Mohon tunggu...
Norberth Javario
Norberth Javario Mohon Tunggu... Konsultan - Penjaga Perbatasan

Menulis semata demi Menata Pikiran

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Latto-Latto, Benarkah Berbahaya?

9 Januari 2023   20:10 Diperbarui: 16 Januari 2023   07:25 1129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penjualan lato-lato di Bandung. (Dok TRIBUN JABAR via KOMPAS.com)

Jika medsos sudah ada sejak tahun 60-an, mungkin permainan sepak bola tanpa alas kaki pun sudah dilarang.

Akhir-akhir ini kita melihat suatu permainan yang pernah dimainkan generasi anak-anak dulu, terlahir kembali.

Ya, latto-latto seolah-olah bereinkarnasi -- tapi dalam format tetap -- dan sukses menginvansi permainan anak-anak lainnya.

Jika dibuat ranking, nampaknya latto-latto menempati rating tertinggi dalam banyak aspek. Di pelosok mana pun, kita pasti menemukan anak-anak segala usia memainkan dua bandulan plastik polimer ini, memantul-mantulkannya hingga mengeluarkan suara khas. Dari Sabang sampai Merauke, dari Kepulauan Sangihe hingga Pulau Sabu.

Banyak orang senang sebab permainan tradisional ini kembali viral. Memunculkan sesuatu yang lama hilang tentulah menimbulkan romantisme tersendiri. Orang generasi lampau pastilah tersenyum-senyum bahagia melihat apa yang dimainkannya dulu kini dimainkan generasi masa kini. Dalam hati berpikir, akhirnya mereka pun bisa merasakan apa yang saya rasa. Kesulitan saya dirasakan pula kesulitan mereka.

Begitu juga, mereka pun bisa merasakan bahagia seperti yang saya rasa dulu saat dua bola sama ukuran ini beradu pukul dengan hebatnya di sekitar pergelangan tangannya.

Sedangkan bagi orangtua yang selama ini anaknya ketagihan gawai, latto-latto menjadi opsi brilian mengalihkan perhatian. Sudah umum, jika tak dikendalikan secara baik, gawai menjadi momok menakutkan bagi perkembangan mental anak. Dengan viralnya latto-latto, para orangtua bisa bernapas lega sebab bisa melihat anaknya lebih "bergerak".

Tetapi beberapa hari ini sinisme melanda. Penyebabnya, sudah mulai bermunculan berita mengenai jatuhnya korban mainan viral ini. Kecelakaan menimpa beberapa bocah yang lagi giat-giatnya bermain latto-latto.

Di Lombok Utara, seorang anak SD kehilangan sebelah matanya. Di Kubu Raya, Kalbar, seorang Ayah terpaksa merelakan sebelah mata anaknya dioperasi terkena serpihan latto-latto. Serpihan itu berasal dari latto-latto yang pecah akibat hantaman keras berulang kali.

Seperti mainannya, berita jatuhnya korban latto-latto ini pun viral dalam sekejap. Ia menghiasi headline media-media daring dan jadi pesan favorit untuk diteruskan berkali-kali di grup-grup WhatsApp. Dalam sekejap pula, timbul rasa sinis pada mainan ini.

Sinisme adalah teori segalanya. Orang sinis selalu benar.

Muncul rasa curiga, apakah asumsi kita bahwa mainan ini berefek baik selama ini salah? Apakah kita keliru menilai? Bukankah kehilangan bola mata merupakan hal buruk? Mungkin kita jadi bertanya-tanya, benarkah pada hakikatnya latto-latto ini permainan tak aman?

Pada zaman digital ini, berita yang kita dapat makin ekstrem. Jurnalis tahu apa yang mengejutkan dan menakutkan kita, mereka mengetahui apa yang ingin kita klik. Mereka tahu cara menarik perhatian dan mempertahankan perhatian itu agar bisa menyajikan iklan pribadi yang paling menguntungkan.

Gema media modern itu merupakan serangan terhadap suasana biasa. Permainan latto-latto sudah menyita perhatian anak-anak secara nasional. Itu biasa. Semua baik-baik saja. Tapi itu membosankan. Sesuatu yang biasa tak akan membuat kita bangkit dan memperhatikan. "Baik" tidak cocok untuk iklan.

Oleh sebab itu, media memberi kita umpan klik (clickbait) yang makin sensasional, karena kita tahu bahwa -- sebagaimana pernah dikatakan Rolf Dobelli, seorang novelis Swiss-"Berita bagi akal ibarat gula bagi tubuh."

Terkadang kita tak menyadari bahwa kita berada pada situasi baik-baik sebab media media mengangkat kekecualian, dan makin jarang suatu peristiwa terjadi -- aksi kekerasan, serangan teroris, kecelakaan -- makin besar beritanya.

Kita tak akan pernah melihat reporter dengan laporan langsung sebagai berikut, "Saya berdiri di Jalan Tol A, di mana hari ini tak ada kecelakaan." Atau, apakah kita pernah melihat judul berita JUMLAH ANAK INDONESIA YANG MEMAINKAN LATTO-LATTO BERTAMBAH 5.000 SETIAP HARINYA, walau itu bisa dipantau secara akurat dengan melihat produksi atau penjualannya.

Tentu saja, tak semua jurnalisme demikian. Banyak berita membantu kita memahami dunia dengan lebih baik. Namun berita -- dalam arti kejadian terbaru, insidental, dan sensasional -- sangatlah lazim. Kita terpapar berita setiap hari, berjam-jam.

Dalam Buku Humankind: Sejarah Penuh Harapan-nya Rutger Bregman, dikatakan ada dua alasan penyebab manusia sangat rawan terpengaruh berita. Pertama, bias negativitas. Kita lebih memperhatikan yang buruk daripada yang baik. Terlalu banyak ketakutan tak bisa membunuh kita; terlalu sedikit bisa.

Kedua, kita juga dibebani bias ketersediaan. Jika bisa dengan mudah mengingat contoh sesuatu, kita menganggap sesuatu itu relatif lazim. Fakta bahwa kita dibombardir berita setiap hari mengenai kecelakaan mobil, penculikan anak, dan juga ehm, korban latto-latto -- yang cenderung bertahan kuat dalam ingatan -- membuat pandangan kita akan realita melenceng. Seperti ahli statistik Nicholas Taleb katakan, "Kita tak cukup rasional untuk menghadapi pers".

Saat masih kanak-kanak dulu, saya pernah tertembak peluru bunga kayu putih kala main perang-perangan. Merah terang bekasnya di kulit. Rasa sakitnya jangan dibilang, perih tak tertahankan. Bagi kami, tertembak itu barang biasa. Teman saya terluka parah di bagian jari kaki saat jatuh dari sepeda yang ribuan kali dikayuhnya. Darah mengalir menganak sungai di siang saat kami menikmati hari. 

Di lain waktu, kuku jari kaki teman sekolah SD nyaris lepas saat salah menendang batu tatkala kami bermain bola sepak di halaman sekolah. Sepak bola adalah santapan kami sehari-hari. Pada musim main layangan, ada satu momen di mana teman satu kampung terluka parah pada telapak tangannya akibat tergores benang gelasan. Dan masih banyak kecelakaan terjadi manakala anak-anak jaman kami bermain.

Bagi kami dulu (dan bagi banyak orang dulu), tak ada permainan yang tak berisiko. Jika itu berbahaya, mustahil bisa diceritakan saat ini, malah dianggap sejarah manis.

Kenyataannya, latto-latto tak berbeda. Seperti juga permainan lainnya, risiko latto-latto memang ada seperti diberitakan media, namun tak perlu latah atau panik dengan melarangnya. Fokus tak perlu diarahkan ke peristiwa negatif. Hal ini bukan berarti menganggap remeh kecelakaan yang sudah terjadi.

Bukan juga tak berempati pada si korban dan keluarganya. Tidak sama sekali. Yang mau dikatakan adalah, yang terjadi itu persentasenya teramat kecil dibanding jutaan anak yang bermain dengan riangnya.

Seorang gadis kecil bermain latto-latto (Dokpri)
Seorang gadis kecil bermain latto-latto (Dokpri)

Memang tak ada angka pastinya namun jika sering-sering menimbulkan bahaya, pastilah sudah dilarang sama sekali dan tamatlah permainan itu.

Sikap yang perlu ditingkatkan adalah pengawasan pada faktor keamanan: kekuatan tali dan kerapatan bolanya, juga agar anak tak lupa diri sehingga bisa melakukan hal lainnya secara seimbang.

JAVARIO

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun