Seandainya saja UU ASN itu hanya merubah istilah penyebutan gugus profesi, seandainya saja kawan.
Tapi nyatanya, struktur, kultur, dan prosedur dalam pembinaan PNS atau perlu mulai saya gunakan istilah ASN, juga mengalami perubahan besar. Ini revolusi kawan!
Maka tidak berhenti pada perubahan istilah, tapi substansi pendidikan di lembaga ini pun harus mengikuti setiap perubahan aturan tersebut.
Karena IPDN tidak membentuk lulusannya untuk menjadi dosen tapi pekerja yang siap pakai di setiap instansi pemerintah yang ada di Indonesia. Sehingga titik beratny ada pada aturan, bukan teori!
Di dalam UU ASN, telah digunakan management yang sangat terbuka menekankan sangat berat pada kompetensi. Tidak lagi pada sistem karir yang mengedepankan senioritas.
Bahkan persaingan itu akan semakin berat karena juga terbuka untuk mereka yang berada di swasta. Benar-benar kompetisi berdasarakan kompetensi. Suka atau tidak, tapi itu-lah dunia kepegawaian dewasa ini!
Maka secara sangat, sangat, sangat sederhananya, ketika paradigma UU ASN terimplementasikan dalam dunia kepegawaian di birokrasi Indonesia, masih relevan kah pendidikan kepamongprajaan di Lembaga ini yang menekankan pada senioritas? Terpisah sangat jelas oleh tingkatan hierarki? Penekanan pada pembentukan sikap loyal, respect, dan disiplin tapi tak mampu diimbangi oleh kualifikasi pendidikan yang mumpuni?
Ini hanya analisa sangat dangkal.
Memang struktur dan prosedur itu bisa cepat untuk dirubah dengan cara melakukan pembaharuan terhadap aturan yang ada. Tapi perubahan kultur pasti akan mengalami waktu dan benturan yang cukup lama.
Terlebih mindset kepegawaian kita yang telah lama dibentuk dalam kungkungan orde baru, tapi pertanyaannya sampai kapan budaya lama itu mampu bertahan melawan perubahan manajemen yang ada dewasa ini?
DKI Jakarta, Kota Bandung, dan Kementerian PAN & RB, dalam lingkup yang kecil, telah juga menerapkan sistem Fit & Proper Test dalam pengisian jabatannya atau bahasa yang lebih dikenal masyarakat kita adalah, lelang jabatan.