Mohon tunggu...
Vian Novian
Vian Novian Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Saya mahasiswa Ilkom Universitas Pakuan Bogor, lahir di Bogor 21 November 1992, baru belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sarkastisnya Para Golput

10 Mei 2012   11:21 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:28 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saya adalah remaja yang sangat buta politik, dan bisa dibilang hampir tak memahami sama sekali esensi dalam ranah politik. Ditanya mekanisme partai politik saja saya pasti kebingungan. Tapi yang saya tahu, ada komunitas masyarakat yang anti terhadap partai politik yang menamai diri mereka golput.

Kalau boleh jujur, saya sendiri mendukung adanya gerakan golput ini, karena bagi saya tiap pemilu pun mereka sebenarnya juga ikut memilih. Ya, memilih untuk tidak memilih. Salah satu faktor terbesarnya mungkin karena muak dengan janji-janji yang dimuntahkan dari moncong para calon pemimpin saat kampanye, yang tak pernah terealisasikan secara nyata. Itu wajar. Tapi makin ke sini makin banyak golput yang dengan “bangganya” mencorongkan sifat labil dan infantil (kekanak-kanakan) mereka di tengah masyarakat.

Menyuarakan pendapat atau mempunyai pilihan lain dari yang lain adalah suatu kebolehan (mubah). Cuma ABG labil yang berpendapat kalau untuk mengkritik kita harus jadi sarjana terlebih dulu. Tapi apa jadinya kalau mereka sampai mengotak-kotakkan lapisan tertentu ke dalam predikat “bodoh” dan semacamnya?

Ups, saya rasa kali ini saya harus mengamini prinsip para ABG labil itu dalam konteks ini. Sebab saya sudah banyak menemukan tulisan yang mewakili suara hati mereka terpampang secara nonverbal dalam beberapa media seperti kaus, spanduk, atribut, dan lain-lain. Tulisan itu tak jauh-jauh dari pelecehan bagi mereka yang percaya pada parpol. Bunyinya pun sangat sarkastis, seperti “bego”, “tolol”, dan lain-lain. Dan inilah salah satu bunyi opini mereka yang tersadis dan yang terpampang di bagian punggung kaus seorang tukang ojek dekat kampus saya:

“YANG PERCAYA PARTAI POLITIK, ANAK PELACUR”

Terang saja saya kaget membaca tulisan itu. Kalau kita kaji baik-baik, pelacur itu identik dengan wanita. Dan orang tua wanita adalah ibu. Kenapa harus menjadikan sosok ibu sebagai objek? Kenapa harus orang tua? Kenapa tidak langsung saja pada sasaran mereka yang hakiki, yakni para pendukung parpol? Figur ibu adalah figur yang mulia, patut dihormati dan dijunjung tinggi.

Ibu saya bukan golput, apa itu berarti nenek saya (seperti) pelacur? Kakak saya juga bukan golput, apa itu berarti ibu saya (seperti) pelacur? Dan bagaimana kalau saudara kandung si empunya kaus itu bukan golput? Apa berarti ia secara tak langsung telah menyebut ibunya (seperti) pelacur? Saya jadi bertanya-tanya apa sih yang dipikirkan pembuat kaus itu?

Pemerintah telah menghargai keputusan mereka menjadi golput dengan tidak memperkarakan pilihan mereka secara hukum. Masihkah mereka harus “menghukum” masyarakat biasa pendukung parpol dengan menggeneralisasikan mereka sebagai komunitas bodoh atau anak pelacur?

Mungkin kaum golput sejenis inilah yang merupakan komunitas sok suci yang merasa diri mereka sebagai komunitas terbaik yang dibutuhkan bangsa ini (“sejenis” di sini berarti golput dari kalangan tertentu, bukan golput secara universal). Rasa percaya diri begitu melambung tinggi sampai mereka merasa “berhak” menjustifikasi kaum pendukung parpol dengan predikat yang sedemikian rendah. Tapi melihat sikap mereka seperti itu, saya rasa bangsa ini juga takkan lebih baik bila didominasi oleh masyarakat seperti itu.

Semoga om-om dan tante-tante golput yang membaca tulisan ini bukan bagian dari mereka. Sebab saya bukan orang yang suka menggeneralisasikan sih. Jadilah golput yang baik, jangan sampai warna putih itu hanya jadi sematan status yang bisa dibangga-banggakan semata, sementara hati, pikiran, dan verbal begitu hitam sampai tidak mampu menyaring opini yang sudah kadung memuncak. Semua lapisan masyarakat bebas mencurahkan opini, tapi kebebasan itu hendaknya tetap berselaput filtrasi yang baik untuk menyaring sarkasme dalam diri mereka. Jangan sampai masyarakat tak bersalah pun dikotak-kotakkan ke dalam golongan bodoh, sementara mereka sendiri merasa di tampuk paling benar. Kalau sudah begini, jangan harap masyarakat akan memahami suara hati dan aspirasi mereka, yang ada malah kehilangan respek.

Salam kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun