Mohon tunggu...
Norberth Javario
Norberth Javario Mohon Tunggu... Konsultan - Penjaga Perbatasan

Menulis semata demi Menata Pikiran

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Terjebak Kebutuhan Primer

21 November 2022   14:18 Diperbarui: 21 November 2022   14:22 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Besok malam tepat pukul 23.59 nanti, kuota internet saya habis masa aktifnya. Mengenai ini, sudah diperingati Telkomsel lewat SMS beberapa hari sebelumnya. Dengan budaya masa kini yang serba digital, mengisi ulang paket internet adalah tuntutan yang tak bisa ditawar-tawar. 

Dalam banyak aspek hidup, mulai dari pemenuhan kebutuhan rumah tangga, pekerjaan, relasi dengan sahabat dll, penggunaan aplikasi telah menjadi harga mati. Selain itu, ada juga alasan tergolong konyol: saya tak terbiasa dengan "kesunyian". 

Badai Seroja tahun lalu yang memporakporandakan jaringan komunikasi menyebabkan kita terlempar ke masa lalu dan tersiksa dengan suasananya. Jika ditanya, sebagian besar akan menjawab tak mau mengulangi nostalgia itu. Pada dasarnya, kehabisan paket internet adalah ujian ulang yang diberikan guru bernama badai Seroja.

Tak dipungkiri, paket internet sudah menjadi kebutuhan primer.

Saya duduk tepekur menatap layar gadget ini dan mendapati kenyataan bahwa dunia telah banyak berubah. Banyak hal berubah dengan begitu amat bertahap sehingga kita yang menjalaninya nyaris tak menyadari. Siapa menyangka kebutuhan komunikasi kini menjadi kebutuhan primer? Rasanya seperti baru kemarin kita menemui fakta bahwa telekomunikasi hanyalah menjadi prioritas kesekian. 

Jika seperti itu, tak peduli ramainya perang Rusia-Ukraina atau riuh rendahnya kasus Sambo, kita menciptakan dunia kita sendiri di sini. Jika seperti itu, tak ada bedanya bagi kita jika Lionel Messi atau Cristiano Ronaldo adalah benar jelmaan alien yang datang dari Mars untuk mengalahkan ras manusia. Tak ada yang peduli.

Tapi realitanya tidak demikian. Seorang artis Holywood yang lupa merapikan rambutnya di sebuah festival bisa saja menjadi headline dan menjadi santapan informasi bertubi-tubi kita yang berjarak ribuan kilometer jauhnya. 

Well, seiring dengan perkembangan teknologi digital, gadget dan tetek bengek ikutannya menjadi sesuatu yang tak bisa ditawar-tawar pemenuhannya. Saat kita memutuskan membeli gadget, kita terjebak dalam kebutuhan ikutannya yang wajib dipenuhi. Kita mesti membeli pulsa secara rutin. 

Sebagian orang akan membeli pelindung casing-nya plus pelindung layar. Sebagian lagi membeli aksesori demi mempermanis tampilan gadgetnya. Bagi sebagian orang, hal-hal demikian juga menjadi kebutuhan utama. Tentu saja, demi keamanan dan estetika.

Ini hanya satu soal dari sekian banyak soal di sekeliling kita. Kita dikepung dengan begitu banyak kebutuhan primer! Saat Anda membeli mobil, Anda mesti menyiapkan dana tambahan di luar harga beli.

Ada hitung-hitungan yang menyatakan bahwa kita mesti menyiapkan dana 20% dari harga mobil per tahunnya untuk kebutuhan BBM, perawatan, dan pajaknya. Semua itu menjadi hal wajib karena tanpa dukungan operasional, sebuah mobil hanya akan jadi benda beroda empat tak berarti.

Atau mungkin Anda berniat mengganti sofa di ruang tamu. Kursi yang dibeli begitu mewahnya sampai-sampai perabotan lain di ruang tamu jadi kelihatan kuno dan menimbulkan "kesenjangan". 

Bisa saja dengan terbelinya kursi tersebut, kita dikepung tuntutan untuk mengganti perabotan lain demi mengimbangi mewahnya sofa yang ada. Mungkin saja Anda berpikir untuk mengeluarkan uang ekstra guna membeli karpet sebagai alas sofanya, mengganti warna cat ruang tamu atau mengganti gordennya sekalian.

Tentu saja, kita sendiri bisa mengamati hal lain apa saja yang sudah menjadi tuntutan wajib saat ini. Dunia berubah begitu cepat sehingga menghindarinya adalah kemustahilan belaka. Untuk bisa survive, mau tak mau, segala macam tuntutan itu harus dipenuhi. Tentu kita tak mau dibilang manusia yang tak bisa beradaptasi, 'kan?

 

JAVARIO

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun