Gen Z, membicarakannya tentu akan mengingatkan pada generasi kekinian yang penuh dengan dinamika dan ambisi. Siapa sebenarnya Gen Z? Ada banyak sekali jawaban, tergantung kepada siapa tentunya kita mau bertanya.Â
Versi The Futures Company (2023), justru menyebut Gen Z dengan 'Centennial' dan generasi ini dikenali sebagai generasi yang tidak mementingkan diri sendiri dan lebih percaya diri.Â
The Sound (2023) menyebutnya dengan 'Generation Edge', karena sifat Gen Z yang lebih realistis, ulet dan tentu saja 'banyak akal'. Tak hanya itu, definisi lain juga disebutkan oleh banyak sekali peneliti dengan definisi, sebagai generasi yang lahir di era 1995-an hingga mereka yang lahir dari 2010 dan seterusnya.
Badan Pusat Statistik  (BPS, 2020), Gen Z secara pertumbuhan mendominasi di Indonesia, dengan jumlah 74,93 juta jiwa atau 27,94% dari total penduduk Indonesia, mengalahkan jumlah pertumbuhan Gen Y atau milenial sebesar 69,38 juta, Gen X 58,65 juta dan Pre Boomer mencapai 5,03 juta.Â
Gen Z akan memasuki usia produktif pada 15-21 tahun saat ini dimana peranan penting di seluruh lini kehidupan termasuk di dunia kerja industri dan bisnis yang berbasis dengan teknologi, dunia digital 5.0 atau Cohort 5.0.
Pertanyannya kemudian siapa Gen Z Cohort 5.0? Cohort 5.0 adalah sebutan pada penyesuaian teknologi dimana Gen Z hidup dildalamnya. Survei Alvara Research Center (viva.co.id, 2022), menyebutkan bahwa Gen Z merupakan pengguna terbesar dari teknologi dengan jumlah akses lebih dari 7 jam/hari. Â
Akan tetapi 40% dari kalangan Gen Z, masih berada di dalam kategori literasi digital yang rendah. Ini yang seharusnya dijembatani ketika Gen Z yang notabene sangat bergantung dengan teknologi, bisa diarahkan pada model teknologi digital dengan model creation power-mengarah pada profesional industri sekaligus broadcast power yang mampu menjangkau audien dalam skala besar.Â
Jika kita membuka Instagram maupun Youtube bahkan aplikasi Tik-Tok, maka hal yang pertamakali muncul adalah bagaimana visualisasi Gen Z dengan berbagai aktivitas rekam jejak mereka di dunia digital, atau bahkan digital menjadi pilihan 'social life' sekaligus dunia kerja, seperti profesi menjadi Youtuber, Podcaster, Digital Marketer, Designer Grafis, Blogger bahkan profesi sebagai Selebgram, Influencer, Tiktoker, Content Creator dan lain sebagainya.
Dalam dunia industri-bisnis, jika milenial adalah pekerja hari ini, maka Gen Z adalah pekerja di masa mendatang. Jadi, untuk membangun sebuah dunia kerja, yang penuh dengan kepercayaan, keinginan untuk maju, maka penting bagi kita yang berada di dunia industri dan bisnis mengelola Gen Z dengan pemahaman yang baik-menemukenali kapasitas dan tentu saja membentuk mereka sesuai sesuai dengan kultur kerja dan visi-misi industri-bisnis.
Sayangnya, karena Gen Z hidup dengan perubahan dunia industri dan bisnis yang cepat, membuatnya berfikir cepat dalam membangun mindset, apalagi ditengah kebaruan bisnis yang menyelaraskan dengan lingkungan dan sosial. Soal perubahan iklim, ekonomi, perubahan tata kelola lingkungan, bahkan keberlanjutan masa depan dengan semakin cepatnya digital life.
Ada yang menarik dari sini, ketika di dunia kerja bertemu atau membangun team work dengan para Gen Z. Tantangan baru bagaimana mereka mengadpatasikan kultur kerja, kebiasaan, menyeimbangkan dunia kerja dan social life yang mereka miliki. Gen Z juga disebut lebih memilih dan memilah pekerjaan sesuai dengan standar resiko yang mereka tetapkan sesuai dengan mindset yang dimiliki.
Ada pengalaman menarik sekaligus menjadi tantangan tersendiri, dimana ketika mengimprovisasi anggota tim kerja yang berasal dari Gen Z di dalam industri-bisnis. Gen Z ternyata lebih banyak menanyakan, benefit apa yang bisa didapatkan dan apakah perusahaan ini mapan? Bagaimana jika terjadi hal-hal yang tak diinginkan dari dampak ekonomi global dari industri ini? Tentu saja, ini tidak mudah untuk dijawab, namun cara yang elegant untuk merangkul gen Z dan menjadikannya sebagai aset sumber daya manusia dalam core business kita adalah;
Pertama, kenali siapa Gen Z yang menjadi bagian dari tim kerja kita, mulai dari kultur, kebiasaan, potensi, bahkan apa yang menjadi harapan saat ia memutuskan untuk bergabung di dunia industri-bisnis.
Kedua, temukan prioritas apa yang menjadi fokus utama mereka, apakah 'benefit-profit oriented', 'goal development' atau bahkan 'wants to be their own self'.
Ketiga, gunakan literasi teknologi yang digunakan oleh Gen Z, dan isu  apa yang paling banyak dibicarakan ketika berdiskusi terkait dengan industri-bisnis yang sedang kita geluti.
Keempat, lakukan pengukuran kinerja secara terukur, sesuai dengan kapasitas kemampuan yang Gen Z miliki. Jangan salah, Gen Z menurut dataindonesia.id (2022)Â menyebutkan Gen Z adalah generasi yang paling optimis menghadapi situasi ekonomi mendatang. 86,5% Gen Z menganggap ekonomi justru akan lebih meningkat dan membaik di tahun mendatang dengan keyakinan kemampuan menghadapi ancaman ekonomi di angka 79,4%.
Kelima, asahlah kemampuan dan trust building dengan bekerja sebagai partner. Gen Z akan lebih senang memposisikan dirinya sebagai partner kerja dan bukan hubungan top down antara 'bawahan dan atasan'. Mengapa? Karena dengan menjadikan Gen Z sebagai partner kerja dengan sendirinya akan terbangun mindset menghargai keberadaan mereka dan mendukung apa yang sedang mereka bangun atau kerjakan.
Keenam, berikan reward ketika Gen Z berhasil mencapai achieve dari apa yang mereka kerjakan. Karena pada dasarnya Gen Z adalah generasi dimana eksistensi diri dan penghargaan untuk eksis menjadi hal penting untuk mendorong mereka lebih berkembang secara karir dan masa depan di dunia industri-bisnis.
Enam langkah diatas tentunya sebagai gambaran Gen Z dengan dunia industri-bisnis mereka. Merujuk pada Mc-Kinsey (2018), dimana Gen Z adalah 'undefined ID'Â (memahami keterbukaan dengan berbagai karakteristik yang berbeda), 'the communaholic' cenderung realistis dan analitis dalam mengambil keputusan, dan 'digital native' erat dengan teknologi.Â
Ini yang kemudian mendorong Gen Z menjadi generasi yang work-life balance, dimana salah satu prioritas dan preferensi utama Gen Z akan sebuah industri-bisnis adalah berbagi dan membantu orang lain (Agarwal & Vaghela, 2018). Untuk mencapai work-life balance, maka perusahaan harus menyediakan jam kerja yang fleksibel, cuti libur berbayar, cuti sakit berbayar, dan cuti hari kesehatan mental berbayar, dan lainnya.
Jika kita sebagai leader team dari Gen Z maka yang terpenting adalah bagaimana kita melakukan improvisasi, men-develop melakukan co-create bersama, co-innovate atau berinovasi bersama dengan membangun tujuan yang sama-memberikan perubahan yang bermakna bagi perusahaan dan masyarakat secara sosial-lingkungan. Gen Z bisa menjadi katalisator, pembaharu dan tentu saja memiliki keselarasan kerja yang baik dan balance dalam mengimbangi nilai karakteristik diri dan nilai-nilai industri-bisnis dengan gaya kerja inovatif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H