Bicara soal politik, seperti bicara membahas menu di pagi ini, ditengah ramainya para ibu yang berjibaku berkerumun dengan pedagang sayur keliling. Budaya 'ngrasani' atau 'rasan-rasan' selalu akan menempel di setiap momen pagi. Ada yang memulai obrolan dengan soal syarat pembelian minyak goreng bersubsidi yang sulit, gaptek dengan aplikasi, ketakutan data diri yang bocor bahkan 'menyadari' masih berada pada kondisi yang sama dengan kata 'inflasi' meski tanaman sawit banyak berdiri di negeri ini. Pun tak kalah ramai obrolan soal 'mantu tukang bakso' yang menjadi bahan guyonan para ibu dalam menentukan kriteria calon mantu. Berbagai ragam tanggapan pun ikut muncul, mulai dari sekadar 'mesem', tertawa, hingga komentar dan celetukan riang mewarnai pagi. 'belum tahu aja itu si Ibu, bojoku ini tukang bakso, paling romantis perjuampaanku kala itu', celetukan yang disambut tertawa riuh semangat pagi.
Sepulang jogging di pukul 08.00 pagi dari lapangan Denggung-Yogyakarta, aku pun masih belum berhenti obrolan dan keberadaan si tukang sayur pada tempat yang sama, dekat dengan pos ronda yang lokasinya tak jauh dari masjid komplek. Nimbrung, ikut memilih dan memilah sayur ditengah santer guyonan yang aku lakukan. 'Pripun mb, mau nggak punya calon tukang bakso' kalimat yang membuat kami semua tertawa, dan tentu saja pertanyaan itu diarahkan padaku. Hanya tersenyum tipis sambil bergumam, celetukan yang memiliki makna ketika dikaitkan dengan pola-model komunikasi politik ala Ibu Megawati, kontroversial ataukah memang gaya guyonan tokoh politik nasional kharismatik dalam menjelajah inti makna 'tukang bakso' sebagai entitas struktur masyarakat yang justru nilai bisnis 'bakso'nya bisa menjadi salah satu unicorn-nya Indonesia.
Dari pos ronda, beberapa pemuda dan bapak-bapak juga berkumpul dan mengobrol ringan soal hewan dengan wabah Penyakit Kuku dan Mulut (PMK), panen yang semakin tak tentu arah dengan cuaca tak menentu, sulitnya mencari pekerjaan untuk anaknya yang lulus kuliah dan mempertanyakan, 'ngopo yo pak Jokowi malah ngurusi perange wong Ukraina karo Rusia?' (mengapa ya Pak Jokowi justru malah mengurus perangnya Ukraina dan Rusia?). Â Hanya bergumam dan merenung, apa, mengapa dan bagaimana sebenarnya filosofi politik luar negeri nya Indonesia.
Dari mulai Presiden Soekarno, sebagai presiden pertama RI, yang menjadi pelopor Gerakan Non-Blok (GNB) untuk tak berpihak pada kekuatan besar Blok Barat (Amerika Serikat), Blok Timur (Uni Soviet) dan Blok Poros (Jepang, Jerman dan Italia) pada Perang Dunia II. Pada tahun 1955 melalui Konferensi Asia Afrika (KAA) lahir dan kini menjadi destinasi wisata sejarah dan menjadi nama jalan lengkap dengan tugu hingga museum KAA yang ada di Kota Bandung-Jawa Barat.  Meskipun pengaamat politik menilai, GNB masih harus ditinjau ulang mengingat sistem keamanan, kemampuan pengelolaan lingkungan dan intelektualitas kita masih perlu ditingkatkan untuk competitive advantage (daya saing) Indonesia.
Sejarah ini kemudian berlanjut dengan turut serta membentuk karakteristik pendirian politik luar negeri Indonesia yang dikenal dengan 'bebas aktif'. Ini bermakna Indonesia memiliki sikap dan kebijaksanaan terhadap persoalan internasional dan tidak mengikatkan diri secara a priori pada satu kekuatan dunia. Aktif, dimaknai dalam kerangka memberikan sumbangsih baik secara pemikiran, partisipasi 'aktif' dalam penyelesaian konflik, sengketa, persoalan dunia lainnya guna kemerdekaan, perdamaian dan keadilan sosial (UU No.37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri).
Sesuai makna dan kultur politik luar negeri Indonesia, kita akan bisa menemukan jawabannya, apa, mengapa dan bagaimana kemudian sebagai kepala negara yang saat ini menjadi tuan rumah G20 pada November mendatang, musti menyambangi Ukraina dan Rusia yang sedang berperang. Sejak Februari 2022, perang kedua negara ini dinilai membawa dampak signifikan terhadap ekonomi negara. Indonesia mungkin salah satunya, yang biasanya bisa ekspor ke Rusia dengan capaian surplus pada nilai surplus US$ 11,5 miliar, harus defisit pada April 2022 menjadi kurang dari US$ 34 juta. Sama halnya dengan Ukraina, sejak Januari 2022, Indonesia tercatat oleh BPS telah mengalami defisit hingga US$ 8,9 juta.
Tidak hanya soal ekspor, namun juga harga minyak goreng yang mahal selama berbulan-bulan di tahun ini juga diduga dipicu akibat perang, hingga melonjaknya harga ekspor batu bara dengan nilai US$ 321,91/ton pada Juni 2022. Ada 4 hal penting memang yang menjadia genda presiden kali ini, sebagai kepala negara di Asia yang mengunjungi kedua negara, meskipun banyak pihak menyangsikan kehadiran presiden yang tak akan merubah situasi apapun. Hal ini karena sejarah buruk antara NATO (North Atlantic Treaty Organization) dan Rusia di tanah bersejarah Slavik, Ukraina, perencanaan penyerangan oleh Amerika Serikat dan Inggris pada dokumen Juni 1945, hingga munculnya barisan orange/yellow revolution dengan tujuan demokratisasi Ukraina dimana secara pendanaan disebut-sebut dari Amerika Serikat. Â Â
Pertama, kerugian ekonomi. Rusia sebagai pemasok bahan bakar fosil (minyak bumi, gas alam, batu bara) ke Eropa. Ini menjadi keterancaman dimana pertengahan Juni 2022, European Parliament melalui OECD mempertimbangkan ketergantungan seluruh negara didalamnya pada impor Rusia. Tentu menjadi kemacetan parah, ditambah kemandegan ekspor Indonesia, dan disinyalir akan menaikkan harga minyak dunia 10%. Nah ini pasti akan berdampak pada subsidi yang akan dilakukan oleh pemerintah melalui APBN yang semakin membengkak.
Kedua, embargo dari negara Eropa dengan rantai pasok pangan melalui transportasi yang berlambang 'Rusia' juga akan membawa dampak serius soal krisis pangan, pupuk dan bahan kimia yang menjadi produk turunan nya.
Ketiga, menurunnya pasar modal dengan merosotnya nilai rupiah terhadap dollar AS. Ini juga menjadi kehati-hatian ditengah situasi global yang menjadi dampak dari perang kedua negara di atas.
Jokowi, sebagai presiden Indonesia, dalam posisinya di KTT G7 (26-28 Juni 2022) mencoba untuk menelisik dengan filosofi politik 'njawani'Â untuk mencoba memberikan pandangan atas dampak perang, serta peluang yang mungkin bisa dilakukan. Perdamaian mungkin saja, tapi menyuarakannya membutuhkan mediasi dengan obyektif. 'Njawani' pada dasarnya adalah perilaku sebagai orang Jawa yang selalu mencoba menyelaraskan antara alam, realitas dan pikiran manusia. Norma kesantunan menjadi nilai penting dalam filosofi politik 'Njawani' yang dibawa oleh Presiden Jokowi. Kedewasaan berfikir dengan 'semeleh' yang bermakna pasrah adalah bentuk kerelaan seorang presiden yang harus mengedepankan kepentingan negara turut berperang mendorong perdamaian yang sudah menjadi perundang-undangan dan prinsip negara yaitu 'aktif'. 'Sakmadya'Â secukupnya dalam artian, Indonesia akan berperan secukupnya sebagai bangsa yang besar, menjunjung tinggi keberagaman, sebagai presidensi KTT G 20 dimana negara-negara di sini adalah pemegang 60% populasi dunia, 75% perdagangan global, dan pemegang 80% PDB dunia.