Mohon tunggu...
Noperman Subhi
Noperman Subhi Mohon Tunggu... ASN -

Noperman Subhi, S.IP, M.Si, lahir di Pagaralam (Sumsel) 13 november 1969. Lulus S1 Ilmu Pemerintah di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan S2 Magister Administrasi Pendidikan di Universitas Sjakhyakirti. Sekarang Sebagai ASN di Dinas Pendidikan Sumsel. Aktif menulis artikel dan cerita Pendek. Karya tulis yang pernah diterbitkan, “Musim Kopi dan Gaya Hidup” (2001), “Jas Biru Dewan” (2002) dan “Memotret Guru Dari Kejauhan” (2016), “20 Kegagalan Menembus Publikasi” (2017) dan “Motor Matik Milik Bapak (2017).

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Guru (Tidak) Berhak Dalam Gerakan Politik di Indonesia

27 November 2017   22:17 Diperbarui: 28 November 2017   01:06 1520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terlibatnya guru dalam kegiatan politik bukanlah sesuatu yang baru di bumi pertiwi ini. Keterlibatan guru dalam dunia politik Indonesia sudah dimulai semenjak masa perjuangan fisik merebut kemerdekaan. Ada nama Ki Hajar Dewantara yang mempelopori perjuangan politik melalui dunia pendidikan, beliau berjuang melawan penjajahan dengan cara mengkritisi kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang tidak mengizinkan anak-anak pribumi untuk bersekolah. Akhirnya beliau mendirikan sekolahan dibawah organisasi perguruan Taman Siswa yang di tujukan untuk anak-anak pribumi.

Pada  masa kepemimpinan HM Soeharto di orde baru, guru dijadikan mesin politik yang memproduksi suara pemilih di segala komponen pendidikan, mulai dari guru sebagai pendidik, tenaga pendidik, peserta pendidik yang cukup umur dan orangtua atau wali peserta didik. Apa yang menjadi pijakan guru dilibatkan dalam kegiatan politik ? guru dianggap memiliki peran strategis dan potensial untuk mengalang massa. Guru dianggap bak dukun yang dapat menyihir atau menghipnotis peserta didik untuk mengikuti segenap perkataan atau keinginannya. Termasuk menyalurkan pilihan politik. Disinilah akhirnya, loyalitas guru dalam dunia pendidikan dipertaruhkan.

Ada beberapa alasan yang menyebabkan guru terperosok dalam situasi hiruk pikuknya politik praktis di Indonesia. Pertama, adanya kekuatan guru dalam menjangkau massa. Massa yang dimiliki guru merupakan massa riil. Wajar apabila banyak penguasa dan politisi terpesona dengan keberadaannya dan berlomba-lomba untuk memancing dan menggeret guru terlibat politik praktis. 

Segala persoalan yang menyangkut guru, terutama tentang karir dan kesejahteraan guru menjadi isu utama atau barang dagangan calon presiden dan wakil presiden, calon kepala daerah dan calon anggota DPR/D dan DPD. Mereka berjanji akan memberikan solusi atas masalah yang dihadapi guru dengan iming-iming peningkatkan karir (misalnya mengangkat guru swasta atau honor menjadi PNS), peningkatan kesejahteraan guru dengan membuat atau menaikan berbagai tunjang untuk guru dan janji-janji manis lainnya. Ada anggapan bahwa suara guru merupakan representasi suara mayoritas untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan.

Kedua, lemahnya posisi tawar guru. Lemahnya posisi tawar terlihat pada saat pemilihan umum, baik pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilihan kepala daerah dan pemilihan anggota DPRD/D dan DPD. Guru sangat mudah sekali di mobilisasi dan dijadikan senjata pamungkas untuk meraih suara. Mobilisasi guru ini berlangsung sporadis dari jenjang terendah hingga jenjang tertinggi. Lemahnya posisi guru menjadikan keberadaan guru dalam dunia politik lebih banyak pada peneguhan kekuasaan semata dan bukan sebuah ide cerdas untuk kepentingan dunia pendidikan di negeri ini. 

Adanya penggalangan massa dalam bentuk resmi maupun tidak resmi yang dirancang untuk mensukseskan penguasa dan calon penguasa mentasbihkan posisi guru tidak lebih dari pelengkap penderita. Guru tersudut dalam posisi bak makan buah simalakama. Ketika guru mengikuti penggalangan massa dianggap tidak netral sementara jika guru menolak berperan di dalamnya beragam sanksipun siap menanti seperti pencopotan kedudukan mereka di sekolah.

Sesungguhnya seperti apa keterlibatan guru dalam politik ? Selama ini guru dihadapkan pada pilihan politik yang kurang menguntungkan. Hak-hak politik seperti hak berkumpul, menyatakan pendapat dan menyalurkan aspirasi politiknya masih di kebiri. Guru belum leluasa terbebas dari upaya-upaya pihak tertentu untuk memanfaatkan mereka dalam lingkaran politik praktis. Seharusnya hak-hak politik guru harus dikembalikan seperti layaknya hak politik warga negara lainnya.

Dalam satu kongres Taman siswa pada tahun 1930 terjadilah perdebatan yang membahas boleh tidaknya guru mengikuti partai politik. Ki Hadjar Dewantara sendiri mengatakan bahwa guru-guru dilarang membawa persoalan politik ke dalam ruang kelas atau sekolah. Sikap yang paling cocok bagi guru adalah sikap pinandita (Tsuchiya, 1992). Pandita adalah manusia yang mampu melampaui semua perbedaan antar golongan, antar agama dan antar kepentingan. Ia bebas dari keberpihakan yang disebabkan oleh golongan, agama, atau kepentingan yang pasti ada dalam politik. Perhatian dan keberpihakan satu-satunya seorang pandita adalah nasib masyarakat (Takashi Shiraishi dalam Akira Nagazumi, ed, 1986).

Di Indonesia di setiap pelaksanaan pesta politik pasti ada saja oknum guru atau mantan guru yang berlabel pejabat pemerintahan atau petinggi organisasi guru dengan berbagai brand berupa persatuan, ikatan maupun forum guru "memaksa" guru-guru memilih satu pilihan politik. Tujuan semunya sama, yaitu berjanji akan menaikan karir dan kesejahteraan guru dan tenaga pendukungnya. Pejabat dan petinggi organisasi guru tentu juga berharap ada pampasan politik, yaitu menduduki jabatan strategis di pemerintahan atau posisi lain yang mengiurkan dalam sisi ekonomi.

Secara sederhana, politik bisa diartikan segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat. Beberapa kata-kata kunci untuk memahami arti politik yaitu kekuasaan politik, legitimasi politik, sistem politik,  perilaku politik, partisipasi politik,  proses politik, dan juga tidak kalah pentingnya untuk mengetahui seluk beluk tentang partai politik. Sementara itu, guru sendiri merupakan bagian dari dunia pendidikan. Guru memiliki makna pendidik dan pengajar yang mengajarkan suatu hal yang baru dan benar pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.

Nilai filosofi politik pendidikan adalah perubahan sosial ke arah yang lebih baik. Politik menjadi instrumen untuk memajukan pendidikan. Dalam praktiknya sebaliknya justru pendidikan menjadi instrumen politik untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan atau keuntungan politik lainnya. Sebenarnya guru dapat mempengaruhi kebijakan dan demokrasi di Indonesia, namun karena disatu sisi guru juga merupakan komunitas profesi yang terlemah dari semua profesi sehingga setiap kebijakan yang berhubungan dengan guru dan pendidikan selalu tidak sesuai harapan guru. 

Dengan banyaknya organisasi guru seharusnya membuat guru dan dunia pendidikan menjadi lebih berkualitas, produk hukum juga berpihak pada guru dan pendidikan. Nyatanya setiap produk hukum yang membahas tentang guru dan pendidikan selalu menemui hambatan dan produk hukum tentang guru dan pendidikan umumnya tidak berpihak kepada guru dan pendidikan itu sendiri.

Dengan terpilihnya tokoh pendidikan atau mereka yang peduli pendidikan menjadi anggota legislatif  diharapkan mampu mengubah wajah dunia pendidikan Indonesia menjadi lebih baik lagi. Dengan adanya perwakilan guru yang duduk di lembaga legislatif, kemungkinan terbuka lebar kesempatan untuk memperbaiki dunia pendidikan, khususnya nasib guru. Anggaran pendidikan yang 20 persen semoga dapat dialokasikan sepenuhnya untuk kepentingan pendidikan. Saatnya guru sadar politik sehingga bisa mengawal dan mengawasi kebijakan pemerintahan yang berkaitan dengan dunia pendidikan. Guru tidak hanya sebatas menjadi penonton, namun juga bisa memberikan masukan kepada pemerintah agar terjadi sinkronisasi antara kebijakan pemerintah dengan pelaksanaan pendidikan di lapangan.

Sah-sah saja setiap guru berbeda atau tidak netral dalam menyalurkan aspirasi politiknya. Akan tetapi perbedaan atau ketidaknetralan guru jangan sampai dilampiaskan di hadapan peserta didik. Perbedaan atau ketidaknetralan lebih baik hanya dilakukan ketika dibilik suara. Guru merupakan pendidik semua anak bangsa sehingga tidak dibenarkan bila guru mengarahkan pilihan politik anak didiknya sesuai dengan pilihan politik guru. Selama guru dan pendidikan masih terkontaminasi dengan kepentingan politik praktis maka kualitas pendidikan yang lebih baik sangat sulit untuk digapai. 

Perubahan paradigma guru dan pendidikan harus dimulai dari sekarang, guru dan pendidikan harus independen, tidak ada campur tangan kepentingan politik tertentu saat membuat regulasi dan kebijakan terkait dunia guru dan pendidikan. Jadilah guru yang ideal, guru yang jauh dari politik praktis, guru yang tidak terombang-ambing dalam gelombang politik lokal dan elite politik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun