Mohon tunggu...
Nor Qomariyah
Nor Qomariyah Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar stakeholder engagement, safeguard dan pegiat CSR

Senang melakukan kegiatan positif

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Ketika Patrick "Berdesakan Rumah" dengan Si Pintar

11 Februari 2022   10:00 Diperbarui: 11 Februari 2022   10:02 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Piado Rimbo, piado Bungo, piado Bungo, piado Dewo"

(Tiada hutan, tiada bunga, tiada bunga, tiada Dewa)

Filosofi Orang Rimba

'Nama aku Patrick Kakak. Sudah besar aku ini, kelas 4 SD. Aku sudah bisa baca, jadi sekarang aku juga sudah punya Facebook', sebuah kalimat dengan Bahasa Idonesia yang fasih itu hingga kini masih terngiang di telingaku. Apalagi diiringi suara gelak tawa dari beberapa anak yang berkerumun di kiri kananku. Patrick, salah satu anak yang masih aku ingat dengan jelas raut mukanya yang polos, rambut yang disemir dengan pirang serta ikat kepala yang khas dengan celana pendek dan kaos oblong pemberian dari salah satu fasilitator pendidikan yang berasal dari salah satu NGo di Jambi, KKI Warsi bergambar tingkah laku keseharian anak-anak rimba.

Sekilas mungkin tidak ada yang istimewa dari Patrick, sama seperti anak yang seumuran dengannya dimana ada kebanggaan tersendiri saat memiliki sebuah akun media sosial dan bisa berlangganan 'signal' di salah satu bukit yang terletak di landskap Taman Nasional Bukit Tigapuluh atau disebut dengan TNBT. Facebook menjadi satu-satunya media sosial yang Patrick gunakan untuk memajang foto-foto aktivitasnya bersama teman-temannya dalam keseharian dan berkenalan dengan teman lain dari dunia luar.

Nama Patrick juga disematkan oleh orang tuanya yang juga didapatkan dari media sosial yang sama. Sebuah nama yang menurutnya 'gaul, terkenal seperti masyarakat pada umumnya yang tidak merujuk pada nama yang menandai identitas Suku Talang Mamak'. Patrick tak sendiri, terdapat lebih dari 154 KK tinggal di lokasi ini, tepatnya berada di dalam kawasan restorasi ekosistem PT. Alam Bukit Tigapuluh (ABT), termasuk teman-teman seusianya yang jumlahnya lebih dari 20-an anak yang hidup dengan bebas di dalam hutan, dimana tak lagi sama dengan segala kondisinya yang serba terbatas.

Seperti hari ini, Patrick menceritakan hanya mendapatkan 1 Kg Jengkol dan 4 ekor ikan sungai dengan ukuran kecil hingg sedang. Bagi Patrick ini menjadi anugerah lauk untuk hari ini yang bisa ia berikan kepada ibu dan keluarganya untuk dimasak dan dinikmati.

Dia mengeluhkan, semakin sedikitnya ketersediaan tanaman yang bisa dikonsumsi sebagai hidangan sehari-hari di dalam hutan apalagi banyak tanaman yang kemudian juga dimakan oleh Datuk Gedang 'Si Cerdas' yang juga mendiami rumah yang sama 'Bukit Tigapuluh'.

Patrick tentu belum memahami, apakah hal ini disebabkan karena adanya kerusakan hutan dan alih fungsi lahan yang selama ini menjadi rumahnya, ataukah karena perubahan iklim (climate change) yang kemudian berdampak pada kurangnya hasil hutan dan ikan tangkapannya. Ataukah justru ini memang sudah menjadi takdir, perubahan tutupan hutan karena tingginya jumlah populasi manusia sehingga menggusur ketersediaan pangan bagi dirinya dan keluarga lainnya yang ada di pedalaman hutan Bukit Tigapuluh di Jambi. 

Penyebutan Si Cerdas bukan tanpa alasan, namun Gajah memang terbukti memiliki 257 neuron, memiliki kecerdasan yang hampir sama dengan manusia, mampu mengingat temannya meski sudah bertahun-tahun lamanya tidak bertemu, bahkan mengenali bangkai temannya yang telah mati, menutupinya dengan dedaunan dan tanah, dan membawa gading temannya yang telah mati. Tak hanya itu, bahkan beban seberat 300 Kg juga bisa diangkat menggunakan belalainya dan tentu saja mengingat area jelajahnya meski telah ditinggalkan selama 5 tahun lamanya dengan perubahan fungsi dan tutupan hutan. Si Cerdas ini juga merupakan pembelajar yang cepat, seperti bagaimana ia mengatasi upaya mitigasi yang telah dilakukan manusia, mulai dari pembuatan parit pembatas, mercon, hingga pagar kejut yang dengan mudah dapat ia atasi.

Jambi, terutama di kawasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) merupakan salah satu dari 22 kantong Si Cerdas di seluruh Indonesia, selain Sumatera Selatan, Lampung dan Aceh. Tercatat jumlah si Cerdas saat ini semakin menurun di angka 61,3% pada 2019 dengan berbagai penyebab, terutama konflik dengan manusia hingga keracunan (Gajah.indonesia.instagram, 2021). Padahal di sisi lain, si Cerdas ini juga membantu proses penyebaran biji dari kotoran dan sisa makanannya dalam jumlah besar dan jarak jauh.

Upaya Membangun Harmionisasi, Berbagi Rumah Bersama 

Cerita Patrick dan keluh kesahnya, menjadi catatan kecil bagiku, sebagai bahan evaluasi pada saat menjadi fasilitator forum di Jambi, Platform Kolaborasi Bukit Tigapuluh (PKBT) bersama teman-teman dari berbagai organisasi, mulai dari NGo (KKI Warsi, Frankfrut Zoological Society (FZS), Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK), Kaoem Telapak, Forest Watch Indonesia (FWI), Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), dan lainnya, jajaran pemerintah seperti Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, Balai Taman Nasional Bukit Tigapuluh (BTNBT), Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), Kesatuan Pengelola Hutan Produksi (KPHP) Tebo Barat dan Tebo Timur, Balai Gakkum Wilayah Sumatra, Kementrian Sosial serta Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), masyarakat pemegang izin Perhutanan Sosial (PS) seperti Muara Kilis Bersatu (MKB), dan 6 pemegang izin lainnya hingga sektor swasta yang menempati landskap yang sama, seperti PT. Royal Lestari Utama (RLU), PT. Alam Bukit Tigapuluh (ABT), PT. Wira Karya Sakti (WKS) dan PT. Tebo Multi Agro (TMA).

Hal ini membawa pada diskusi panjang yang hidup dengan mengelaborasi lebih jauh tentang pentingnya berbagi ruang hidup dan mengharmonisasi tempat tinggal bersama antara Patrick dan Si Cerdas. Bahkan juga turut mendorong teman-teman yang aktif dalam program Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) yang diinisiasi bersama Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) di lapangan, ikut andil mengambil peran dan posisi dalam mendiskusikan bersama, bagaimana upaya harmonisasi diciptakan sesuai dengan karakteristik, pola masyarakat dan pola kehidupan Si Cerdas yang sama-sama menghuni rumah yang sama, baik dengan pola delienasi kawasan maupun bersama menghitung valuasi ekonomi ketika sebuah 'kamar' dalam 'rumah' itu diberikan kepada keduanya.

Upaya harmonisasi hidup dengan berbagi ruang sebagai rumah mungkin masih akan menjadi perjalanan panjang antara Patrick dan Si Cerdas, membutuhkan berbagai dukungan, pemahaman yang baik akan pola ruang hutan yang pada kenyataannya telah banyak berubah, belum lagi tantangan adaptasi perubahan iklim (climate change) agar lebih resilience dengan situasi dan ledakan populasi manusia ke depan, selain persoalan pembalakan liar, perambahan, kebakaran hutan dan lahan yang masih menjadi 'Pekerjaan Rumah' bersama oleh para stakeholder dan masyarakat yang berada di kawasan Bukit Tigapuluh.

Patrick, sebagai gambaran kecil potret pentingnya kerja-kerja bersama, berkolaborasi dalam membangun ruang lebih baik dan aman serta sustainabale ke depan. Sehingga ia dan Si Cerdas tidak lagi berkonflik berebut ketersediaan pangan. Apalagi Si Cerdas yang bisa menghabiskan 300 Kg/hari untuk memenuhi kebutuhannya.

Pembelajaran keberhasilan sebagai fasilitator forum dengan multi-stakeholder seperti membangun sebuah rumah sebagai tempat tinggal dan 'menjahit baju' sesuai dengan pola dan fungsi yang akan saling melengkapi satu sama lain yang tak harus berhadapan dengan konflik kepentingan, melainkan mencari titik temu bersama dalam pola pembangunan manusia sekaligus upaya konservasi berkelanjutan dalam pencapaian Social Development Goals (SDGs) yang hingga 2030 mendatang. Berbicara dengan 'bahasa kalbu' seperti lagu favorit di era 2011 yang dirilis Titi Dj, juga menjadi modal utama untuk bisa menghubungkan 'kesalingan, keterbukaan, menurunkan ego-gengsi, menahan nafsu, hingga merubahnya menjadi kebersamaan dalam berkarya, melukis dan mewarnai rumah bersama di Bukit Tigapuluh'.

Bagaimanapun juga Patrick dan Si Cerdas merupakan dua makhluk yang akan terus beregenerasi, berkembang, meski hutan sebagai rumah mereka akan terus berubah. Menempatkan sebuah 'keyakinan dan rasa percaya diri' pada Patrick adalah caraku untuk tetap membuatnya meneruskan perjalanan hidupnya, menanam kembali 'bungo' di hutan itu agar sang 'Dewo' bersedia kembali hadir dan Si Cerdas juga dapat kembali berdamai serta bersahabat dengan alamnya, dimana tentu saja tak kan lagi 'berdesakan' dalam satu rumah yang sama. Mungkin keberhasilan ini masih jauh panggang dari api, akan tetapi upaya melaju bersama adalah sebuah pilihan arif ditengah hiruk pikuk degradasi dan deforestasi yang terus menghantui berbagai lini dalam rentang kolaborasi.

Satu hal yang pasti adalah membangun edukasi bersama tentang pentingnya berbagi ruang, memampukan para 'Patrick' lainnya untuk bisa beradaptasi dengan situasi hutan hari ini, berhadapan dengan perubahan iklim, memahami pentingnya konservasi sebagai bagian dari cycle life, dan pemanfaatan digital dalam media sosial yang kini telah dikenal mereka sebagai ruang kampanye positif, mengenali potensi hutan dan menceritakan kebiasaan hidup harmoni dengan alam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun