Mohon tunggu...
Nor Kholis
Nor Kholis Mohon Tunggu... Freelancer - suka

sedang mengetik...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Saat Pelajar Demonstrasi, Sebuah Pembelajaran yang Baik

12 Oktober 2020   13:03 Diperbarui: 12 Oktober 2020   13:08 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image: Republika.co.id

Aneh rasanya kalau para pelajar yang ikut demonstrasi digeneralisir, selalu dikatakan masih belum cukup umur, masih anak kecil serta belum tahu apa yang diperjuangkan. 

Statemen ini, seperti ingin membunuh nalar kritis generasi muda kita. Padahal lewat ruang -- ruang itulah menjadi media pembelajaran demokrasi yang waras bagi masa depan bangsa ini.

Mereka semua (para pelajar) sudah pada akil - baligh alias cukup umur. Sebentar lagi (atau ada yang sudah juga) - punya hak untuk nyoblos pas pemilihan. Sudah bisa membedakan mana yang licik dan mana yang bersih. Kesadaran untuk ikut turun ke jalan menyuarakan kritik atas kebijakan pemerintah dan DPR yang "grusah -- grusuh" itu patut diapresiasi harusnya. Diusinya yang masih muda mereka sudah melek dengan hal -- hal beginian. Ngak cuma bisanya haha hihi ...

Tapi lagi -- lagi mereka jadi kambing hitamnya. Itikad untuk ikut menyuarakan haknya demi membela rakyat hanya dipandang sebagai suatu yang tidak berguna. Paling banter dikomen; kalau aksinya karena provokasi saja, -dianggap goblok karena bisanya hanya sekedar ikut -- ikutan. Sinisme seperti ini memang selalu muncul, baik ketika aksi pada saat penolakan Revisi UU KPK dulu maupun UU Cipta Kerja saat ini.

Dari sisi kebebasan berpendapat kan memang dijamin konstitusi. UU nomer 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum, tidak mengatur batasan umur tuh. 

Lalu kalau dari sisi nalar akal sehat? Ya wajar saja kalau mereka juga geram melihat kelakuan yang terjadi di negeri ini. Lha gimana akal sehat bisa menerimanya? 

Wong hampir seluruh elemen bangsa ini nyata -- nyata menolak UU tersebut kok. Siapa saja mereka; ada Pak Kyai, Tokoh Agama -- agama, Buruh, Mahasiswa, Dosen dan masih banyak lagi (ngak muat kalau disebutin satu persatu).

Jadi tanpa mereka harus mbaca isi UU nya, - ya masak para pelajar disuruh mbaca ribuan lembar; harus paham dulu, baru boleh ikutan demo? Emang situ juga udah mbaca? Udah dapat draf aselinya? 

Ya ngak penting bangetlah. Yang mudah untuk mereka pahami adalah, kenapa semua orang menolak UU ini, berarti nyata sedang ada suatu masalah disitu. Sebagai generasi yang baik, ya sudah seharusnya memang tumbuh kepekaan dan kepedulian terhadap tanah airnya sendiri.

Lebih mending mana coba, mereka sebagai generasi muda memilih ambil bagian terjun ke jalan dibandingkan darah mudanya dialihkan untuk; tawuran, klitih, narkoba, pergaulan bebas dan lain sebaginya. 

Mungkin memang masih ada sisi kritik bagi mereka, tapi bukan dengan cara selalu memberikan stereotip negatif terus -- terusan apalagi dengan bayang -- bayang kekerasan dari aparat. Bagaimanapun tetap ada nilai plusnya disitu, - saat mereka menyuarakan hak -- haknya.

Jadi gimana sekarang? Salah kalau dari situ mereka bisa belajar demokrasi yang waras? 

Salah jika dengan cara itu dapat mengasah kepekaan mereka bernegara? Salah jika generasi muda kita banyak yang mulai melek hal -- hal berbau demikian dari pada terjerat kasus -- kasus kenakalan?  Yang salah jika di negera demokrasi, mereka dilarang mendapatkan pembelajaran tentang hal seperti 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun