Mohon tunggu...
Norberth Javario
Norberth Javario Mohon Tunggu... Konsultan - Penjaga Perbatasan

Menulis semata demi Menata Pikiran

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Sebuah Permainan Solidaritas Bernama Tilang

17 Juni 2024   20:52 Diperbarui: 19 Juni 2024   15:56 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi tadi, saya diberitahu salah seorang teman agar berhati-hati saat berkendara di seputaran Kota Atambua karena diadakan tilang. Saya sedikit kaget sebab dengan sendirinya ia menganggap saya dan motor saya tak layak jalan. 

Entah dari segi mana ia menilai demikian, padahal motor saya dalam kondisi lengkap. Tak ada satu komponen pun yang kurang, bahkan penutup pentil pun terpasang! Atau mungkinkah ia merasa STNK atau SIM saya kadaluwarsa? Dari mana ia tahu? Apakah tampang dan aura saya nampak seperti sorang warga negara yang tak taat aturan pemerintah? Hanya ia dan setan yang tahu.

Meski termangu-mangu dengan penilaiannya, saya menanggapi informasi yang dianggapnya berharga itu dengan sukaria.

"Di mana (lokasi) tilangnya, Bro?' saya mengajukan sebuah tanya tak penting.

"Kaka lihat sa di grup facebook info tilang Atambua," jawabnya dengan dialek timur khas Atambua-Timor, lalu berlalu cepat.

Sungguh, inilah jawaban paling menyebalkan sebab saat ditanya, bukannya memberikan jawaban namun menyuruh si penanya untuk mencari tahu sendiri dengan petunjuk-petunjuk tertentu. Saya termangu-mangu lagi.

Tangkapan layar dari profil Facebook
Tangkapan layar dari profil Facebook

***

Malam ini ada energi tersisa yang membuat saya punya cukup ingatan untuk melaksanakan saran kawan tadi yaitu membuka Facebook dan dengan kata kunci yang diberikan, muncul beberapa yang relevan. Hampir saja saya tersedak air minum yang sementara diteguk saat menemukan bahwa ternyata bukan hanya ada satu grup seperti ekspektasi di awal melainkan ada beberapa!

Oh, rupanya tilang menjadi sesuatu yang dianggap serius oleh sebagian warga Kabupaten Belu. Tanpa perlu mengeklik untuk gabung, saya tahu pasti bahwa anggota grup pasti didominasi para pelanggar hukum yang terdiri dari dua kategori: kelengkapan administrasi (STNK & SIM) serta kelengkapan fisik kendaraan/berkendara (helm, pelat nomor, spion, dll).

Selagi budaya ketimuran kita masih kental di mana kita selalu siap menolong dalam suka maupun dosa serta didorong oleh semboyan "peraturan ada untuk dilanggar," malah ada kesan bangga akan hal itu, lahirlah grup-grup bersejarah yang fundamental ini dalam memberi arti dan makna pelanggaran aturan lalu lintas menjadi suatu permainan cilukba atau sembunyi-sembunyian ala anak-anak yang teramat menarik. Ironisnya, permainan ini dilakukan oleh orang-orang dewasa dengan perasaan riang gembira.

Hal ini bukanlah pepesan kosong karangan saya semata namun langsung dibuktikan pagi tadi di jalur menuju luar kota. Di Kilometer 3 - tepatnya di cabang ke gereja katolik Lolowa - banyak pengemudi roda dua yang tiba-tiba bermanuver lincah memutar arah motornya demi menghindari pasukan berseragam di seberang belokan dekat cabang ke arah SMP 3 sana. Meski protap pasukan penilang diharuskan untuk bersikap ramah namun para pengendara bagai melihat hantu. Ajaibnya, hantu itu tidak menakutkan namun dihadapi dengan senyam-senyum.

Sepengamatan saya, orang-orang bersikap seperti sedang terlibat dalam permainan. Pihak yang lolos menghindari sergapan pasukan penilang bersikap sumringah dan disambut pula dengan ekspresi yang sama dari para penonton di tepi jalan. Persis sebuah permainan, yang berjaga menempatkan diri pada lokasi strategis dalam jarak pandang tak terduga-duga oleh pengendara. Sebaliknya, muncul kehati-hatian pengendara untuk melewati jalur itu. Pada akhirnya mobilisasi kendaraan jadinya berkurang.

Situasi identik saya temukan juga di Kampung Motabuik dan jalan dua jalur Hutan Jati Nenuk. Para pengendara saling mengingatkan dengan bahasa tubuh khas dan mudah dipahami agar lainnya tidak terjebak dalam area tilang. Sontak, para pengendara tak taat hukum yang melaju ke arah kota berbalik arah meski berada pada jalur yang salah. Demikian akhirnya banyak pengendara "terselamatkan", tertolong oleh sesama warga lain meski ia dan kendaraannya tak lengkap.

Seiring waktu berjalan, permainan ini pun berakhir manakala pasukan penilang selesai melakukan tugasnya. Saya jadi paham mengapa teman saya perlu mengingatkan meski ia tak tahu bahwa saya adalah warga negara taat aturan yang sama sekali tak takut ditilang sebab semuanya memenuhi aturan UU. Rupanya itu berawal dari solidaritas sesama pengendara untuk bersatu-padu menghindari "tragedi", persis situasi yang saya amati di pagi tadi.

Saya langsung mahfum kenapa anggota grup sampai ribuan jumlahnya. Tanpa perlu mempersoalkan asal usul berpikir menghindari tilang, dapatlah dikatakan bahwa setiap anggota grup mempunyai tujuan yang sama dan ingin mencapai cita-cita yang sama yakni bebas berkendara semaunya kapan saja dan ke mana saja tanpa perlu memedulikan apa pun. Pada dasarnya, mayoritas anggota grup cenderung mempunyai cara pikir yang sama pula.

***

JAVARIO

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun