Mohon tunggu...
nopalusiana
nopalusiana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa biologi FMIPA UNRI²³

Mahasiswa biologi FMIPA UR²³ dengan hobi fotografi dan videografi, suka mengikuti lomba essay dan lkti, serta mahasiswa panahan

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Lahan Gambut Dalam Bahaya : Krisis Pengetahuan dan Tantangan Konservasi

18 Desember 2024   00:10 Diperbarui: 17 Desember 2024   23:54 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Indonesia memiliki lahan basah seluas sekitar 40,5 juta hektar, atau sekitar 20 persen dari total wilayahnya, terdiri dari berbagai jenis seperti lahan basah darat, pesisir, dan lahan buatan. Salah satu lahan basah yang penting adalah lahan gambut, yang terbentuk dari pelapukan tumbuhan dan bahan organik. Lahan gambut ini memiliki peran ekologis, sosial-budaya, dan ekonomi yang penting bagi masyarakat. Menurut data Kementerian Pertanian tahun 2019, luas lahan gambut Indonesia mencapai 13,4 juta hektar, terutama di Sumatera, Kalimantan, dan Papua.

Pemanfaatan lahan gambut oleh masyarakat telah berlangsung selama ratusan tahun, membentuk pengetahuan lokal yang mencakup pemahaman tentang siklus alam, waktu tanam yang tepat, pemilihan komoditas yang sesuai seperti kelapa, pinang, dan sagu, serta pengelolaan udara di lahan gambut. Praktik ini memungkinkan masyarakat memperoleh manfaat ekonomi sekaligus menjaga fungsi ekologis lahan.

Namun, lahan gambut kini menghadapi kerusakan yang semakin parah. Menurut laporan BAPPENAS, rata-rata 175.000 hektar lahan gambut hilang setiap tahunnya dari tahun 2000 hingga 2020. Data KEMENLHK pada Juli 2022 menyebutkan bahwa 83,4 persen lahan gambut Indonesia telah rusak. Kerusakan ini tidak hanya berdampak pada lingkungan fisik, tetapi juga menyebabkan hilangnya pengetahuan lokal tentang lahan gambut.

Studi di beberapa wilayah gambut seperti Riau, Jambi, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan menunjukkan bahwa masyarakat perlahan-lahan kehilangan pengetahuan tentang karakteristik lahan gambut, termasuk musim tanam, pemilihan tanaman, dan pengelolaan udara. Kesadaran mengenai dampak pertanian terhadap ekosistem gambut juga masih rendah, sementara pendekatan pragmatis untuk pemanfaatan lahan gambut dalam pertanian semakin berkembang.

Krisis pengetahuan ini disebabkan oleh berbagai faktor, baik internal maupun eksternal. Sebagian besar pengetahuan lokal hanya diwariskan secara lisan, sehingga sulit dipertahankan. Kerusakan lingkungan juga menghilangkan kesempatan bagi masyarakat untuk belajar dari alam secara langsung. Selain itu, migrasi generasi muda ke daerah lain memutus regenerasi pengetahuan lokal.

Faktor eksternal, seperti modernisasi teknologi pertanian dan pergeseran ekonomi, juga ikut menggerus pengetahuan lokal. Teknologi dari daerah lain sering diterapkan tanpa memperhatikan potensi pengetahuan lokal, sementara perubahan ekonomi memicu gaya hidup yang tidak sesuai dengan kearifan lokal.

Krisis pengetahuan ini menjadi tantangan bagi perlindungan dan pengelolaan lahan gambut di Indonesia. Masyarakat yang seharusnya menjadi pelaksana utama kebijakan lahan gambut seringkali tidak memiliki pengetahuan yang memadai. Oleh karena itu, program penyadaran dan peningkatan kapasitas masyarakat menjadi sangat penting untuk membangkitkan kembali pengetahuan lokal tentang lahan gambut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun