Kata Disiplin yang berasal dari bahasa Latin ‘disciplina’ yang artinya belajar. Namun di Indonesia kata tersebut erat dengan istilah kepatuhan terhadap sebuah peraturan jadi ketika ditemui seorang murid yang melanggar peraturan maka dianggap dia tidak disiplin.
Dan ketika terjadi saat melaksanakan pembelajaran di kelas maka kata disiplin ini akan tercipta dari kepatuhan terhadap aturan pembelajaran baik dalam bersikap dan mengerjakan tugas serta proses pembelajaran itu sendiri.
Dan di dalam artikel ini, kita akan membahas bagaimana seorang murid membangun motivasi internal untuk mewujudkan murid yang mandiri, merdeka dan bertanggung jawab.
Ketika seorang siswa tidak memiliki dorongan / motivasi dari dirinya sendiri maka diperlukan pihak lain untuk mendisiplinkan dirinya atau kita sebut motivasi eksternal.
Konsep ini selaras dengan pernyataan Ki Hajar Dewantara bahwa disiplin diri diperlukan untuk menciptakan murid yang merdeka. Disiplin diri mampu membuat seseorang menggali kekuatan atau potensinya untuk suatu tujuan yang bermakna.
Dari pernyataan diatas, disiplin diri merupakan kemampuan mengontrol diri, menguasai diri serta menentukan sikap yang mengacu pada nilai yang kita hargai.
Kita dapat melakukan disiplin diri kepada murid melalui segitiga restitusi, jika murid tersebut melakukan pelanggaran keyakinan kelas maka kita akan melaksanakan tahapan-tahapan segitiga restitusi agar murid itu memahami sendiri kesalahannya dengan menyadari, dan berfikir secara mandiri sehingga murid akan mampu memperbaiki kesalahannya dan menjadi sosok yang lebih baik lagi dan bertanggung jawab.
Ketika seorang murid melakukan kesalahan, apa yang akan kita lakukan? Memarahinya, mengomeli bahkan suruh dia melakukan sesuatu sebagai bentuk hukuman atau konsekuensi, ataukah kita langsung memaafkan, ajak duduk bersama dan menggali permasalahan agar murid merasa nyaman ketika dia memahami sendiri kesalahannya dan berusaha memperbaikinya.
Selama ini kita memang lebih cenderung memberikan hukuman ataupun konsekuensi terhadap tindakan kesalahan murid. Ada 5 posisi kontrol guru terhadap murid; 1. Posisi sebagai penghukum; 2. Posisi sebagai pembuat rasa bersalah; 3. Posisi sebagai teman; 4. Posisi sebagai pemantau ataupun; 5, Posisi sebagai manajer.
Dan posisi guru yang terbaik adalah saat guru itu bisa menempatkan dirinya di posisi manajer, dimana pada posisi ini guru akan melakukan sesuatu hal bersama murid, mempersilahkan murid untuk menyadari kesalahan dan bertanggung jawab atas perbuatannya dan mendukung murid untuk menemukan solusi atas permasalahannya sendiri. Disini posisi inilah, murid dididik menjadi sosok yang mandiri, bertanggung jawab dan merdeka.
Dan salah satu cara untuk memperbaiki diri agar terwujud disiplin diri dapat dilakukan melaui segitiga restitusi. Segitiga restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat (Gossen; 2004 dalam LMS Guru Penggerak Modul 1.4 Budaya Positif 2022).
Dengan restitusi, kita akan lebih mengarahkan murid untuk jujur pada diri mereka sendiri dan mengenali seperti apa dirinya terhadap dampak dari perbuatan mereka atau dengan kata lain mereka mengevaluasi diri sendiri sehingga disiplin positif yang mereka lakukan memang merupakan dorongan atau motivasi dari diri mereka sendiri (internal) bukan karena dorongan atau motivasi orang lain (ekternal).
Dan tujuan dari restitusi yang dilakukan adalah menjadi manusia yang menghargai nilai-nilai kebajikan universal yang dipercayainya bukanlah pada bagaimana berperilaku untuk menyenangkan orang lain atau menghindari ketidaknyamanan.
Restitusi memberikan penawaran bukan paksaan. Sangat penting bagi guru untuk menciptakan kondisi yang membuat murid bersedia menyelesaikan masalah dan berbuat lebih baik lagi, dengan berkata, “Semua orang pasti pernah berbuat salah”, bukan mengatakan, “Kamu harus lakukan ini, kalau tidak maka…”.
Ada 3 tahapan restitusi atau kita sebut segitiga restitusi, yaitu 1) menstabilkan identitas; 2) validasi tindakan yang salah; 3) menanyakan keyakinan. Langkah ini digambarkan dalam bentuk segitiga seperti Gambar 1 dibawah ini:
(Gambar diadopsi dari Materi modul 1.4 LMS CGP Angkatan 5, 2022)
Pada tahapan pertama bagian dasar segitiga adalah menstabilkan identitas. Jika anak berbuat salah maka ada kebutuhan dasar mereka yang tidak terpenuhi. Bagian dasar segitiga restitusi memiliki tujuan untuk merubah orang yang gagal karena telah berbuat kesalahan menjadi orang yang sukses.
Kita harus mampu meyakinkan mereka dengan mengatakan kalimat seperti 1) tidak ada manusa yang sempurna; saya juga pernah melakukan kesalahan seperti itu.
Di saat, seseorang dalam kondisi emosional maka otak tidak akan mampu berpikir rasional, maka disinilah tugas kita untuk menstabilkan identitas anak. Anak kita bantu untuk tenang dan mencari solusi untuk menyelesaikan permasalahan dengan jujur atas perbuatan mereka sendiri.
Pada tahapan yang kedua adalah memvalidasi tindakan yang salah. Konsep tahapan kedua ini adalah kita harus memahami kebutuhan dasar yang mendasari tindakan anak berbuat kesalahan.
Menurut Teori Kontrol semua tindakan manusia, baik atau buruk, pasti memiliki maksud/tujuan tertentu (LMS Guru Penggerak Angkatan 5, 2022). Disaat kita tetap menyalahkan yang mereka lakukan dia akan tetap dalam masalah.
Maka diposisi ini kita memahami bahwa memvalidasi tindakan kesalahan mereka dari tujuan mengapa mereka melakukan kesalahan tersebut maka anak merasa dipahami dan mereka akan lebih jujur dan bertanggung jawab terhadap kesalahan yang sudah dilakukan serta merasa dihargai.
Dan yang terakhir ditahapan segitiga restitusi adalah menanyakan keyakinan Teori kontrol menyatakan bahwa kita pada dasarnya termotivasi secara internal.
Ketika langkah 1 dan Langkah 2 sukses dilakukan, maka anak akan siap untuk dihubungkan dengan nilai-nilai yang dia percaya, dan berpindah menjadi orang yang dia inginkan.
Penting menanyakan ke anak tentang kehidupan kedepan yang dia inginkan, dengan menggunakan kalimat pemantik,”apa nilai-nilai umum yang kita telah sepakati?”, “kamu mau jadi orang seperti apa?”
Ketika mereka sudah menemukan gambaran masa depannya, guru dapat membantu mereka untuk tetap fokus pada gambarannya. Melalui segitiga restitusi kita dapat mewujudkan mereka menjadi murid yang merdeka, mandiri dan bertanggung jawab.
Saat mereka melakukan kesalahan bukan lagi hukuman yang akan mereka dapatkan namun kesadaran diri untuk mengakui kesalahan dan mengevaluasi diri untuk melakukan perubahan pada dirinya dengan memahami nilai-nilai kebajikan universal yang mereka percayai dan kembali menjadi sosok yang terbaik saat kembali di kelompoknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H