Situasi ini menyebabkan sejumlah aturan yang seharusnya dicabut tetap diberlakukan, sehingga sektor industri masih merujuk pada UU Cipta Kerja. Misalnya, pengaturan upah minimum untuk tahun 2022 masih menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) No. 36 Tahun 2020. Selain itu, ketentuan terkait Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dan penyelesaian perselisihan ketenagakerjaan juga terus mengacu pada undang-undang ini. Akibatnya, buruh menghadapi ketidakpastian hukum yang signifikan.
Ketidakpastian ini tidak hanya menyangkut aspek hubungan kerja dan pengupahan tetapi juga berdampak pada penyelesaian perselisihan ketenagakerjaan di berbagai level. Banyak perselisihan di tingkat perusahaan tidak dapat diselesaikan karena tidak adanya kesepahaman mengenai landasan hukum yang digunakan. Bahkan, perdebatan hukum tersebut sering kali berujung pada intimidasi terhadap buruh, hingga pemutusan hubungan kerja (PHK) yang tidak adil. Kondisi ini menegaskan perlunya tindakan tegas untuk memperbaiki mekanisme hukum yang ada dan memastikan perlindungan yang jelas bagi hak-hak buruh. Langkah ini penting untuk menciptakan kepastian hukum yang mendukung hubungan industrial yang adil dan berkelanjutan. Yah kita lihat ketika terjadinya pandemi Covid-19, yang membuat banyak perubahan dari perekonomian dan pembatasan mobilitas pekerja di Indonesia. Saat kondisi tersebut sekitar 2,9 juta pekerja Indonesia di PHK yang terjadi.Â
Shifting Industri
Perkembangan teknologi telah membawa perubahan besar pada dunia kerja, baik dari segi teknis maupun kebijakan. Secara teknis, banyak pekerjaan kini harus beradaptasi dengan teknologi digital. Di sisi lain, kebijakan terkait informalisasi pekerjaan cenderung melemahkan posisi tawar buruh. Hal ini terjadi karena pekerjaan yang sebelumnya dilakukan oleh manusia kini mulai digantikan oleh mesin atau perangkat digital yang dioperasikan melalui teknologi canggih.
Liberalisasi di sektor ketenagakerjaan menjadi salah satu dampak dari dinamika ekonomi dan politik, terutama yang dipengaruhi oleh kemajuan teknologi digital. Perubahan pola industri, atau yang dikenal sebagai shifting industri, tak dapat dihindari di tengah derasnya arus transformasi digital yang mengubah wajah industri, baik secara global maupun nasional. Di Indonesia, kebijakan perindustrian mendorong adopsi teknologi industri 4.0, meskipun implementasinya belum merata. Teknologi ini lebih banyak digunakan dalam sektor layanan, seperti transportasi, logistik, pengiriman, pendidikan, konsultasi kesehatan, dan layanan serupa lainnya.
Dalam industri manufaktur, perubahan juga mulai terlihat. Perusahaan multinasional (MNC) cenderung lebih cepat beradaptasi dengan teknologi digital dibandingkan perusahaan lokal, terutama yang berperan sebagai perusahaan subkontraktor atau perusahaan cangkang. Peralihan teknologi ini juga memengaruhi kebijakan produksi. Rantai produksi yang sebelumnya jelas kini menjadi lebih fleksibel, dengan banyak pekerjaan bergeser menjadi bersifat musiman atau sementara.
Untuk mengurangi biaya produksi, termasuk upah buruh, perusahaan sering kali mempertahankan struktur industri yang mengandalkan efisiensi tenaga kerja. Namun, pekerjaan tertentu yang tidak dapat sepenuhnya digantikan oleh teknologi tetap memerlukan keterlibatan pekerja manusia, meskipun dalam kondisi kerja yang sering kali kurang ideal.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H