Penetapan bulan-bulan qomariyah yang berkaitan dengan ibadah kaum muslimin di Indonesia kerap terjadi perbedaan dan mengundang perdebatan yang panjang. Sudah menjadi rahasia umum bahwa biang keladi dari semua itu adalah kriteria penetapan awal bulan yang berbeda-beda untuk masing-masing ormas dan kelompok.Selama ketetapan tersebut belum ada kesepakatan yang sama untuk satu kriteria, maka selama itu pula peluang untuk berbeda selalu terjadi dan perdebatan pun takkan pernah berhenti.
Sebagian orang mengganggap wajar perbedaan yang terjadi dan hanya perlu mengedepankan sikap toleran, lalu mendiamkan perkara ini. Seakan-akan ini masalah yang tidak krusial untuk diperhatikan. Namun sebagian lagi dengan segala upaya dan kemampuannya mengupayakan jalan penyatuan, meskipun selama ini hanya menemukan jalan buntu. Namun sebenarnya, semua sepakat bahwa kondisi yang ideal untuk memulai dan mengakhiri bulan qomariyah ini adalah tidak ada perbedaan di kalangan kaum muslimin, terutama dalam satu wilayah hukum Negara.
Kalau kondisiidealnya adalah sama dan bersatu, mengapa kita justeru larut dalam perbedaan (yang pada akhirnya berpotensi memecah belah umat)? Bisakah sebenarnya semua golongan ini disatukan dalam satu pendapat yang sama? Jawabnya tentu saja bisa! Hal ini sudah terbukti dinegara-negara lain yang penduduknya mayoritas islam. Mereka bisa bersatu, mengapa Indonesia tidak?!
Ada juga yang beranggapan bahwa penyatuan ini membutuhkan jalan yang panjang dan berbelit-belit. Rumit. Tetapi sebenarnya tidaklah demikian rumit dan berbelit-belit, jika kita benar-benar memahami agama ini secara menyeluruh, tidak sepotong-sepotong. Apalagi hal ini hanya merupakan masalah ijtihadiyah yang bisa saja berubah-ubah sejalan dengan perkembangan pemikiran manusia.
Sebagian lagi mungkin mungkin beranggapan bahwa tidak boleh meninggalkan ijtihadiyah yang diyakini sebagai sebuah kebenaran atas seseorang atau suatu kelompok. Sehingga jika masing-masing mempertahankan ijtihad-nya, maka tidak ada dosa di dalamnnya. Pendapat seperti ini sebenarnya hanya berkembang karena perasaan taklid buta terhadap sebuah pendapat. Secara umum saja, sudah diketahui bahwa ulama dan umat islam sering berpindah dari satu ijtihad menuju ijtihad yang lain baik karena terpaksa atau memang karena mempunyai rujukan dalil yang jelas. Dan tidak ada pengharaman dari para ulama untuk beralih dari satu ijtihad yang satu menuju ijtihad yang lain, selama hasil ijtihad tersebut mempunyai dalil yang jelas dan shahih dari Al-qur’an dan atauhadist.
Hanya saja, sebagian orang tersebut menganggap seakan-akan masalah ijtihadiyah ini seperti sebuah aqidah yang harus mereka pertahankan apapun yang terjadi. Kalau ini adalah masalah aqidah, tentu saja kita pun setuju dan mendukung untuk dipertahankan sampai titik darah yang penghabisan. Tetapi dalam masalah ijtihadiyah, tidak ada kebenaran yang absolut, artinya ijtihad itu bisa benar dan bisa salah, bisa berganti karena sesuatu hal dan selalu berkembang sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan manusia itu sendiri.
Sementara kita yang awwam, hanya disuruh untuk memilih yang lebih kuat (tentu saja ukurannya adalah Al-qur’an dan As-sunnah) dan yang mana yang mudharatnya lebih kecil. Namun jika ijtihad-ijtihad tersebut ternyata sama kuatnya, maka amalkan keduanya (jika memungkinkan) atau amalkan secara bergantian atau pilih salah satu.
Kenyataan yang terjadi sekarang, ketika kita dihadapkan pada suatu pilihan untuk mengambil/meninggalkan suatu hasil ijtihad tentang suatu hal. Maka nampaklah oleh kita bahwa pengambilan atau pengesampingan salah satu ijtihad tersebut bukan hanya didasari oleh keyakinan bahwa ijtihad inilah yang paling benar sesuai Al-qur’an dan As-sunnah tadi. Tetapi ia lebih banyak dipengaruhi oleh hal-hal lain dilluar itu, misalnya karena sikap taklid terhadap pendapat kelompok dan golongan, menimbang/mengukur-nya dengan kalah-menang dan sikap guluw (berlebih-lebihan) kita dalam menempatkan hasil ijtihad tersebut.
Kalau kita mampu mengatasi hal-hal tersebut di atas, maka insya Allah penyatuan pendapat akan lebih mudah untuk dicapai, sebab pada dasarnya penyatuan awal dan akhir puasa dan berlebaran sesungguhnya adalah merupakan impian kita bersama.
Mengingat pentingnya permasalahan penyatuan ini bagi kaum muslimin, maka ada beberapa hal yang menurut hemat saya harus kita perbaiki untuk mencapainya:
1.Niat yang ikhlas.
Niat memegang peranan penting dan utama untuk memulai langkah yang akan kita tempuh. Dengan niat yang tulus dan ikhlas semata-mata karena Allah untuk menyatukan pendapat dalam hal ini, maka langkah ke depan akan jauh lebih mudah dan peluang besar untuk menggapainya.
Berbeda dengan kalau kita meniatkannya hanya setengah hati, maka niscaya akan lahirlah pendapat yang hanya ingin memenangkan pendapat diri dan kelompoknya, tidak mau mengadopsi dan mengakui ada kebenaran yang tersimpan pada pendapat orang lain dan bahkan hanya memunculkan perdebatan yang tidak syar’I dan ilmiah atau debat kusir (tanpa ada ujung pangkalnya) yang semua itu terlarang dalam agama.
2.Memupuk Rasa Persaudaraan.
Dengan keyakinan bahwa semua umat islam bersaudara, maka timbullah rasa saling menghormati, menghargai dan ingin bersama-sama dengan saudaranya dalam segala hal yang masih memungkinkan untuk ditempuh. Dan bahkan mungkin saja akan muncul himbauan dan anjuran untuk sama-sama memikirkan saudaranya yang lain, yang bukan berasal dari kelompoknya atau bahkan yang sama-sekali tidakberada dalam satu kelompok tertentu.
Tanpa perasaan persaudaraan yang tulus, maka apapun yang kita rundingkan hanya akan menjadi perdebatan yang bisa memunculkan kebencian, iri dan bahkan kedengkian antara yang satu dengan yang lain.
3.Kembali ke asas musyawarah
Mengedepankan asas musyawarah juga merupakan hal yang terpenting berikutnya. Karena asas musyawarah mengajarkan kepada kita bahwa apapun keputusan yang diambil dan ditetapkan adalah keputusan bersama yang semua orang harus menaatinya. Perkara keputusan itu bisa berubah di suatu saat nanti, itu adalah hal yang lain.
Dengan demikian, tidak lagi kita merasa rugi dengan tidak diterimanya pendapat yang kita utarakan atau merasa menang ketika diambilnya pendapat yang kita kemukakan.
Kiranya cukup ini dulu apayang bisa saya sampaikan, dengan harapan bermanfaat dan justeru tidak menimbulakn persoalan baru untuk menyongsong penyatuan umat islam dalam Indonesia dalam beribadah. Sehingga ibadah yang dilaksanakan menjadi khusu’ dan dengan keyakinan yang lebih mantap. Semoga amal ibadah kita diterima oleh Allah SWT. Amin.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI