Mohon tunggu...
Novyana Handayani
Novyana Handayani Mohon Tunggu... aparatur sipil negara -

Dulu sempat menjadi jurnalis. Lima tahun saya rasa cukup, karena ternyata label media cetak hanya perusahaan kapitalis yang mementingkan rekening pribadi dibanding kesejahteraan karyawan serta informasi yang valid, berimbang serta aktual bagi khalayak. Kini, saya hanya seorang penulis tanpa kertas...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bhineka Tunggal Ika, Ada di Tanjungpinang

23 November 2016   09:51 Diperbarui: 23 November 2016   10:04 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hari Minggu lalu, ketika saya dan dua orang keponakan jalan-jalan ke kawasan Tepi Laut, Tanjungpinang, ketika akan pulang dan melewati jalan Teuku Umar, jalan kami dialihkan. Kami diarahkan menuju ke jalan Gambir.

Hal itu dilakukan, karena ada rombongan yang akan mengantar jenazah beragama Budha, yang dikawal polisi. Rombongan itu tidak terlalu ramai, namun berjalan sangat lamban. Tak ada yang protes. Tak ada yang ngedumel, semua pengendara yang dialihkan dengan santai menuju jalan Gambir.

Akhir-akhir ini Bhineka Tunggal Ika sedang marak dibicarakan, diulas dan bahkan dipertontonkan. Kami warga Tanjungpinang (bukan Pangkal Pinang), di Provinsi Kepulauan Riau (bukan Riau) boleh berbangga diri. Karena Bhineka Tunggal Ika ada di dada, darah dan nafas kami.

Bagaimana tidak. Dalam radius satu kilometer, terdapat beberapa gereja, masjid dan vihara yang umatnya hidup dalam damai. Jika sedang perayaan tahun baru Imlek, tidak hanya yang keturunan Tionghoa saja yang merayakan.

Suku-suku lain juga menikmati aneka perhelatan yang digelar. Mulai dari pasar malam yang digelar beberapa pekan sebelum perayaan Imlek, hingga malam pergantian tahun yang dirayakan dengan acara panggung hiburan.

Jika umat Budha maupun Hindu merayakan hari raya, umat agama lain juga ikut ‘heboh’ menyaksikan pawai lampion. Sedangkan Idul Fitri dan Idul Adha, setiap acaranya terselenggara dengan aman dan damai.

Budaya di Tanjungpinang juga sudah melebur. Acara perahu naga yang merupakan ritual sembahyang laut umat Budha, sejak beberapa tahun lalu sudah disadur menjadi perhelatan budaya tahunan oleh Pemerintah Kota Tanjungpinang.

Ajang Dragon Boat Race itu tak hanya diikuti oleh tim-tim lokal Tanjungpinang saja, juga dari seluruh Provinsi Kepulauan Riau, bahkan daerah di Indonesia dan sejumlah negara tetangga hingga negara Eropa.

Bahkan tim dari Ceko yang setiap dua tahun sekali ikut serta ajang Dragon Boat Race (DBR), sempat dihadiahi dua perahu naga. Saking senangnya, mereka berkeliling ke sejumlah negara Eropa, mempromosikan DBR.  

Soal politik, jangan disebut lagi. Beberapa orang keturunan Tionghoa sejak beberapa periode ini sudah duduk di kursi wakil rakyat. Sebut saja nama Beni dan Renni di DPRD Kota Tanjungpinang dan Rudy Chua yang duduk di DPRD Provinsi Kepri, dari daerah pemilihan Kota Tanjungpinang.

Pada pemilihan kepala daerah Kota Tanjungpinang 2012 lalu, ada empat pasangan yang mendaftar. Satu orang Calon Wako, yaitu Hendri Frankim adalah keturunan Tionghoa. Serta satu orang Calon Wawako, Rudy Chua juga keturunan Tionghoa yang keduanya non muslim.

Juga terdapat satu orang Calon Wako, Maya Suryanti yang adalah perempuan. Sedangkan calon lain, berasal dari suku yang beragam. Apakah ada yang menggunakan Al-Maidah 51 sebagai bahan kampanye? Ada.

Apakah ada yang melarang memilih pemimpin perempuan? Juga ada. Tapi tidak ada yang heboh, sampai berbuntut aksi demonstrasi hingga berujung ke pelaporan. Kalau soal Bhineka Tunggal Ika, warga Tanjungpinang tak pernah mempermasalahkan suku maupun agama. Karena itu milik masing-masing pribadi.

Pelajaran ke-Bhineka Tunggal Ika-an sempat dirasakan warga Tanjungpinang pada 2006. Kala itu sedang heboh berdirinya China Square di sekitaran pasar. Ada pro dan kontra. Sempat membuat suasana tidak kondusif hingga Satpol PP dan polisi turun tangan.

Tapi yang membuat berujung ke meja hijau, adalah perkataan Hendri Frankim yang kala itu menjabat sebagai Anggota DPD RI. Ia menyebut, “walikota itu keturunan cina, tapi bodoh.” Suryatati A Manan yang kala itu menjabat Walikota Tanjungpinang, tak banyak merespon.

Namun karena desakan warga dan sejumlah LSM, untuk membuat situasi tetap kondusif, Suryatati melaporkan Frankim atas pencemaran nama baik. Walikota Tanjungpinang juga pernah mendapat penghargaan dari Vatikan, karena toleransi warganya yang tinggi.

Sesungguhnya Bhineka Tunggal Ika itu tak perlu dirayakan dengan cara-cara lain, kecuali menerapkan dalam kehidupan sehari-hari. Hargai keyakinan, budaya dan adat istiadat orang lain.

Komposisi etnis Kota Tanjungpinang pada tahun 2010

Etnis

Jumlah (%)

Melayu

30,7

Jawa

27,9

Tionghoa

13,5

Minangkabau

9,5

Batak

6,6

Sunda

2,8

Bugis

1,9

Lain-lain

7,1

Sumber: Sensus Penduduk Tahun 2010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun