Kemarau panjang tahun lalu telah menyita perhatian banyak kalangan tidak terkecuali dari para lembaga filantropi. Mereka bergotong-royong saling bertukar informasi, mencari wilayah yang masih membutuhkan air. Menyusuri ke berbagai daerah kekeringan lengkap beserta truk tangki airnya. Jaraknya cukup jauh dari titik lokasi distribusi ke sumber air.
Selain itu medan tempuhnya cukup sulit dan berbahaya untuk dilewati. Harus naik turun kaki gunung. Itupun hanya muat untuk satu truk tangki air yang kapasitas tidak lebih dari 5000 liter.Â
Menempuh perjalanan satu sampai dua jam itu hal yang wajar. Baitu sudah tiba di lokasi tujuan, warga telah siap mengantri. Derigen dan ember sudah berjejeran rapi. Bersyukur, kemarau panjang tahun lalu bisa terlewati.
Lalu bagaimana dengan ancaman kemarau yang akan datang pada tahun ini. Meskipun Badan Metrologi Klimatologi dan Geofisika atau BMKG telah memprediksi tahun ini tidak akan mengalami kekeringan akibat kemarau panjang seperti tahun lalu. Namun kewaspadaan tetap harus ditingkatkan. Mengingat ancaman defisit kebutuhan bahan pokok pangan sudah nyata di depan mata.
Di beberapa daerah di Indonesia bahkan sudah ada yang mengalami kekurangan stok bahan baku. Sementara dalam skala global, Organiasasi Pangan dan Petanian Dunia atau FAO juga mengabarkan terjadi defisit pangan karena terputusnya pasokan rantai bahan pokok di berbagai negara.Â
Hal ini bisa memicu kepanikan kembali di masyarakat. Sehingga dibutuhkan langkah-langkah antisipatif baik dari pemerintah maupun peran lembaga non pemerintah.
Buka Lahan Baru
Meihat fenomena seperti ini pemerintah juga tidak tinggal diam. Munculah kebijakan dari Istana untuk membuka lahan baru sebagai pertanian di lahan tanah gambut. Spontan kebijakan ini mendapatkan banyak kritikan.Â
Landasanya cukup kuat, karena dari hasil penelitian dari para ahli, termasuk Walhi menunjukan penggunakan lahan gambut untuk pertanian khusunya beras tidak akan menguntungkan, kalau rugi iya.
Belajar dari pengalaman yang sudah -- sudah, misalnya lahan dengan luas satu hektar hanya mampu menghasilkan 2 ton beras. Padahal dikatakan berhasil jika produksi beras mampu mencapai di angka 4 ton. Jika kebijakan ini terus dilakukan akan memunculkan masalah kerugian baru lagi.
Hal senada turut disampaikan Khudhori anggota Kelompok Kerja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat, menurutnya lebih baik mengoptimalkan lahan yang terbengkalai dari pada alih fungsi lahan. Langkah ini diangap lebih cepat dan tepat dalam mendongkrak tercukupinya kebutuhan bahan baku pangan.
Melalui masa-masa sulit sekarang dan yang akan datang, dibutuhkan kerjasama berbagai pihak. Salah satunya peran lembaga filantropi. Kehadiran lembaga umat ini tidak diragukan lagi apalagi dalam tataran grass root.
Namun bagaimana dengan defisit kebutuhan bahan pokok yang telah menjadi perhatian kita semua di tengah wabah saat ini? Sudah adakah startegi yang akan dilakukan dan mampukah lembaga filantropi turut mengambil bagian dalam menyelesaikan permasalah krisis pangan di masa yang akan datang?
Menuju Green Filantropi
Dari berbagai hasil penelitian menunjukan bahwa peran lembaga filantropi mampu menunjukan kontribusi secara positif di masyarakat, baik dalam bidang kesehatan, pengentasan kemiskinan,Â
Pemberdayaan sekonomi dan lain sebagaianya. Eksistensi lembaga filantropi mampu mengatasi berbagai masalah yang sedang dihadapai oleh masyarakat.
di Tengah pendemi saat ini lembaga filantropi punya andil yang cukup besar, mulai dari penyediaan APD, aksi langsung seperti penyemprotan, sampai dengan pembagian makanan bahan pokok dan masih sangat banya sekali peran strategis yang dilakukan dalam upaya penanganan covid -19 ini. Namun demikian dari banyak hal yang telah dilakukan  tersebut masih terbatas dalam skala prioritas jangka pendek.
Sementara untuk mengatasi defisit pangan di tengah pandemik saat ini, maka tidak cukup dengan pemberian bantuan tunia saja. Namun diperlukan upaya sustaineble untuk menopang kebutuhan dasar pangan.
Untuk itu diperlukan sebuah pendekatan guna memutus rantai ancaman defisit pangan di waktu yang akan datang, yakni melalui paradigma green filantropi.Â
Secara garis besar dapat digambarakan bahwa di tengah kebutuhan masyarakat bahan pokok yang semakin meningkat. Terjadinya kelangkaan stok di berbagai daerah serta difisit pangan dalam skala global.
Sampai pemerintah melakukan kebijkan yang untuk memperluas lahan pertanian. Terlepas dari berbagai kritikan yang ada. Namun hal tersebut sudah sepatutnya mendapatkan perhatian yang serius juga dari para lembaga filantropi untuk turut melakukan persiapkan jika terjadi krisis pangan di tengah pandemi sekarang.
Jadi selain memberikan bantuan secara langsung ke masayarakat, lembaga filantropi juga perlu disisihkan juga untuk memberikan support jangka panjang guna meningkatkan produktivitas hasil pada di sektor pertanian, perkebunan maupun perikanan.
Beberapa lembaga filantropi sebenarnya juga sudah banyak yang bergerak dalam bidang ketahanan pangan juga. Selain itu, meski kadang fokus meraka bukan dalam cakupan tersebut, akan tetapi progam-progam penanaman, pertanian juga sudah dilakukan.
Namun demikian, optimalisasi dan target indikator pencapaian yang terukur bisa menjadi sebuah masukan dan monitoring dalam pengembangan kualitas lembaga filantropi. Â Pendekatan ini dirasa cukup efektif dalam meningkatkkan produktivitas hasil stok bahan pangan. Minimal bisa dimulai dari masyarakat binaanya sendiri.
Meskipun sebagian besar lembaga tersebut juga sudah mempunyai desa binaan dan itu cukup untuk diberdayakan serta dikuatkan pada sektor-sektor yang dirasa potensial untuk dikembangkan di setiap daerah masing-masing.
Disinilah peran signifikan dari lembaga filantropi melalui strategi jangka panjang (green filantropi) untuk menghapus momok menakutkan krisis pangan di tengah pandemi yang belum tahu kapan ujungnya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H