ada gelaran sajadah panjang yang menyaksikan simpuhan kita. Ku amini segala doa-doa yang kau panjatkan. Juga ku dukung segala usaha dari niat baikmu. Juga menuruti segala perintah juga keinginamu yang tentunya baik untukku.
Belum ada bingkisan yang bisa ku berikan padamu. Aku yakin, kau tak terlalu mengharapkan itu. Karena cinta yang selalu ku pupuk untukmu jauh lebih kau harapkan. Sayang, semoga kau berusia panjang. Juga selalu mendapatkan rahmat, ridho yang baik dalam segala hal. Kesehatan, keselamatan juga kemudahan dalam memilih yang baik. Aku berdoa semoga kita selalu berjodoh. Amin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H