Seluruh masyarakat Indonesia percaya Antasari Azhar tidak membunuh berencana Nasrudin Zulkarnaen, meskipun di pengadilan hakim memutus beliau bersalah!!
Gitu Jess....
Begitu status facebook teman saya Patrick Nababan usai vonis 20 tahun penjara yang diterima Jessica Kumala Wongso. Jessica diputus bersalah atas pembunuhan temannya Wayan Mirna pada awal tahun lalu.
Wanita yang selalu mengenakan kemeja putih saat persidangan itu, dinilai secara sengaja menaruh natrium sianida kedalam minuman es kopi Vietnam yang ia pesankan untuk Mirna. Entah apa motifnya, hingga kini tidak diketahui.
Saya pribadi menilai Jessica memang seperti yang dituduhkan. Gerak-geriknya yang terlihat mencurigakan melalui CCTV, membuat saya bertanya-tanya ‘’apa yang direncakan orang ini”. Tindak-tanduknya seperti orang gelisah, yang akan melakukan hal tak wajar.
Belum lagi pernyataan dirinya yang kerap berubah-ubah, tak konsisten. Masih banyak lagi variabel yang membuat saya yakin, memang Jessica membunuh Mirna. Entah apapun motifnya.
Tapi...hukum tidak berdasarkan prasangka. Baik itu prasangka saya, keluarga Mirna, polisi, jaksa maupun hakim. Hukum dan keadilan hanya melihat bukti-bukti. Saya pun menyadari itu. Nyaris tak ada bukti yang dapat meyakinkan bahwa Jessica menaruh sianida di kopi Mirna, hingga menyebabkan kematian.
Bahkan, para ahli tak se-iya sekata mengenai kadar sianida dalam tubuh Mirna. Tak ada pula autopsi yang menguatkan dasar tuntutan, bahwa Mirna dibunuh dengan racun sianida. Hakim pun mengakui kurangnya bukti-bukti.
Status Patrick di Facebook tadi mengingatkan saya pada Antasari Azhar, saat dihukum bersalah merencanakan pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen. Antasari dihukum 18 tahun penjara.
Untuk kasus itu, saya yakin sebagian besar rakyat Indonesia tak percaya Antasari menjadi otak pembunuhan Nasrudin. Apalagi demi seorang cady perempuan bernama Rani Juliani. Begitupun juga keluarga Nasrudin, yang hingga kini masih mencari pembunuh Nasrudin, karena mereka tak percaya Antasari pelakunya.
Kasus lama yang baru-baru ini kembali diungkit, adalah kasus Munir. Dimana Polycarpus akhirnya diputus 20 tahun penjara oleh Mahkamah Agung. Tapi hingga kini seluruh rakyat Indonesia dan keluarga Munir masih bertanya-tanya, siapa otak dibalik pembunuhan itu.
Keadilan dilambangkan dengan dewi yang memegang timbangan dan ditutup mata dan telinganya. Keadilan tidak melihat dan mendengar siapa, tapi menimbang bukti-bukti yang tersedia.
Keadilan itu ternyata tidak pasti. Tergantung siapa yang berkuasa. Keadilan itu runcing kebawah namun tumpul keatas. Entah siapa yang ada diatas kini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H