Mohon tunggu...
Norbertus Krisnu Prabowo
Norbertus Krisnu Prabowo Mohon Tunggu... Guru - STEM Educator

Norbertus Krisnu Prabowo currently works as a chemistry teacher and STEM Facilitator at SPK SMAK PENABUR KELAPA GADING, Jakarta 14240, Indonesia. He received his bachelor’s degree in Chemistry from University of Indonesia in 2007. At the present time, he is taking his postgraduate degree in chemistry education at the Department of Chemistry Education, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Universitas Negeri Jakarta, Jakarta 13220, Indonesia. His current research interests are Arduino, green chemistry, STEM Education, and digital learning.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Krisis Literasi Sains: Menghadapi PISA 2025 (Science Framework)

15 November 2023   15:47 Diperbarui: 15 November 2023   19:02 403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Krisis Literasi Sains: Menghadapi PISA 2025 (Science Framework)

Organisasi untuk kerja sama ekonomi dan pembangunan (OECD) akan merilis secara global hasil survei Programme for International Assessment (PISA) tahun 2022 di awal Desember 2023 ini. PISA merupakan studi internasional di bidang pendidikan bagi siswa berusia 15 tahun. Studi ini bertujuan mengamati kemampuan membaca, matematika, dan sains siswa, guna mendorong peningkatan sistem pendidikan di suatu negara. PISA 2022 terfokus pada bidang matematika dan kemampuan creative thinking. Sebelumnya, hasil PISA tahun 2018 memberikan sejumlah data yang menarik, seperti tingkat performa keseluruhan peserta didik perempuan secara signifikan lebih baik daripada performa keseluruhan peserta didik laki-laki di Indonesia, dan socio-economic status menjadi faktor terkuat pada kemampuan literasi. Hanya sebesar 14% peserta didik dalam kondisi socio-economic status rendah mampu memberikan perfoma kemampuan literasi yang tinggi.  Secara keseluruhan,  rata-rata performa sains berada pada ranking 67 dari 75 negara-negara OECD. 

Pada tahun 2025 nanti, PISA akan meluncurkan PISA 2025 Science Framework, dimana akan mengukur seberapa kuat negara-negara mempersiapkan siswa-siswanya dengan pemahaman sains dan mengaplikasikannya. Hal ini sangat penting, karena setelah keluar dari krisis pandemi Covid-19, seluruh fenomena yang berkaitan dengan literasi sains seperti kesehatan dan lingkungan sudah harus berada pada tingkat awareness di dalam keluarga, komunitas lokal, dan masyarakat.  Setiap individu sebagai warga negara harus berpikir seperti ilmuwan (think like a scientist).  

Sukses di lingkungan di mana “Google mengetahui segalanya”

Literasi sains didefinisikan sebagai kemampuan menggunakan pengetahuan sains untuk mengidentifikasi masalah, mengajukan pertanyaan, memperoleh pengetahuan baru, menjelaskan fenomena ilmiah dan menyimpulkan berdasarkan bukti-bukti ilmiah. Kemampuan ini sangat dibutuhkan dalam rangka memahami serta membuat keputusan. Di dalam lingkungan global sekarang ini, kesuksesan didikte oleh tingkat kemampuan berpikir kritis, pemecahan masalah kompleks, dan kemampuan literasi sains. Salah satu dari kemampuan literasi sains adalah kemampuan dalam menyaring informasi sains. Dalam menumbuhkan literasi sains diperlukan aktivitas hands-on yang padat dan pembelajaran yang mampu melatih peserta didik untuk membedakan bukti ilmiah (scientific evidence) dengan misinformation.

Kemajuan teknologi memang memberikan kemudahan. Akan tetapi,  hal ini perlu diimbangi dengan kemajuan kemampuan literasi juga. Sebagai contoh, penggunaan Artificial Intelligence (AI) kedepannya berpotensi membingungkan peserta didik di sekolah diantaranya perbedaan “pengetahuan (knowledge), ilmu pengetahuan (science), dan informasi (information).” Tujuan peningkatan literasi sains harus berpusat untuk mendidik siswa agar mampu membedakan ketiga hal tersebut. Secara deskripsi, informasi adalah data mentah atau fakta yang diterima umum, pengetahuan melibatkan pemrosesan dan pemahaman informasi, dan ilmu pengetahuan melibatkan metode ilmiah untuk membangun pengetahuan yang dapat diverifikasi dan diterapkan secara lebih luas.

Siswa dan guru sebagai  “Young Scientists” 

Penting untuk secara berkelanjutan mengadopsi mindset 'Siswa dan guru sebagai  Young Scientists'. Berpikir seperti seorang ilmuwan tidak terbatas pada mereka yang bekerja dalam disiplin ilmiah formal saja. Kata “penelitian” bukan hanya untuk tingkat perguruan tinggi, tetapi untuk seluruh tingkat pendidikan. Peserta didik tingkat TK/SD pun dapat melakukan penelitian sains yang sesuai dengan tingkat kemampuannya. Normalisasi pendekatan pembelajaran melalui penelitian harus menjadi prioritas. Hal ini secara berkelanjutan akan berpengaruh pada kemampuan literasi sains siswa Indonesia kedepannya. Siswa dan guru harus memiliki mindset tugas sebagai seorang ilmuwan, yaitu:

  • Melakukan penelitian ilmiah untuk mengeksplorasi fenomena alam, menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam diskusi, dan open-minded terhadap temuan-temuan yang dilakukan bersama.
  • Mengikuti etika penelitian dengan menerapkan prinsip-prinsip etika penelitian, termasuk perlindungan subjek penelitian, integritas data, izin orang-tua, dan transparansi dalam melaporkan hasil.
  • Merumuskan hipotesis sederhana berdasarkan observasi atau literatur ilmiah, yang kemudian diuji melalui eksperimen hands-on.
  • Merancang dan melakukan eksperimen untuk mengumpulkan data yang dapat diandalkan dan relevan untuk menjawab pertanyaan penelitian. 
  • Menganalisis data sederhana dengan menggunakan metode statistik atau alat analisis lainnya.
  • Menulis dan menerbitkan hasil penelitian dalam jurnal ilmiah atau mempresentasikan hasil penelitian.


Beberapa pendekatan pembelajaran di tingkat sekolah dapat mendukung aktivitas ini, seperti pembelajaran berbasis STEAM (Science, Technology, Engineering, Arts, and Mathematics), Problem-based learning, dan seluruh pola pembelajaran dalam kategori discovery dan inquiry learning. Hal ini sudah menjadi best-practice dari guru-guru penggerak. Akan tetapi, diperlukan propagasi yang lebih cepat untuk benar-benar bertransformasi dari teacher-centered menuju student-centered. Kata “penelitian” harus menjadi culture di lingkungan sekolah dan bercampur dengan aktivitas belajar secara natural. Dengan demikian, kita akan siap dan semangat menghadapi PISA 2025.


References:

White, P. J., Ardoin, N. M., Eames, C., & Monroe, M. C. (2023). Agency in the Anthropocene: Supporting document to the PISA 2025 Science Framework.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun