Mohon tunggu...
Nopian Teguh Susyanto
Nopian Teguh Susyanto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Mahasiswa

Janji Untuk Sebuah Kehormatan

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Revisi PP PSTE dan Kekhawatiran yang Menghantuinya

24 Desember 2019   09:33 Diperbarui: 24 Desember 2019   09:36 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peraturan Pemerintah (PP) nomor 71 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE) sebagai revisi atas PP nomor 82 tahun 2012 tentang PSTE telah disahkan pada tanggal 10 Oktober 2019 yang lalu. Perlu kita ketahui, isi dari peraturan tersebut adalah untuk mengatur penyelenggara sisem elektronik, penempatan data center, perlindungan data pribadi, autentikasi situs web dan pengelolaan nama domain.

Dari 104 pasal yang terdapat dalam PP nomor 71 tahun 2019 tersebut, ada dua pasal yang dianggap kontroversial dan masih bermasalah, yaitu:

Pasal 20 ayat 3 hasil revisi yang berbunyi, "Penyelenggara sistem elektroni lingkup publik dapat melakukan pengelolaan, pemrosesan, dan atau penyimpanan sistem elektronik dan data elektronik di luar wilayah Indonesia."

Sebelum direvisi berbunyi, "Penyelenggara sistem elektronik untuk pelayanan publik wajib menempatkan pusat data dan pusat pemulihan bencana di wilayah Indonesia untuk kepentingan penegakan hukum, perlindungan dan penegakan kedaulatan negara terhadap data warga negaranya."

Pasal 21 ayat 1 hasil revisi yang berbunyi, "Penyelenggara sistem elektronik lingkuo privat dapat mengelola, memproses dan menyimpan sistem elektronik dan data elektronik di wilayah Indonesia dan atau di luar wilayah Indonesia." 

Sebelum direvisi berbunyi, "Penyelenggara sistem elektronik wajib menampilkan kembali informasi elektronik dan atau dokumen elektronik secara utuh sesuai dengan format dan masa retensi yang ditetapkan berdasarkan ketentuan perundang-undangan.

Revisi melalui pasal 20 ayat 3 tersebut membuat saat ini tidak ada lagi kewajiban dari penyelenggara publik untuk menempatkan datanya di Indonesia dengan syarat teknologi penyimpanan tersebut tidak tersedia di Indonesia. Hal tersebut dikhawatirkan bisa membuat pelaku bisnis data center di Indonesia gulung tikar karena harus bersaing dengan penyedia data center dari luar Indonesia yang bisa masuk dengan mudah ke Indonesia. Revisi tersebut juga dikhawatirkan bisa mengancam kedaulatan negara dikarenakan data center yang berisikan informasi-informasi yang penting tersebut berada di luar Indonesia dan bisa saja dibuka dan disebarkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab ke publik.

Sedangkan revisi melalui pasal 21 ayat 1 tersebut dikhawatirkan akan membuat negara tidak dapat melindungi data masyarakat Indonesia. Hal tersebut dikarenakan penyelenggara sistem elektronik privat lebih memilih menyimpan datanya di luar wilayah Indonesia, mengingat sampai saat ini belum ada aturan mengenai perlindungan data pribadi yang memadai dari pemerintah Indonesia.

Revisi tersebut juga dikhawatirkan akan membuat kerugian dari segi ekonomi, dikarenakan penyedia layanan pusat data, cloud computing dan perusahaan Over The Top (OTT) asing tidak lagi berkewajiban melakukan investasi di Indonesia, karena berpikiran bahwa mereka bisa melayani masyarakat Indonesia dari luar wilayah Indonesia. Selain itu, revisi tersebut juga bisa mempersulit penegakan hukum dikarenakan data-data yang dibutuhkan untuk proses penyelidikan hukum tersimpan di luar wilayah Indonesia, padahal setiap negara mempunyai aturan dan yurisdiknya masing-masing.

Menurut penulis, dari beberapa poin yang telah disebutkan diatas, revisi PP nomor 82 tahun 2012 melalui PP nomor 71 tahun 2019 khususnya pada pasal 20 ayat 3 dan 21 ayat 1 dikhawatirkan bisa merugikan masyarakat Indonesia, pelaku bisnis dalam negeri dan pihak penegak hukum. Pemerintah pun juga bisa mengalami kerugian yang bersumber dari efek domino dari pihak-pihak yang disebut tadi jika semua yang dikhawatirkan penulis terjadi.

Sebaiknya, pemerintah melakukan kajian kembali mengenai revisi PP tersebut, khususnya kedua pasal tersebut. Kajian tersebut diperlukan karena melihat isi kedua pasal yang malah bertolak belakang dengan janji Presiden Joko Widodo soal "Kedaulatan Data", dimana beliau pernah mengatakan bahwa, "Data adalah minyak baru yang perlu diperkuat dan dilindungi."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun