Mohon tunggu...
Nor Qomariyah
Nor Qomariyah Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar stakeholder engagement, safeguard dan pegiat CSR

Senang melakukan kegiatan positif

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

"Aglomerasi" untuk Ekonomi Keberlanjutan dan Akselerasi Capaian SDGs Indonesia

8 April 2024   13:57 Diperbarui: 9 April 2024   10:50 853
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: SCBD Jakarta, https://id.wikipedia.org/, 2023

"The street is the river of life of the city. They come to these places not to escape but to partake of it". Penggalan sebuah percakapan pada akhir cerita sebuah film di era 1980 dengan judul Social Life of Small Urban Spaces in 1979, garapan William H. Whyte (https://betterwaterfront.org/, 2013). 

Film ini dikemudian hari sangat berpengaruh terhadap bidang perencanaan dan arsitektur, bagaimana kemudian kritik untuk ruang secara intuitif sebuah kota harus diciptakan, dengan dasar 7 faktor utama public space, seperti ruang yang sesuai, interaksi penduduk dengan jalan, sinar matahari yang cukup, ketersediaan air, pohon, makanan dan triangulasi.

Dalam karyanya, Whyte yang berkebangsaan Amerika Serikat ini juga membahas, bagaimana hubungan antara letak jalan dengan alun-alun, taman ataupun plaza bisa menjadi kunci sukses sebuah keramaian kota atau justru sebaliknya. 

Whyte juga merekomendasikan kepada 'Commission Planning' New York pada saat itu soal peraturan zonasi yang membatasi plaza agar tidak lebih dari tiga kaki di atas atau tiga kaki di bawah permukaan jalan untuk memungkinkan visibilitas dan akses yang mudah. 

Alun-alun atau taman kota juga difungsikan sebagai ruang berkumpul yang menarik pengunjung dengan satu tingkat di bawah atau di atas jalan yang terkoneksi dengan keberadaan plaza (https://betterwaterfront.org/, 2013).

Selain Social Life of Small Urban Spaces in 1979, ada juga beberapa film yang menggambarkan situasi tata kota dengan pola aglomerasi, seperti Urbanized (2011), tentang perencanaan kota dari beberapa tokoh arsitektur dengan mengedepankan pola inovasi desain, The Truman Show (1998), yang mengisahkan tentang 'Truman Burbank' dalam sebuah kehidupan yang direkayasa dan mengajak penontonnya untuk ikut menganalisa sejauh mana kita memiliki kendali atas lingkungan dalam sebuah tata kota. Bagaimana kita merancang pilihan atas nama 'kesempurnaan', dan lainnya.

Berikutnya adalah Human Scale (2013), yang menjelaskan tentang cepatnya eksplorasi manusia dalam melakukan urbanisasi, beradaptasi dengan new life style dan bagaimana kemudian cara kita membangun kota saat ini untuk kebutuhan di masa mendatang.

Film ini terisnpirasi oleh Jan Gehl, dengan berbagai tayangan konsep kota-kota besar dan indah di dunia dipadukan dengan narasi epic yang fokus pada elemen 'manusia' sebagai penghuni dari berbagai kota tersebut dari perspektif sosiologis (https://ntb.idntimes.com/, 2022).

Sumber: SCBD Jakarta, https://id.wikipedia.org/, 2023
Sumber: SCBD Jakarta, https://id.wikipedia.org/, 2023

Pandangan yang mungkin mirip dengan keempat film di atas adalah pole dan konsep kawasan Sudirman Central Business District City (SCBD) DKI Jakarta dan Kota Lippo Karawaci di Kabupaten Tangerang, merupakan kawasan kota yang selama ini dikenal dengan kawasan kota industri dan bisnis dengan model 'compact city strategy' atau dikenal dengan model aglomerasi. 

Kota ini dibangun dengan menyeimbangkan berbagai kepadatan dan pola pertumbuhan penduduk, tata guna lahan, skala bangunan dan manusia, layanan dan tipe komunitas, transportasi, desain jalan, desain bangunan, ruang publik, biaya pembangunan, proses perencanaan, aksesibilitas, green space hingga pertumbuhan kesehateraan ekonomi bagi penduduk yang tinggal didalamnya dari perspektif sosiologi, ekonomi dan ekologi pembangunan.

Kedua kawasan ini juga mengingatkan kita pada salah satu kota besar di China, yakni Beijing sebagai kota metropolitan dengan model aglomerasi yang ramah lingkungan, berkebudayaan dan layak huni dengan berbagai fasilitas hingga teknologi dan satelit. 

Beijing kini menjelma sebagai pusat peradaban internasional dengan berbagai skala kemajuan industri, teknologi dan bisnis yang mengendalikan sebagian besar pertumbuhan ekonomi dunia.

Aglomerasi juga menjadi topik hangat pembicaraan masyarakat sejak muncul pasca pemilu presiden pada 14 Februari 2024 lalu. Status Jakarta yang tak lagi menjadi Ibu Kota sejak Februari 2024, diperlukan kebijakan khusus yang mengatur Jakarta, sesuai dengan UU Ibu Kota Negara (IKN) No 3 Tahun 2022. Hingga saat ini, status Jakarta masih dalam proses penggodokan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) (https://www.idntimes.com., 2024).

Aglomerasi ditingkat masyarakat berkembang menjadi sebuah konsep yang menyatukan beberapa kota besar di Jakarta dan sekitarnya, seperti Bogor, Depok, Bekasi bahkan Cianjur yang digadang-gadang akan menjadi perkotaaan aglomerasi. 

Hal ini menjadi spekulasi yang kian meluas ditambah dengan isu kebijakan yang nantinya akan digodok oleh Dewan Aglomerasi dan menjadi salah satu tanggungjawab wakil presiden RI di masa mendatang.

Sebagai salah satu fokus pembahasan peningkatan ekonomi perkotaan, aglomerasi diharapkan mampu mendorong peningkatan produktivitas, penyebarluasan informasi, membuka pasar yang lebih luas dan tentunya kesempatan kerja hingga ketersediaan tenaga kerja. 

Daya tarik inilah yang kemudian berkembang menjadi manfaat, dimana menurut Henderson et.al (2019), aglomerasi menjadi pemantik manfaat nyata dari proses percepatan pertumbuhan ekonomi perkotaan.

Bagaimana Aglomerasi Bermula?

Aglomerasi berkembang diawali oleh negara-negara maju yang kemudian diikuti oleh negara-negara berkembang, seperti Korea Selatan, Taiwan, Hongkong dan Singapura, revolusi teknologi informasi telah mengubah perekonomian menjadi ekonomi informasi bersifat global (Carnoy, et al. dalam Kuncoro, 2002). Hal ini diikuti oleh proses industrialisasi yang terkonsentrasi dalam suatu wilayah spasial geografis yang memunculkan konsentrasi ekonomi pada area tertentu dan menjadikan negara-negara berkembang di atas saat ini menjadi negara maju.

Jika di Inggris, terdapat kawasan Axial Belt, maka di India, Itali, Portugal, Belgia, Perancis dan daerah lain, juga yang menjadi pusat industri maju yang berlokasi di sekitar sungai Ruhr (Hayter, 2000) sebagai pusat konsentrasi industri manufaktur. Sama dengan Jakarta, sebagai kawasan industri manufaktur yang kemudian merambah menjadi kota metropolis dan mempengaruhi konsentrasi pertumbuhan ekonomi bagi wilayah sekitarnya.

Khusus Jakarta dalam konteks strategis nasional saat ini telah disahkan Rancangan Undang-Undang Khusus Jakarta (RUUDKJ) sebagai Undang-undang pada Rapat Paripurna ke-14 persidangan IV tahun 2023-2024 (https://www.tribunnews.com/, 2024). UU ini secara khusus menyebutkan tujuan sinkronisasi pembangunan provinsi DKI Jakarta dengan daerah sekitarnya sebagai bentuk kawasan aglomerasi (Pasal 51 poin (1) UU tentang DKJ. 

Dalam UU ini juga tercantum ada 10 daerah di sekitar Kawasan DKI Jakarta, mulai dari kabupaten-kota hingga provinsi yang menjadi kawasan aglomerasi, mencakup provinsi DKI Jakarta, kabupaten Bogor, kabupaten Tangerang, kabupaten Bekasi, kabupaten Cianjur, Kota Bogor, Kota Depok, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan dan Kota Bekasi.

Dengan adanya UU DKJ menjadi kawasan aglomerasi, tentunya masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan oleh Dewan Aglomerasi, seperti melakukan sinkronisasi dokumen rencana tata ruang, dokumen perencanaan Pembangunan kementrian Lembaga, provinsi dan kabupaten/kota Dimana harus menyesuaikan fungsi ruang dan struktur agar selaras dengan DKJ.

Mengenal Model Aglomerasi

Bicara aglomerasi tentu saja memiliki beberapa model kawasan yang menyesuaikan dengan karakteristik, fungsi dan struktur wilayah. Terdapat beberapa teori tentang aglomerasi sesuai dengan Kawasan dan hingga saat ini masih cukup relevan.

  • Model Christaller. Model ini lebih mengutamakan bagaimana susunan dari ukuran besaran kota, jumlah kota, Tingkat distribusi penduduk hingga pendapatan (Central Places in Southern Germany, terjemahan C.W. Basuki 1966) (Tarigan, 2003). Model ini dikenal dengan K=3 Christaller dengan karakteristik wilayah datar, isotropic surface dan daya beli penduduk dengan nilai rata-rata ekonomi yang sama dan tersebar secara merata.
  • Model Von Thunen. Model ini lebih mencirikan perbedaan lokasi secara geografis-fungsional melalui berbagai pendapatan Masyarakat. Teori ini membuat contoh model pertanian dengan perbedaan fungsi Kawasan sampai dengan pertimbangan ekonomi sebagai dasar utama mata pencaharian pertanian. Von Thunen menulis teori ini dalam "The Isolated State in Relation to Agriculture" pada tahun 1966 dengen penerjemah Hall (Tarigan, 2003). Pola aglomerasi ini oleh Thunen dengan membuat pola penggunanaan fungsi lahan secara geografis dalam diagram cincin. Hal ini bertujuan mempertegas Dimana letak kantong perdagangan jasa, industri, pusat kota, kerajinan, hingga kantong terluar yang berdampingan dengan kawasan pedesaan.
  • Model Weber. Weber mengembangkan modelnya berdasarkan lokasi industri. Pemilihan ini dikarenakan atas prinsip minimasi biaya, pemilihan kemudahan transportasi, ketersediaan tenaga kerja yang identik dengan keuntungan maksimum, dengan 3 faktor utama: biaya transportansi, upah tenaga kerja, kekuatan aglomerasi ataupun de-aglomerasi. Weber menuliskan analisanya dalam buku "Weber's Theory of Location of Industries" pada 1929 (Tarigan, 2003).
  • Model Pendekatan Losch Market. Pendekatan ini sangat dipengaruhi oleh lokasi penjual dan pembeli sebagai konsumen. Apabila terjadi peningkatan supply and demand maka dengan sendirinya akan terjadi konsentrasi. Teori Losch terdapat dalam buku "The Economics of Location" pada 1954 (Tarigan, 2003).

Berdasarkan teori model aglomerasi, muncullah beberapa definisi aglomerasi, diantaranya Montgomery (1988). Montgomery mendefinisikan bahwa aglomerasi merupakan konsentrasi spasial dari aktivitas ekonomi di kawasan perkotaan, atau karena penghematan yang disebabkan oleh lokasi yang saling berdekatan (economies of proximity). Markusen (1996), lokasi aglomerasi adalah lokasi yang tidak mudah berubah akibat adanya penghematan eksternal yang terbuka bagi perusahaan, berdekatan dengan penyedia jasa, bukan merupakan akibat kalkulasi perusahaan atau pekerja secara individual.

Karenanya, aglomerasi sering kali diartikan sebagai 'Kota Mega' dengan gambaran aktifitas ekonomi secara eksternal dengan lokasi strategis dari adanya perusahaan dan aktivitas ekonomi perkotaan masyarakat urban dan ketersediaan infrastruktur yang mempermudah aksesibilitas.

Aglomerasi Indonesia, Ekonomi Berkelanjutan dan Akselerasi Capaian SDGs

Sebagai negara kepulauan yang besar, Indonesia tentu memiliki banyak sekali sumber daya. Soal aglomerasi, Indonesia, bukanlah negara pertama yang saat ini sedang menuju pengembangan kota dengan model aglomerasi. Berdasarkan definisi aglomerasi yang berbasis lokasi geografis yang bersifat nature based dan kelengkapan infrastruktur dengan tujuan mendorong pertumbuhan ekonomi, maka tujuan ekonominya tentu saja bersifat keberlanjutan.

Ekonomi pada dasarnya merupakan sistem dalam masyarakat dimana sumber daya yang terbatas (tanah, tenaga kerja, modal) dikelola secara adil dan berkelanjutan. Dengan asal kata dari 'oikos' yang berarti rumah dan 'nomos' yang berarti 'adat' atau 'hukum'. 

Ekonomi pada dasarnya sangat relate dengan faktor-faktor yang menentukan produksi, distribusi, konsumsi barang hingga jasa Dimana tujuan akhirnya adalah untuk meningkatkan kondisi kehidupan masyarakat dan mendukung tujuan masyarakat termasuk terhadap lingkungan yang ada di sekitarnya yang sepenuhnya memenuhi kebutuhan manusia.

Ekonomi berkelanjutan secara ideal tentu merupakan perekonomian yang memberikan kesejahteraan umum yang sebsar-besarnya, dengan penggunaan sumber daya secara optimal tanpa merusaknya atau jejak ekologis harus lebih kecil dibandingkan biokapasitas. Artinya perspektif aglomerasi ini bisa dilihat dari dua hal;

Pertama, aglomerasi secara spasial dengan melihat pola hubungan antara wilayan geografis yang meghubungkan dengan tata keruangan wilayah.

Kedua, aglomerasi yang mendasarkan pada pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh masyarakat urban dengan adanya transformasi wilayah.

Dari dua tipe aglomerasi ini, secara luas menjadi katalis penting untuk memajukan urbanisasi lebih lanjut yang pada akhirnya memberikan kontribusi signifikan terhadap ekonomi (Shen L.Y., Cheng C.Y., Gy, X Y, Du C., Meng H., Wang J.H. Can, 2022) sehingga mampu mendorong Pembangunan berkelanjutan yang memiliki kualitas tinggi.

Dalam roadmap SDGs 2030, Indonesia sedang menuju pemenuhan capaian untuk SDGs 8-Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi (Promote Sustained, Inclusive and Sustainable Economic Growth, Full and Productive Employment and Decent Work for All). 

Dalam roadmap disebutkan dua tolok ukur penting yang menjadi faktor utama pencapaian ini, yakni pertumbuhan ekonomi dan laju pertumbuhan penduduk. 

Oleh pemerintah, hal ini diukur secara transformasi struktural dari sektor pertanian, sektor manufaktur dan sektor jasa dengan produktivitas lebih tinggi dalam mendorong proses pendapatan. 

Angka yang diperkirakan dalam pertumbuhan ekonomi di sini sebesar 6,2% guna mencapai pertumbuhan PDB riil per kapita 5,4% dengan asumsi laju pertumbuhan penduduk sebesar 0,7% (https://sdgs.bappenas.go.id/, 2023). 

Capaian target ini tentu tidak mudah dan harus dilakukan pendekatan multi sektoral, meningkatkan interkonektifitas, pembangunan infrastruktur, peningkatan SDM hingga pengurangan ketergantungan terhadap komoditas termasuk bahan mentah melalui diversifikasi produk dan daya saing dalam proses produktivitas. 

Pariwisata, Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), dan mendorong keterampilan pemuda secara kompetitif adalah beberapa kunci guna mendorong keberhasilan SDGs 8 melalui pola aglomerasi.

Untuk mencapai tujuan ekonomi keberlanjutan sesuai dengan target capaian SDGs 8, aglomerasi di Indonesia tentu bukan waktu yang singkat. Apalagi berbicara aspek ekonomi yang membutuhkan proses pemerataan. Ada dua dampak yang musti dipertimbangkan, apakah spread effect (positif) ataukah justru backwash effect (dampak negatif) dari nilai economies of scale-nya sendiri. Misalnya wilayah aglomerasi mungkin nantinya akan berkembang lebih cepat, terutama untuk DKI Jakarta, Bekasi, Bogor, Tangerang, Cianjur dan sekitarnya, karena ada interaksi antar wilayah yang berdekatan, sehingga kegiatan ekonomi akan berkembang.

Sustainability dari sisi ekonomi dalam aglomerasi, harus dilakukan Indonesia untuk mempercepat perubahan, pertumbuhan dan pemerataan ekonomi ditengah global. Karenanya dibutuhkan 5 aspek utama:

Pertama, capacity. Dalam hal kapasitas Indonesia, khususnya kota yang nantinya akan dirancang menjadi aglomerasi harus memiliki kapasitas daya dukung tempat untuk mendukung populasi yang terus berkembang, seperti ketersediaan dan ketahanan pangan, air, lahan, pohon dan lingkungan hijau.

Kedua, fitness. Fitness ini adalah gambaran ketahanan interaksi antara 'people' dan 'planet', dimana penduduknya harus bisa melakukan adaptasi, mitigasi dan resiliensi ketika berada dalam wilayah aglomerasi.

Ketiga, resilience. Resilience di sini, penduduk kota aglomerasi harus memiliki respon dan alternatif atau solving dalam mengatasi tantangan dari berbagai persoalan dan kompleksitas yang timbul, dari backwash effect adanya aglomerasi. 

Keempat, diversity. Hal ini mengacu bagaimana keanekaragaman penduduk urban, dengan berbagai karakteristik budaya, bahasa, etika, estetika, ras, suku dan lainnya. Sehingga aka nada tatanan baru yang mungkin bisa disepakati dan nantinya menjadi sebuah system yang tercipta secara alamiah membentuk budaya kota aglomerasi dengan differensisasi tertentu.

Kelima, balance. Balance di sini merupakan prinsip dasar keberimbangan antara pembangunan kota aglomerasi dengan penduduk yang ada didalamnya dan ketersediaan sumber daya lingkungan sebagai daya dukung dan daya tampung.

Keenam, regulation. Tata aturan sebagai tata kelola kota yang akan membawa penduduk dalam arus ekonomi global dengan segala tanggungjawab dan perannya dengan model keberimbangan dan ketersediaan alam. 

Regulasi harus mengacu juga pada proses bisnis dan industri yang berjalan serta tujuan besar Indonesia dalam potret visi-misi-goal aglomerasi, termasuk dalam process, healthy, place-specific conditions dan interrelationship sebagai bentuk aglomerasi ideal ke depan.

Singkatnya, aglomerasi menjadi salah satu cara kita secara kenegaraan dalam sifat kebijakan yang diarahkan untuk akselerasi pertumbuhan ekonomi global, membangun interaksi dan interkoneksi, menciptakan iklim yang resilience terhadap planet, people, profit dan prosperity bagi seluruh penduduk Indonesia.

Mengutip William H. Whyte (1980) dalam bukunya The Social Life of Small Urban Spaces (judul yang sama dengan filmnya), dimana dia menuliskan:

I end then in praise of small spaces. The multiplier effect is tremendous. It is not just the number of people using them, but the larger number who pass by and enjoy them' vicariously', or even the larger number who 'feel better' about the city centre for knowledge of them. For a city, such places are priceless, 'whatever the cos't. They are 'built of a set of basics and they are right in front of our noses'. If we will look. 

(Saya mengakhirinya dengan melihat ruang kecil yang justru multiplier effect-nya luar biasa. Bukan soal jumlah orang yang menggunakannya, akan tetapi juga untuk mereka yang melewatinya. Bahkan akan lebih banyak lagi penduduk yang merasa nyaman berada di pusat kota karena 'mengenalnya'. Bagi sebuah kota, tempat-tempat seperti itu, 'tak ternilai harganya' berapapun biayanya. Karena kota-kota ini dibangun dari 'seperangkat dasar-dasar (nilai) dimana mereka berada tepat di 'depan hidung' kita. Jika kita mau melihat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun