Tidak kurang dari sebulan, umat Islam di Indonesia akan memasuki bulan Ramadhan, dimana bulan tersebut diyakini penuh keberkahan dan saatnya berlomba dalam amalan, mengejar pahala sebagai kunci surga.Â
Dalam banyak hal, bulan Ramadhan kali ini, justru ditandai dengan berbagai hal yang menimbulkan pertanyaan bagi banyak orang, termasuk 'Emak' yang harus bangun pagi-pagi meminta saya untuk mengantarkan beliau ke pasar desa pagi karena ada operasi minyak goreng murah di sudut pasar.Â
Bergegas dengan membawa dirigen berukuran 5 liter, Emak ikut mengantri mintak goreng yang sudah mengular panjang lebih dari 2 meter. Tak hanya Emak, dalam antrian tersebut notabene didominasi oleh anak-anak dan juga lansia bahkan beberapa diantara emak-emak ini dalam keadaan hamil.
Pak Jun, sebagai pemilik took langganan Emak juga tak kalah sengit menceritakan pertarungan untuk mendapatkan pasokan bagi ibu-ibu rumah tangga desa. Dia pun takt ahu menahu mengapa tiba-tiba minyak goreng 'curah' yang biasanya banyak melimpah ikut menghilang juga dari 'toko besar langganannya'. Dengan telaten dan sabar, Pak Jun melayani omelan dan kekesalan para ibu yang menggerutu karena lamanya waktu antrian.
Setelah hampir 2 jam, aku dan Emak berhasil mendapatkan 5 liter minyak goreng curah. Lumayan, kata Emak, bisa diirit hingga awal puasa nanti, minimal bisa untuk menggoreng tempe dan tahu yang menjadi lauk favorit keluarga. Meskipun tempe juga merangkak naik seiring dengan langkanya bahan baku dalam beberapa bulan terakhir.Â
Tak hanya itu, harga bahan pokok juga turut merangkak naik, seiring bulan Ramadhan dan kata Emak, menjadi rutinitas tahunan yang terus berulang. Emak mengungkapkan selama hamper 70 tahun, setiap bulan Ramadhan sejak umurnya mencapai kepala 2, Emak mulai merasakan kenaikan harga bahan pokok yang selalu naik menjelang Ramadhan.Â
Meski demikian, dia menganggap lumrah dan menjadi 'biasa' dengan situasi dan kondisi yang kemudian memaksanya harus memutar otak untuk bisa beradaptasi. Emak hanya bingung, apakah tak ada cara mengatasinya dari negeri ini?Â
Padahal negeri ini kaya, seperti lirik lagu Koes Plus di era 2008, 'bukan lautan hanya kolam susu, kail dan jala cukup menghidupimu. Tiada badai, tiada topan kau temui. Ikan dan Udang menghampiri dirimu. Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman'.
Kemana Sawit Indonesia?
Pertanyaan yang sama, dilontarkan oleh Emak. Tentu Emak menganggap aku yang mengenyam perkuliahan, bertanya padaku. Mulailah aku, berselancar mencari jawaban pernyataan Emak atas keberatannya terhadap kelangkaan minyak goreng yang diperkirakannya hingga Ramadhan bahkan lebaran mendatang.
Menurut data books (2022), Indonesia memiliki luas perkebunan kelapa sawit mencapai 15,08 juta ha pada 2021, 8,42 juta ha (55,8%) Perkebunan Besar Swasta (PBS), 6,08 juta ha (40,34%) Perkebunan Rakyat (PR), dan 579,6 ribu ha (3,84%) Perkebunan Besar Negara.Â