Rembang. Menyebutnya pasti langsung tergambar sosok pahlawan perempuan Indonesia, Raden Ajeng Kartini. Salah satu pahlawan yang dikenal dengan sebutan pendorong emansipasi bagi anak negeri. Bahkan, Kartini juga mencatatkan bagaimana keinginan kuatnya untuk maju melalui  persahabatannya dengan Estella Zehandellar, Marie Ovink Soer dan Maria Abendanon pada zaman kolonial Belanda.
Persahabatan ini tertanda dalam surat yang ditulis oleh Kartini pada 25 Mei 1899 (www.kompas.com, 2022). Bersyukur, adalah rasa yang luar biasa atas diri, karena lahir dan besar di kota ini.
Tak hanya sejarah Kartini yang ada bersama Kota Rembang, namun juga berbagai keindahan pantainya, batik, dan bangunan bersejarah, yang sangat mudah dijumpai hingga ke arah Kota Lasem yang sangat berdekatan, sekitar 19 menit dan bisa ditempuh dengan kendaraan bermotor.
Kedua kota ini, menjadi titik pertemuan sejarah yang hingga hari ini tidak habis untuk diulas. Tentu saja, Rembang menjadi sebuah kebanggaan sejarah yang turut memberikan sumbangsih peradaban budaya Indonesia, dengan akulturasi budaya Eropa hingga Tionghoa yang ditorehkan dalam berbagai arsitektur yang indah.
Untuk menuju Rembang, jika kita dari arah Semarang, maka kita akan menempuh perjalanan dengan waktu 2 (dua) jam. Di sinilah, kita akan disuguhi berbagai pemandangan khas pantura, mulai dari pantai, kapal nelayan yang bersandar, hingga aktivitas penambak garam yang berada di sisi kiri kanan jalan.
Menyebutnya, mungkin juga membawa kita pada ingatan sejarah pemerintah Hindia Belanda, salah satunya adalah Herman Williem Daendels, yang datang di Batavia pada 25 April 1808. Menurut https://katadata.co.id, Daendles menjadi Gubernur Batavia yang ke-36, dan mulai membangun 'jalan raya pos (Grotepostweg)' 1.000Km mulai dari Buitenzorg (Bogor)-Cirebon dan diperpanjang hingga jalur pantai utara ke arah Panarukan, bekerjasama dengan para Bupati di tahun yang sama.
Rembang dan Lasem merupakan dua kota yang turut dilalui pembangunan jalan bersejarah ini, digunakan sebagai akselerasi perekonomian melalui 'perdagangan dan militer'.
Meski, membawa serta sejarah kelam, dengan munculnya kerja paksa (rodi) dan berbagai serangan wabah pada para pekerja, binatang buas, serta kondisi hutan belantara yang sulit dijamah, namun kini jalur pantura benar-benar berfungsi sebagai jalur perdagangan utama, ekonomi, bahkan keamanan, hingga ke arah Jawa Timur.
Catatan sejarah berikutnya adalah, pantai yang ada di sepanjang jalan utama pantura. Pelabuhan Tanjung Emas Semarang adalah salah satunya, di mana menjadi jalur utama ekspor-impor Indonesia ke luar negeri hingga hari ini, yang dimulai sejak tahun 1874.
Pelabuhan yang dikenal dengan 'Pelabuhan Rede'Â sekaligus 'pelabuhan tua' ini juga ditandai dengan Menara Suar dan berfungsi sebagai pelabuhan C (melayani bongkar muat kapal barang dalam 24 jam) sejak abad ke-16. Pelabuhan yang kemudian juga dibangun pemerintah Indonesia secara resmi pada masa presiden ke-2, Soeharto, pada 1982 dan selesai pada 1985 (Setiawan, 2018).
Tak hanya Semarang, Rembang dengan pantainya juga menjadi 'pusat perdagangan maritim'. Jika kita berjalan lurus hingga Rembang-Lasem, maka keseluruhan jalur pantai utara ini dulunya sangat hidup. 'Kayu jati atau dikenal dengan sebutan 'Indische Eik', yang berarti kayu Eik dari Indonesia, menjadi komoditi utama kota ini.
Disebut Eik, karena sifat dan manfaat kayu jati sama dengan kayu Eik yang ada di Eropa. Meski Jati bukan kayu endemik daerah Rembang, dan justru berasal dari Kalingga, Selatan India, dengan sebutan Tachatti atau Tekjattu, namun kayu ini tetap menjadi primadona 'meubel' atau 'furniture perlengkapan rumah' andalan masyarakat setempat hingga hari ini (Sejarah Kehutanan Indonesia, 1986).
Simon (2010) menyebut, dengan adanya pelabuhan di Rembang, maka pemerintah Hindia Belanda saat itu menjadikan Rembang sebagai indutri hulu, dimana hilirnya adalah Amsterdam dan Rotterdam, sebagai pabrik kapal terbesar dimana saat itu, yang mampu mengantarkan Belanda menjadi produsen kapal, sejajar dengan Inggris dan Perancis. Bahkan Amsterdam dan Rotterdam, menjadi kota pelabuhan terkemuka, pintu perdagangan utama negara-negara Eropa Tengah yang di-supply dari 3000 balok kayu jati besar untuk galangan kapal di setiap tahunnya, melalui pelabuhan hulu, berpusat di Kota Rembang, salah satu daerah Karesidenan Hindia Belanda.
Lasem, sebagai kota kecil yang juga berdekatan dengan Rembang, berjarak 12 km, bagian dari 'Jalan Raya Pos' dengan luas 4.504 ha pada masa Daendels (1808-1811).
Nama Lasem sendiri juga terdapat dalam Negarakertagama (1365) di zaman kerajaan Majapahit, Badrasanti (1479), Pararaton (1600) dan tercatat juga dalam 4 (empat) kronik China pada tahun 1304-1617. Sama halnya dengan Rembang, Lasem juga menjadi pelabuhan perdagangan pada abad 18-19 (Apriyani, 2018).
Lasem memiliki sejarah yang tak kalah menarik. Justru, sejarah mencatat, Lasem memulai pergerakannya melawan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) di tahun 1740-1743 yang mempersatukan pasukan Mataram dan Tionghoa, yang dipimpin oleh Sunan Amangkurat V alias Raden Mas Gendi dan Raden Mas Said atau dikenal dengan Pangeran Sambernyowo (Sultan Mangkunegara I) bersama 'Tan Sing Ko' atau dikenal dengan 'Singseh'.
Pergerakan ini menurut Daradjadi Gondodiprojo (2014) dalam 'Geger Pacinan: 1740-1743 Persekutuan Tionghoa Jawa Melawan VOC', menjadi moment persatuan antar etnis dan kekuatan kekuasaan oleh adanya para bupati peranakan Tionghoa yang memimpin Lasem dan wilayah Pantura lainnya.
Perang ini dimulai dari daerah Gandaria, pinggiran Batavia dan membakar hampir seluruh wilayah pantura hingga pedalaman Jawa, menjalar ke Pasuruan di ujung Timur pulau Jawa.
Jejak sejarah yang begitu terlihat jelas, mulai dari bentuk bangunan 'pecinan' berarsitektur China Fujian, China Hindia, Indische Empire, dan Belanda yang mencapai sekitar 250 bangunan, sebut saja Klenteng Cu Ankiong (abad ke-16, Desa Soditan), Klenteng Bao An Bio (dipugar 1919, daerah Pecinan Karangturi gang 8), Klenteng Gie Yong Bio (dibangun untuk menghormati dua pahlawan dalam perang 'Geger Pacinan 1740-1743', Chen Sixian dan Huang Daozhou), Lawang Ombo (Lim Cui Sun, berarsitektur China Fujian Selatan, tahun1825), Pesantren dan Masjid Kauman (berarsitektur China Hindia), Rumah Lim Hong Hoen (berarsitektur Indische Empire, abad ke-20, saat ini berfugsi sebagai Kantor Polisi Sektor Lasem), Museum 'Nyah Lasem' (berarsitektur China Hindia, Karangturi gang 5), dan Rumah Merah atau dikenal dengan 'Tiongkok Kecil Heritage' (komplek Pecinan, Karangturi gang 4).
Dari keseluruhan bangunan yang ada di Kota Lasem ini, secara morfologi menurut Kurniati (2016) dalam History of Development of Lasem City Space Structure, merupakan perpaduan antara pola jalan yang grid dengan pola kota linier.
Pola struktur ini membentuk pola pemukiman, ruang sosial budaya dengan pertumbuhan sentra industri batik Lasem, dengan bentuk gurita/bintang, karena pengaruh kondisi topografi.
Area lain sebagai aktivitas perdagangan dan jasa, di sekitar Jalan Sultan Agung dan Jalan Untung Suropati sebagai Central Business District (CBD) bagi daerah hinterland.
Selain bangunan, sejarah 3 negeri (Jawa, Tionghoa, dan Belanda) ini juga tertuang dalam 'pembubuhan dan pewarnaan batik Lasem'. Perpaduan ini jelas terlihat dari 'penyatuan gaya batik pedalaman berpadu dengan pesisiran pantura'.
Dalam catatan https://nationalgeographic.grid.id  Batik ini dimulai sejak masa 'Na Li Ni' atau Putri Cempa, dalam ekspedisi Cheng Ho pada (1405-1433) pada abad ke-15. Terdapat 50 motif batik tunggal dan 64 batik akulturasi, pada batik 'tulis' Lasem, mulai dari motif Kricak (batu pecah) yang menggambarkan pembangunan 'jalan raya pos' Daendels, Latohan (sumber makanan dari tanaman laut masyarakat Lasem), Gunung Ringgit (Pewayangan), Naga (Liong) sebagai lambang keagungan, Burung Hong (Phoenix) atau burung dewa, Sampe's Engthai (lambang keabadian cinta kasih), hingga Kawung (inspirasi dari buah kolang-kaling) yang bermakna kesucian, kesempurnaan dan kemurnian. Motif ini berasal dari Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat sejak 1755, atau abad ke-18.
Begitu strategisnya wilayah ini, hingga Perang Dunia II, Jepang sempat mendarat di Kragan pada 1 Maret 1942, yang menyasar minyak bumi di Cepu.
Hal ini dimuat dalam 'Atlas Van Tropisch Nederland'Â oleh Dinas Topografi pada 1938 (http://saig.upi.edu, 2019). Inilah kemudian, mengapa Rembang-Lasem menjadi sejarah bagi 3 negeri, bukan hanya karena sejarah tata kota dengan jalan secara morfologi, namun juga nilai budaya dan seni. Bukan soal lambang kebangkitan, namun juga bukti persatuan dalam kehidupan toleransi yang terus hidup hingga hari ini.
Hari ini, 17 Agustus 2022 adalah hari kemerdekaan Indonesia. Mari menghidupkan keyakinan, terus berjalan bersama, menghidupkan geliat pembangunan, pulih lebih cepat untuk ekonomi dan sosial budaya, bangkit lebih kuat melewati batas inspirasi, berdasarkan makna sejarah yang terus terukir serasi dalam sanubari generasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H