Selagi budaya ketimuran kita masih kental di mana kita selalu siap menolong dalam suka maupun dosa serta didorong oleh semboyan "peraturan ada untuk dilanggar," malah ada kesan bangga akan hal itu, lahirlah grup-grup bersejarah yang fundamental ini dalam memberi arti dan makna pelanggaran aturan lalu lintas menjadi suatu permainan cilukba atau sembunyi-sembunyian ala anak-anak yang teramat menarik. Ironisnya, permainan ini dilakukan oleh orang-orang dewasa dengan perasaan riang gembira.
Hal ini bukanlah pepesan kosong karangan saya semata namun langsung dibuktikan pagi tadi di jalur menuju luar kota. Di Kilometer 3 - tepatnya di cabang ke gereja katolik Lolowa - banyak pengemudi roda dua yang tiba-tiba bermanuver lincah memutar arah motornya demi menghindari pasukan berseragam di seberang belokan dekat cabang ke arah SMP 3 sana. Meski protap pasukan penilang diharuskan untuk bersikap ramah namun para pengendara bagai melihat hantu. Ajaibnya, hantu itu tidak menakutkan namun dihadapi dengan senyam-senyum.
Sepengamatan saya, orang-orang bersikap seperti sedang terlibat dalam permainan. Pihak yang lolos menghindari sergapan pasukan penilang bersikap sumringah dan disambut pula dengan ekspresi yang sama dari para penonton di tepi jalan. Persis sebuah permainan, yang berjaga menempatkan diri pada lokasi strategis dalam jarak pandang tak terduga-duga oleh pengendara. Sebaliknya, muncul kehati-hatian pengendara untuk melewati jalur itu. Pada akhirnya mobilisasi kendaraan jadinya berkurang.
Situasi identik saya temukan juga di Kampung Motabuik dan jalan dua jalur Hutan Jati Nenuk. Para pengendara saling mengingatkan dengan bahasa tubuh khas dan mudah dipahami agar lainnya tidak terjebak dalam area tilang. Sontak, para pengendara tak taat hukum yang melaju ke arah kota berbalik arah meski berada pada jalur yang salah. Demikian akhirnya banyak pengendara "terselamatkan", tertolong oleh sesama warga lain meski ia dan kendaraannya tak lengkap.
Seiring waktu berjalan, permainan ini pun berakhir manakala pasukan penilang selesai melakukan tugasnya. Saya jadi paham mengapa teman saya perlu mengingatkan meski ia tak tahu bahwa saya adalah warga negara taat aturan yang sama sekali tak takut ditilang sebab semuanya memenuhi aturan UU. Rupanya itu berawal dari solidaritas sesama pengendara untuk bersatu-padu menghindari "tragedi", persis situasi yang saya amati di pagi tadi.
Saya langsung mahfum kenapa anggota grup sampai ribuan jumlahnya. Tanpa perlu mempersoalkan asal usul berpikir menghindari tilang, dapatlah dikatakan bahwa setiap anggota grup mempunyai tujuan yang sama dan ingin mencapai cita-cita yang sama yakni bebas berkendara semaunya kapan saja dan ke mana saja tanpa perlu memedulikan apa pun. Pada dasarnya, mayoritas anggota grup cenderung mempunyai cara pikir yang sama pula.
***
JAVARIO
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H