Mohon tunggu...
Norika Dewi
Norika Dewi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

a reader, a listeners..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mirna

7 Juli 2011   05:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:52 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku terpagut, diam mengamati supucuk undangan pernikahan yang tergeletak di atas meja ruang tamu ketika memasuki bagian depan rumah.

“Ndo..”

Panggilan Bapak memenuhi ruangan dan masuk sempurna dalam dua telingaku. “Ada ulem saking Suman” lanjutnya tanpa menunggu sahutan dari panggilannya. Aku masih diam saja, kemudian ke tinggalkan Bapak yang masih sibuk mengelapi gendang kesayangannya.

“Dia mau menikah, dan orangtuanya menyewa group musik kita untuk memeriahkan pesta pernikahannya” Bapak masih menceracau.

Tak lagi ku pedulikan suara Bapak. Kini aku sudah lemas menggeletak di atas dipan. Air mataku perlahan membasahi pipi dan bantal bersarung merah motif bunga mawar kado pernikahanku beberapa tahun yang lalu. Sambil sibuk menahan isakan tangisku yang mulai pecah, sayup-sayup ku dengar suara bapak yang mulai renta di makan usia.

Dan seandainya dulu aku dan Suman sama-sama sibuk mengejar toga, hasil dari pendidikan diploma atau strata satu, mungkin kini aku yang dinikahinya. Mungkin kini statusku bukanlah seorang istri yang ditinggal suami yang masuk bui. Aku masih ingat, kala itu enam tahun yang lalu, Suman sibuk mengajakku seleksi masuk ke Perguruan Tinggi Negeri yang kini diistilahkan dengan SNMPTN.



Tapi dasar nasibku yang malang, ketika positif di terima di PTN di kota Pahlawan, aku justru dengan mudah mengabaikan hal itu. Sedang Suman kerja keras di sokong moral serta materi dari orangtuanya pergi ke kota Pelajar mengejar gelar yang siap di sandingnya empat tahun ke depan.

Aku justru menghabiskan waktu empat tahunku itu keliling panggung, membidu pria-pria hidung belang yang suka berdendang. Menghibur tiap gelar hajat pernikahan atau khitanan di desa-desa. Jauh dari manisnya kehidupan orang-orang yang berpendidikan tinggi serta punya pergaulan.

“Sudah, Ndo. Buat kamu kamu kuliah? Ngabisin biaya” komentar Bapak kala itu. “Kamu lulus SMU aja udah bagus, perempuan itu yang bisa baca tulis aja udah cukup” lanjut Bapak ketika memintaku mulai menjadi biduan di sanggar musik kelilingnya. Kala itu yang ada dalam pikiranku adalah bagaimana aku bisa mengejar pendidikanku setinggi mungkin, mencari pekerjaan layak dan keluar dari keterpurukan pergaulan sosial yang selama ini membelenggu keluargaku.

Tapi tidak. Bapak tak hanya memintaku menjadi seorang biduan, bapak juga menikahkaku dengan Puang, pria yang usianya12 tahun jauh dari usiaku karena begitu banyaknya hutang Bapak untuk membiayai sekolahku. Dan ketika suamiku di tangkap polisi atas aduan kekerasan rumah tangga yang menimpaku, Bapak tak punya banyak komentar selain menyuruhku untuk kembali tinggal di istana yang membesarkanku dan tempatku membesarkan Mirna kecil agar tak bernasib sama seperti Mirna Ibunya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun