Sudah dua hari ini, serasa ada yang tak beres di punggung kiri. Menunduk terasa susah, mengangkat benda berat jadi sulit, digerakkan berputar-putar menyerupai baling-baling, kok, terdengar bunyi krek berulang-ulang. Seperti ada urat bertaut dan beradu. Meski dari luar nampak baik-baik saja, tapi sejatinya ada rasa tak nyaman yang menganggu. Memang saya tak meringis menahan tangis - wajah imut ini tak menunjukkan ekspresi menahan nyeri apalagi sampai menjerit kesakitan - tapi saya menolak dikatakan fit. Sudah jelas, ada salah urat di bahu.
Jika dibuat survei, mungkin saya masuk kategori salah satu manusia yang paling sering alami salah urat dan nyeri otot. Rasanya dalam rentang waktu tak sampai dua bulan ada saja yang salah.
Istilah salah urat dalam dunia medis merupakan kondisi yang diartikan dengan ketegangan otot atau cedera pada otot setelah melakukan gerakan tertentu. Sedang nyeri otot beda lagi, ia diartikan sebagai kondisi yang seringkali disebabkan oleh stres, ketegangan otot, atau aktivitas fisik pada otot yang berlebihan. Pengertian ini saya comot dari Om Google.
Sebelumnya saya berpikir bahwa keduanya sama saja, ternyata beda. Makasih, Om Google, sudah meluruskan. Penyebab saya demikian beraneka ragam seperti menu restoran. Mulai dari jatuh motor, olahraga, terpeleset, dan salah posisi tidur.
Kalau dihitung 20 tahun terakhir ini saja, sudah belasan kali saya jatuh dari motor. Itu jumlah fantastis untuk ukuran seseorang yang bukan pebalap motor. Saya tergolong orang yang tak bisa berlama-lama di jalan raya. Apa pun situasinya, saya selalu ngebut. Tak heran, di dalam kota pun saya selalu menggeber motor dengan kecepatan tinggi bak dikejar setan. Jika dibandingkan dengan Revo Koperasi*, rasanya kami bakal bersaing ketat. Implikasinya jelas: peluang jatuh semakin tinggi. Entah itu karena tergelincir, tabrak babi, anjing, ayam, kambing peliharaan, menghindari pejalan kaki bandel, atau insiden lain dengan sesama pengendara. Namun seiring bertambahnya usia, nyali pun makin ciut. Untuk dalam kota, kecepatan motor sudah saya kurangi setengahnya, dari 120 km/jam menjadi sekitar 60 km/jam saja.
Olahraga pun menjadi salah satu tersangka yang menyebabkan saya salah urat. Selain beberapa kali cedera main bola kaki, beberapa kali pula kaki terkilir karena skipping. Memang, lompatan berulang-ulang sambil menggenggam kedua ujung tali itu mesti dilakukan di tempat rata. Beberapa kali saya mengambil risiko dengan bermain di tempat tak rata. Tak ayal, akhirnya keseleo. Umur makin tua, skipping tak lagi dimainkan sebab menurut ilmu kedokteran yang saya baca, mulai umur 40 tahun, benturan-benturan keras pada sendi mesti dihindari. Disarankan untuk berjalan kaki santai saja sebab kekuatan tulang dan sendi sudah tak lagi memadai. Well, pernyataan ini sekaligus penegasan bahwa saya sudah tua.
Untuk urusan bola kaki, saya selevel dengan Paolo Maldini. Maksudnya, sudah sama-sama gantung sepatu alias pensiun. Perlu diketahui warganet, saat SD, saya berposisi sebagai penjaga gawang dan dikenal tangguh serta tak mudah dibobol. Beberapa penyelamatan yang saya lakukan tak masuk di akal penonton dan sudah pasti mengundang decak kagum. Jika tak percaya, boleh tanya pada teman-teman SD yang semuanya masih hidup dan pada segar bugar. Masuk SMP, saya lebih sering jadi bek. Sebagai pemain belakang, saya kuat mentekel dan jeli membaca pergerakan para penyerang musuh.
Setamat SMP, saya masuk SMA, tentu saja. Melihat gaya main saya, guru olahraga SMA menilai tim sekolah akan paten jika saya menjadi pengatur permainan. Ditaruhlah saya di posisi tengah, jadi salah satu dari dua gelandang pada formasi 4-4-2. Bahagia bukan kepalang. Semasa SMA, saya amat mengidolai Om Joni, pemain top di kota kami yang berposisi gelandang. Setiap klubnya tampil, saya antusias mengamati sepak terjangnya. Kadang berkhayal, bisa tampil brilian seperti beliau.
Kalau dicermati, posisi saya di lapangan semakin maju dan terus maju ke depan. Saat SD jadi kiper, SMP jadi bek, dan SMA jadi pemain tengah. Dengan trend demikian, bisa ditebak, pada saat kuliah, saya pastilah menjadi penyerang haus gol yang ditakuti. Sayang, harapan itu tak jadi nyata. Memang saya terpilih jadi pemain kampus namun pada posisi tak jelas - hanya ditaruh saja di bangku cadangan. Karena tak jelas posisinya, akhirnya hanya jadi camat alias cadangan mati, tak pernah menikmati 1 menit bermain pun.
Kembali ke salah urat.
Rasanya sudah lama sekali saya tak keseleo karena jatuh motor dan berolahraga. Sekarang, otot-otot tubuh sering bermasalah karena hal-hal sepele bahkan konyol. Pernah saya menggeser-geser meja tiba-tiba saja krek, terdengar bunyi di pinggang. Sejurus kemudian timbul nyeri tak tertahankan. Pernah mengangkut seember air tapi bahu jadinya bermasalah. Pernah memperbaiki pipa bocor sambil menunduk, eh, begitu bangkit berdiri, pinggang jadi kaku.
Belum lagi jika dihitung karena salah posisi tidur. Perasaan, posisi tidur dari dulu-dulu ya begitu saja tak ada perubahan. Posisi yang lazim bagi saya itu telungkup dengan perut di bawah. Posisi lain adalah membentuk tanda tanya tanpa titik atau hadap kanan, atau sebaliknya hadap kiri seperti logo PLN.
Dan penyebab rasa tak nyaman dua hari ini tak lain tak bukan karena salah posisi tidur. Ini fakta tak terbantahkan sebab sakit yang dirasakan dialami saat bangun pagi. Entah bagaimana ceritanya, saya juga tak paham. Mungkin saat tidur, saya yang lagi lemas tiba-tiba berbalik sehingga otot tak siap, tak dapat dipastikan. Ataukah karena antara satu anggota tubuh dengan lainnya saling bertindihan, juga tak bisa dipastikan. Semua hanya bisa diduga-duga.
Yang bisa dipastikan adalah, sekarang ini saya gampang sekali mengalami nyeri otot dan salah urat! Sejenak saya menengok sejarah urat dan otot ini untuk menyadari seberapa tangguhnya saya. Nyaris sepanjang hidup semua aman-aman saja hingga sampai pada 1-2 tahun terakhir. Kadang saya berpikir bahwa saya ceroboh dalam beraktivitas, sering tak memperhatikan gerakan yang berbahaya bagi otot. Tapi kalau memang berbahaya kok dirasanya akhir-akhir ini? Sepertinya realita harus diterima bahwa usia tak bisa berbohong. Otot-otot jasmani ini makin rentan secara alamiah.
Mungkin Anda pernah mendengar ungkapan dengan gaung sangat positif: "Tua dalam usia tapi muda dalam semangat." Dulu saya berpikir bahwa kata-kata semacam ini hanya cocok dipakai motivator saat pertemuan dengan komunitas lansia. Yeah, memberikan penguatan kepada kelompok rentan itu baik adanya meski tak mengubah kenyataan bahwa mereka tak seefisien waktu muda dulu.
Namun nampaknya roda berputar lebih cepat.
Nampaknya -- dan ini menyedihkan - saya juga tak seefisien dulu lagi meski jauh dari kategori lansia! Salah gerakan, nyeri otot. Salah tidur, keseleo. Jika diibaratkan grafik sinus, tubuh saya memasuki fase menurun. Meski masih menganggap diri muda -- walau tubuh tak sekokoh sebelumnya lagi - tetapi harus juga merenungkan ungkapan di atas, tak perlu menunggu hingga lansia.
*) Penagih koperasi harian di NTT bermotor Honda Revo yang biasanya selalu ngebutÂ
JAVARIO
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H