Mohon tunggu...
Nor Anisa Rahmah
Nor Anisa Rahmah Mohon Tunggu... Lainnya - Universitas Jember

Saya adalah seorang mahasiswa dan saya ingin lebih banyak menulis dalam blog ini

Selanjutnya

Tutup

Financial

Jejak Volatilitas Rupiah : Dari Krisis 1998 Hingga Tantangan Global Saat Ini

10 November 2024   23:38 Diperbarui: 10 November 2024   23:53 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Nilai tukar rupiah telah melewati beberapa kondisi krisis yakni sejak krisis moneter pada 1998. Perjalanan rupiah tak hanya menggambarkan nilai sebuah mata uang, tetapi juga mencerminkan ketahanan serta respon ekonomi Indonesia dalam menghadapi peristiwa-peristiwa yang berdampak pana nilai tukar. Dari krisis moneter yang berdampak pada ekonomi Asia di akhir 1990-an hingga tantangan krisis kesehatan yang berdampak kepada ekonomi yakni pandemi COVID-19. Rupiah terus mengalami volatil dan tentunya menghadirkan pelajaran berharga bagi pemerintah serta Bank Indonesia (BI) dalam menjaga stabilitas ekonomi.

Krisis Moneter 1998: Awal Gejolak Nilai Tukar Rupiah

Krisis moneter pada 1998 menjadi salah satu peristiwa terberat bagi rupiah dan ekonomi Indonesia secara keseluruhan. Krisis ini dimulai di Thailand yang dikenal sebagai "Krisis Baht". Kemdudian krisis ini dengan cepat menyebabkan spillover ke negara-negara Asia lainnya, termasuk Indonesia. Dengan waktu yang singkat, nilai tukar rupiah anjlok drastis dari sekitar Rp 2.000 per dolar AS menjadi lebih dari Rp 16.000 per dolar AS pada puncak krisis.

Depresiasi rupiah tidak disebabkan oleh kelemahan fundamental ekonomi Indonesia. Sebelum krisis, kondisi ekonomi Indonesia relatif stabil, seperti yang tercermin dalam data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 1994, 1995, dan 1996 masing-masing sebesar 7,54%, 8,22%, dan 7,98%. Krisis ini lebih dipicu oleh besarnya defisit neraca berjalan, utang luar negeri yang tinggi, serta kelemahan sistem perbankan nasional yang menjadi akar penyebab terjadinya krisis finansial. Krisis ini menyebabkan inflasi yang tinggi, kebangkrutan sejumlah perusahaan besar dan lonjakan angka pengangguran yang semakin memperburuk kondisi sosial dan politik di Indonesia. Dalam menghadapi krisis, pemerintah bersama Bank Indonesia melakukan berbagai upaya untuk menstabilkan nilai rupiah termasuk dengan meminta bantuan dari Dana Moneter Internasional (IMF) melakukan reformasi sektor perbankan, dan menjaga cadangan devisa. Walaupun stabilitas ekonomi membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk pulih krisis ini memberikan pelajaran penting tentang perlunya memperkuat sektor keuangan domestik dan meningkatkan ketahanan ekonomi.

Tahun 2008: Krisis Keuangan Global dan Dampaknya pada Rupiah

Setelah 10 tahun mengalami pemulihan dari krisis 1998, Indonesia kembali dihadapkan pada tantangan krisis keuangan global 2008. Krisis ini bermula dari sektor keuangan Amerika Serikat akibat kegagalan lembaga-lembaga keuangan besar dan kemudian meluas ke seluruh dunia. Pada awal 2000-an, suku bunga rendah mendorong banyak orang membeli rumah, termasuk mereka yang tidak memiliki kemampuan keuangan yang cukup (peminjam subprime). Bank-bank di AS memberikan pinjaman rumah dengan syarat yang sangat longgar, bahkan kepada orang yang memiliki riwayat kredit buruk. Akibatnya, banyak peminjam rumah, terutama yang memiliki riwayat kredit buruk (subprime), gagal membayar cicilan rumah mereka. Hal ini menyebabkan bank-bank besar mengalami kerugian besar dan meningkatnya jumlah penyitaan properti.

Sebagai negara yang menganut ekonomi terbuka, Indonesia tentu tidak terlepas dari dampak krisis ini. Akibat krisis tersebut, para investor memindahkan asetnya ke negara yang dianggap lebih aman (capital outflow). Dampaknya terhadap nilai tukar rupiah pun terasa signifikan. Rupiah melemah dari kisaran Rp 9.000-an menjadi sekitar Rp 12.000 per dolar AS dalam waktu singkat. Selain itu berdampak pada pertumbuhan ekonomi Indonesia sendiri melambat menjadi 4,5% pada 2009 dari 6,1% pada 2008.

Meskipun begitu, kali ini Indonesia lebih siap. Bank Indonesia dan pemerintah telah belajar dari krisis 1998 dan menerapkan kebijakan yang lebih terukur. Salah satu strategi penting adalah mempertahankan tingkat suku bunga acuan yang kompetitif, yang membantu menjaga arus masuk modal asing dan menstabilkan nilai tukar rupiah. Berdasarkan data Bank Indonesia, selama tahun 2008 yakni pada bulan Mei-Oktober Bank Indonesia menaikkan suku bunga sebesar 25 bps setiap bulannya hingga mencapai 9.5 persen. Selain itu, sektor keuangan domestik yang lebih kuat dibandingkan dekade sebelumnya membantu Indonesia mengurangi dampak negatif secara signifikan. Krisis 2008 menunjukkan betapa pentingnya kebijakan yang adaptif dan kesiapan dalam menghadapi risiko global.

Pandemi COVID-19: Krisis Kesehatan dengan Dampak Ekonomi yang Meluas

Pada awal tahun 2020, pandemi COVID-19 memberikan dampak yang besar dan tak terduga bagi perekonomian global, termasuk Indonesia. Penyebaran virus ke seluruh dunia menyebabkan pasar keuangan global terguncang, aktivitas ekonomi terhenti, dan nilai tukar rupiah kembali tertekan. Pada Maret 2020, rupiah mencapai titik terendah sekitar Rp 16.000 per dolar AS, suatu level yang belum pernah tercatat sejak krisis ekonomi 1998.

Ketidakpastian di pasar global menyebabkan banyak investor asing menarik modalnya dari pasar negara berkembang, termasuk Indonesia. Selain berdampak pda investor hal ini juga berdampak pada penurunan aktivitas ekonomi domestik, pembatasan sosial, lockdown, dan ketidakpastian yang ditimbulkan oleh pandemi menghambat aktivitas ekonomi domestik di Indonesia. Sektor-sektor yang terdampak paling parah, seperti pariwisata, transportasi, dan perdagangan, menyebabkan penurunan dalam penerimaan pajak dan investasi asing. Dengan menurunnya arus uang asing masuk, hal ini memperburuk tekanan pada nilai tukar rupiah.

Bank Indonesia merespons dengan serangkaian kebijakan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Selain menurunkan suku bunga acuan rata-rata sebesar 3.5 persen di tahun 2021 hingga tahun 2022, Bank sentral melonggarkan giro wajib minimum dan menempuh kebijakan unconventional (quantitative easing/QE) melalui pembelian surat berharga pemerintah dan swasta. Pandemi ini menyoroti pentingnya ketahanan ekonomi dalam menghadapi krisis global yang sifatnya tidak hanya finansial tetapi juga kesehatan.  Bank Indonesia juga mengadopsi kebijakan yang lebih fleksibel dan berkolaborasi dengan pemerintah untuk menyalurkan stimulus bagi perekonomian nasional.

Tantangan Rupiah di Masa Kini: Inflasi Global dan Gejolak Geopolitik

Meski pandemi mulai mereda, tantangan baru muncul bagi rupiah di tahun 2023 dan seterusnya. Inflasi global yang tinggi terutama di negara-negara maju, menekan nilai tukar rupiah akibat kenaikan suku bunga dari Bank Sentral AS (The Federal Reserve). Kenaikan suku bunga ini mendorong penguatan dolar AS sehingga memicu aliran modal keluar (capital outflow) dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Pada akhirnya Bank Indonesia merespon dengan menyesuaikan suku bunga untuk menjaga daya tarik pasar keuangan domestik dan mencegah tekanan lebih lanjut pada rupiah. Di sisi lain, ketegangan geopolitik di berbagai kawasan, seperti konflik antara Rusia dan Ukraina berdampak pada harga komoditas dan ketidakstabilan pasar global, yang pada akhirnya turut memengaruhi nilai tukar rupiah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun