Sudah tahukah bahwa proses pewarnaan dalam tenun ikat Sumba Timur selalu diidentikkan dengan pekerjaan perempuan? Laki-laki dianggap tidak pantas atau pamali untuk melakukan pekerjaan tersebut, khususnya dalam meramu pewarnaan biru.
Ada nilai sakral dalam proses pewarnaan biru, misalnya bahwa lokasinya harus berjarak dengan rumah tinggal, bahkan pada masa lalu selalu berada jauh dari perkampungan.
Intinya proses ini jauh dari aktivitas manusia lainnya. Pantang bagi laki-laki, perempuan yang sedang hamil atau menstruasi untuk singgah di lokasi pewarnaan biru. Jika dilanggar maka proses pewarnaan akan gagal.
Proses pewarnaan yang sulit, beresiko, dan tuntutan pasar yang tinggi telah membuat perubahan budaya tenun ikat Sumba pada masa kini, pertama adalah keterlibatan laki-laki, kedua adalah penggunaan pewarna kimia.
Tangan bekas celup nila yang berwarna biru dianggap sebagai 'tangan yang kotor dan berbahaya'. Demikian pula dengan bau menusuk dari proses pembuatan pewarna alami biru dianggap sebagai bau yang 'tidak enak.'
Hal-hal tersebut menambah jumlah kaum muda yang menghindari proses alami dan memilih menggunakan zat kimia, yang ternyata itu lebih berbahaya.
Masyarakat Sumba sesungguhnya telah membangun konsep betapa terhormatnya melakukan proses pewarnaan alami ini, pantangan-pantangan yang ada, lokasi yang berjarak dari rumah tempat tinggal, serta ritual yang dilakukan sebelum berproses adalah bukti bagaimana nilai penting dan sakral dari pewarnaan alami tersebut ada dalam kehidupan masyarakat Sumba.
Pewarnaan alami menjadi tantangan besar yang harus dihadapi untuk tetap dipelihara keberadaannya pada masa paska milenium ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H