Belakangan ini, selalu menemukan berita hiruk pikuk tentang kenaikan tarif masuk di Candi Borobudur dengan harga fantastis, Rp.750.000,-/orang untuk sampai pada puncak Candi tertinggi. Heboh, diberbagai media, tak ketinggalan berbagai tweet muncul dengan beragam pendapat. Membacanya ada rasa bangga, ada sedih, ada bingung bermunculan seperti gado-gado.
Rasa bangga, karena Candi Borobudur merupakan saksi sejarah, bagaimana agama Budha zaman Dinasti Syailendra (775-850 M), merupakan penganut Budha Mahayana, berkembang pada abad ke-8 Masehi. Candi ini juga telah ditetapkan sebagai pusaka budaya dunia oleh UNESCO pada 1991. Rasa sedih, bagaimana tidak, dengan harga setinggi itu, bagaimana bisa mengenalkan pada anak-anak kita kelak tentang keagungan dan kemegahan dari Candi Borobudur. Belum lagi, kata seorang teman Buddhist mengatakan, 'saya mungkin tak bisa lagi mengunjungi tempat ibadah besar itu, karena tak sanggup membayar tiket masuknya'. Bingung, mungkin ini rasa terakhir kali, dengan berbagai perubahan kebijakan yang cepat, berbagai perspektif memaknai akan keberadaan Candi Borobudur. Mulai dari cara perlakuan kita terhadap Candi hingga pemaknaan Candi itu sendiri dari sisi filosofinya.
Dari penuturan sang penjaga, Candi ini berhias 2.672 panel relief naratif dan dekoratif serta 504 arca Buddha sehingga diklaim menjadi pemilik relief Buddha terlengkap dan terbanyak di dunia. Ada banyak cerita menurutnya, relief pada dinding Candi menceritakan kisah Karmawibhangga yang menggambarkan berbagai kehidupan manusia, mulai dari perilaku keseharian dan sikap kita terhadap semesta. Relief Jetaka, ditingkat bagian atas Candi mengisahkan tentang kehidupan sang Buddha sebelum menjadi Dewa dan berbagai profesi manusia serta perilaku hewan yang menjadi satu ekosistem dalam mikrokosmik kehidupan kita. Selain itu, terdapat juga satu set 120 relief pada platform dinding pertama Candi yaitu Lalitavistara yang menggambarkan seputar kehidupan Pangeran Siddharta sejak lahir hingga pencerahan.
Ingat Borobudur, jadi ingat salah satu negara kecil di kerajaan Asia Selatan atau mungkin lebih dikenal dengan Negeri Naga Guntur. Ya...tidak sepopuler India atau China barangkali sebagai tujuan wisata, namun 'Bhutan' yang juga dikenal dengan nama 'Lho Men Jong' (Negeri Obat Tumbuhan dari Selatan), bahkan menjadi salah satu negara yang saat ini juga ramai diperbincangkan. Mengapa dan apa kaitannya dengan Borobudur? Dalam konteks ini tentu bukan dari sisi sistem kenegaraan yang akan saya tuliskan melainkan, contoh riil bagaimana penghargaan masyarakat Bhutan terhadap sang Buddha, berbagai Candi yang ada didalamnya dan hutan yang menjadi ikon negara ini.
Jika kita klik di mesin 'google'Â Bhutan, akan sangat banyak sekali informasi yang kita temukan, mulai dari keunikan, fakta, sistem ketatanegaraan, raja dan ratunya, hingga masyarakat Bhutan yang menjadi masyarakat terbahagia didunia saat ini. Bagaimana tidak, negara Bhutan saat ini merupakan satu-satunya negara yang diklaim menjadi negara 'netral karbon' dengan kemampuan menekan emisi karbondioksida. Padahal saat yang bersamaan seluruh negara global tak terkecuali Indonesia sedang gundah gulana untuk mengejar target 'zero emissions' dan menghadapi ganasnya perubahan iklim yang sudah dirasakan. Kuncinya adalah, hutan ya...hutan itulah yang masyarakat Bhutan hargai, dirawat, karena bagi mereka hutan adalah 'jiwa yang hidup' dan menjadi bagian dari ekosistem hidup & kehidupan. Di sini, lagi-lagi sejalan dengan ajaran Buddha berupa 'Panca Niyama' yakni lima dasar pelestarian alam bagi seluruh elemen kehidupan, manusia, tumbuhan, hewan dan lingkungan.
Candi yang paling terkenal di Bhutan adalah 'The Tiger Nest' atau 'Taktsang Lhakhang' sebagai situs dan landmark yang paling ikonik. Di Bhutan, situs ini menjadi favorit wisatawan. Bhutan mencoba menyatukan antara kearifan lokal, ibadah dan wisata. Ada banyak sekali aturan yang diterapkan jika berkunjung, mulai dari kewajiban melepaskan alas kaki, topi, tas, ponsel pada gerbang kuil. Murni hanya untuk dilihat, dikagumi dan tidak diperkenankan untuk menyentuh apapun yang ada didalamnya. Mayoritas masyarakat Bhutan yang berkunjung, hanya murni untuk beribadah di area ini dan sekali lagi 'gratis' tanpa dipungut biaya sepeserpun. Lalu apakah Candi ini rusak? Ternyata tidak, masih utuh terjaga seluruh ornament-nya.
Kembali pada Candi Borobudur, terakhir berkunjung sebelum pandemi covid 19, saya ingat sekali, bagaimana berbagai tulisan tata tertib sebagai wisatawan domestik tertera di pintu masuk, ada petugas yang mengarahkan dipintu, sesuai dengan tiket, sesuai juga dengan apa yang boleh dan tidak boleh. Rasa kagum, begitu melihat relief yang dipahat pada bebatuan. Meski demikian, tak semua mematuhi, masih ada wisatawan yang duduk, di dekat tulisan berjudul 'di larang duduk'. Mungkin hari ini sudah berganti, cara menghargai Candi adalah dengan 'selfie' dengan latar belakang Candi, begitu pikiran saya waktu melewati segerombolan pemuda yang mengunjungi.
Borobudur, soal menjadikannya sebagai tempat ibadah, warisan budaya atau destinasi wisata adalah pilihan dengan konsekuensi yang berbeda. Tempat ibadah, memang tempat ini memiliki nilai sakral pemujaan terhadap Dewa penguasa alam semesta dan seisinya, dan suci tentu saja. Warisan Budaya juga benar karena memang dibangun pada masa Dinasti Syailendra 1 abad setelah pembangunan 'Candi Muaro Jambi' oleh Kerajaan Sriwijaya (abad ke-7) dan menjadi landmark pusat kedokteran, pengobatan tradisional, filsafat, arsitektur hingga seni secara internasional dan memiliki kemiripan dengan 'The Tiger Nest'Â yang ada di Bhutan. Destinasi wisata, juga jelas adanya sebagai tujuan wisata religi yang sudah seharusnya kita sebagai wisatawan memberikan kontribusi untuk pelestarian, konservasi dan menghidupkan nilai pendidikan bagi generasi.
Pertanyaanya adalah apakah ketiganya bisa disandingkan? Sangat bisa dan sangat mungkin. 'Nilai' itulah yang menjadi 'benchmark', salah satu sebutan dalam ilmu manajemen, untuk mengukur, meningkatkan standard, kinerja, operational cost hingga peningkatan 'tourism satisfaction', sehingga 'strategi' dalam kenaikan harga tiket masuk pada Candi Borobudur lebih logis, sesuai dengan struktur 'nilai' mulai dari nilai religiusitas, nilai heritage, nilai konservasi warisan budaya, nilai attractiveness dengan segala kelebihan Candi Borobudur. Kita tidak akan pernah mampu membeli semua nilai-nilai itu atau membandingkan nilai 'mata uang' dibandingkan dengan bagaimana proses antara pengetahuan, kontemplasi antara semesta dengan manusia dan Tuhan, dan teknologi terukir pada sejarah yang tak akan bisa diulang kembali di masa berikutnya. Belajar dari Bhutan atau mungkin kita bergeser sedikit, belajar dari Kamboja dengan Angkor Wat-nya yang menjadi kebanggaan negara tanpa mengesampingkan nilai budaya, religiusitas dan destinasi wisata yang memadukan kemilau alam semesta. Pilihan akan tetap ada, dengan logika jika angka 1 maka pilihan kita hanya 1, jika 2 maka kita punya 2 pilihan, jika 3 maka 3 pilihan dan seterusnya. Ini yang Kamboja dan Bhutan terapkan, menjadikan destinasi wisata, menjadikan 'benchmark' sebagai ukuran harga 'landmark' berpadu dengan nilai tata budaya, spiritual dan kelestarian alam. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H