Indonesia, sebagai negara dengan perekonomian berkembang, membutuhkan pendanaan dalam jumlah yang besar untuk pembangunan. Sumber pendapatan negara terbesar di Indonesia adalah penerimaan pajak, yang menjadi fondasi penting dalam mendukung pembangunan nasional, seperti program pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan sektor prioritas pemerintah lainnya. Ketika penerimaan pajak di Indonesia optimal, maka ketergantungan akan utang luar negeri dapat berkurang dan menciptakan kemandirian ekonomi bangsa dan pemerataan pembangunan.
Meskipun peran pajak begitu signifikan, terdapat tantangan besar yang harus dihadapi, yaitu tingkat kepatuhan pajak di kalangan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Kepatuhan pajak dapat diukur melalui beberapa indikator, seperti pengukuhan wajib pajak yang ditandai dengan kepemilikan NPWP, ketepatan pembayaran atau penyetoran pajak, serta ketepatan pelaporan SPT. UMKM memiliki peran vital sebagai salah satu sektor yang menjadi target pemerintah karena mempunyai potensi dalam meningkatkan penerimaan pajak dan menciptakan lapangan pekerjaan dalam mendukung pemerataan ekonomi. Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UMKM, terdapat 64,2 juta UMKM, yang berkontribusi sebesar 61,07% atau RP8.573,89 triliun kepada PDB. Selain itu, UMKM mampu mengumpulkan hingga 60,4% dari total investasi, dan menyerap 97% dari tenaga kerja yang tersedia sehingga berperan signifikan pada perekonomian Indonesia.
Meskipun pemerintah Indonesia telah menetapkan regulasi yang memberikan dasar hukum jelas, namun kerap kali implementasi di lapangan masih menghadapi berbagai tantangan. Pada sektor UMKM, faktor penyebab rendahnya tingkat kepatuhan pajak disebabkan kurangnya pemahaman mengenai sistem perpajakan, keterbatasan sumber daya, serta kompleksitas administrasi pajak.
Tidak dapat dipungkiri masih banyak pelaku UMKM yang belum memahami mekanisme perpajakan, seperti proses pelaporan dan pembayaran pajak. Kurangnya akses terhadap informasi yang relevan terutama di daerah terpencil semakin memperparah kondisi tersebut. Sosialisasi sering kali terbatas di daerah tertentu dan pelaku usaha belum berkesempatan untuk megikuti pelatihan atau seminar yang diselenggarakan oleh pemerintah atau lembaga pajak yang berakibat banyak pelaku UMKM tidak sadar akan kewajibannya sebagai wajib pajak.
Tantangan besar lainnya yaitu proses administrasi yang dianggap rumit, pelaku UMKM sering kali kebingungan dalam memahami prosedur yang diikuti. Selain itu, banyak yang tidak memiliki sistem pencatatan transaksi yang terorganisir sehingga perhitungan pajak menjadi kurang akurat terutama bagi mereka yang masih ketergantungan terhadap metode manual yang berdasarkan atas ingatan saja, sehingga meningkatkan resiko kesalahan dalam pelaporan.
Faktor tambahan lainnya yaitu ketidakpuasan publik terhadap pelayanan publik, ketidakmerataan pembangunan infrastruktur, dan banyak kasus korupsi pejabat tinggi yang masih dibicarakan. Hal ini mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap penggunaan dana pajak untuk kepentingan publik
Pemerintah Indonesia terus berusaha mendukung kepatuhan pajak UMKM melalui pembenahan pada berbagai regulasi. Pada tahun 2018, pemerintah menerbitkan kebijakan penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Final UMKM menjadi 0,5% melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018. Kebijakan ini berlaku bagi Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tidak melebihi Rp 4,8 miliar serta cukup melaksanakan pencatatan saja. Selain itu, UMKM dengan omzet kurang dari Rp500 juta per tahun dibebaskan dari pajak. Kebijakan ini diharapkan memberikan kepastian hukum dan kemudahan bagi pelaku usaha baru atau sedang mengembangkan usahanya.
Namun, sistem pajak final mengundang kritik karena tidak mempertimbangkan kondisi laba-rugi usaha, sehingga tidak sepenuhnya selaras dengan prinsip pajak yang proporsional terhadap kemampuan membayar (ability to pay). UMKM yang mengalami kerugian tetap dikenakan pajak, yang dapat menyulitkan mereka bertahan.
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024 tentang Ketentuan Perpajakan dalam rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (Coretax) ditetapkan pada tanggal 14 Oktober 2024 dan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2025. Kebijakan ini menyederhanakan administrasi perpajakan melalui digitalisasi sehingga mengurangi beban administrasi manual dalam melaporkan dan membayar pajak yang kerap kali menjadi hambatan pelaku usaha. Tantangan utama pelaksanaan kebijakan ini adalah akses internet yang terbatas di daerah terpencil dan rendahnya literasi digital pelaku UMKM. Oleh karena itu, diperlukan infrastruktur yang memadai, seperti penyediaan internet di daerah terpencil, pengembangan aplikasi yang lebih ramah pengguna, dan pelatihan berbasis komunitas untuk pelaku UMKM harus menjadi prioritas.
Menurut PMK Nomor 48/PMK.03/2020, Â pelaku usaha luar negeri yang menyerahkan Barang Kena Pajak (BKP) tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak (JKP) secara elektronik ke dalam daerah pabean wajib memungut PPN. Sebelum aturan ini dibuat, pelaku usaha asing tidak diwajibkan untuk memungut PPN, sementara ketika seorang pengusaha domestik melakukan penyerahan, mereka wajib memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10% dari konsumen. Akibatnya, dengan harga jual yang lebih mahal, pelaku usaha dalam negeri kalah bersaing.
Selain itu, ditetapkan kebijakan yang memuat sanksi administrasi serta sanksi pidana yang diharapkan dapat mendorong kepatuhan wajib pajak, seperti halnya yang diatur dalam KUHP pasal 7 dan secara khusus di UU KUP pasal 39. Penerbitan kebijakan,seperti UU KUP menjadi dasar hukum pasti dalam hal adanya hambatan pemungutan pajak, baik perlawanan pasif maupun perlawanan aktif. Perlawanan aktif dapat disebabkan faktor perkembangan intelektual dan moral masyarakat, sistem perpajakan yang sulit dipahami masyarakat, dan sistem pengawasan tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan dengan baik. Di sisi lain, bentuk perlawanan aktif ada 2 yaitu, tax avoidance berupa usaha meringankan beban pajak dengan tidak melanggar UU, sebaliknya tax evasion berupa usaha penghindaran pajak dengan cara melanggar UU (menggelapkan pajak). Keberhasilan pelaksanaan kebijakan bergantung pada sumber daya manusia yang kompeten di tingkat otoritas pajak, penegakan hukum serta kepatuhan oleh wajib pajak.