Mohon tunggu...
Novyana Handayani
Novyana Handayani Mohon Tunggu... aparatur sipil negara -

Dulu sempat menjadi jurnalis. Lima tahun saya rasa cukup, karena ternyata label media cetak hanya perusahaan kapitalis yang mementingkan rekening pribadi dibanding kesejahteraan karyawan serta informasi yang valid, berimbang serta aktual bagi khalayak. Kini, saya hanya seorang penulis tanpa kertas...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Surat Menyurat Nasibmu Kini

9 Oktober 2015   08:42 Diperbarui: 9 Oktober 2015   10:09 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lembaran kertas itu berwarna pastel, dengan aroma yang sedap dan tentu saja dengan lipatan yang sangat artistik. Lembaran-lembaran itu kemudian dimasukan pada amplop dengan warna dan aroma senada. Sungguh indah, membuat hati berbunga-bunga, bahkan sebelum membaca isinya.

Aksi mengirim surat cinta dengan cara seperti itu sempat trend pada akhir 1980-an hingga awal tahun 2000-an. Tak jauh berbeda dengan saat ini, remaja 80an hingga awal 2000an juga sudah saling suka. Hanya saja, bertemu langsung dan saling sapa masih berupa hal yang ‘tabu’.

Alhasil, surat menyurat menjadi ajang komunikasi yang dipilih. Teman yang dipercaya, menjadi ‘tukang pos’ untuk menyampaikan surat pada pujaan hati. Biasanya diselipkan diantara lembaran buku pelajaran, atau diletakan di laci meja penerima surat.

Untuk saat-saat istimewa, kartu ucapan menjadi pilihan. Belakangan kartu ucapan dengan latar music sempat jadi hits. Pada jaman itu, surat menyurat menjadi cara komunikasi yang awam. Bahkan sempat trend memiliki sahabat pena, yang alamatnya biasa didapat dari majalah remaja atau majalah anak-anak.

Saat hari raya tiba, berpuluh kartu ucapan dikirim melalui Kantor Pos. Bahkan cara itu dilakukan pula, untuk mengirim surat pada idola di ibukota. Balasan dari selebriti yang dikagumi biasanya berupa surat singkat, dilengkapi dengan foto diri yang ditandatangani.

Tapi itu dulu, dulu sekali. Kini, bertanya kabar cukup dilakukan melalui media sosial, pesan singkat atau surat elektronik. Surat menyurat kini hanya dilakoni oleh instansi, baik pemerintahan maupun swasta. Saat surat menyurat hampir redup, Kantor Pos sempat berusaha membuat penyelamatan dengan membuat lomba-lomba tulisan yang dikirimkan lewat Pos.

Namun, semua teknologi ada masanya. Surat menyurat tak lagi terselamatkan. Kini semua dilakukan dengan cara instan. Kantor Pos terpaksa move on, dengan melakukan usaha lain. Kini, surat menyurat bukan lagi bisnis utama mereka.

Pengiriman paket, pengiriman wesel pos hingga western union, barang pos hingga pembayaran aneka cicilan bisa dilakukan melalui pos. Selamat Hari Pos, semoga suatu hari nanti surat menyurat kembali hidup. Bukan sebagai kebutuhan, tapi sebagai budaya, sebagai pengingat, bahwa masa-masa itu pernah ada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun