Mohon tunggu...
Noorhani Laksmi
Noorhani Laksmi Mohon Tunggu... Administrasi - writer, shadow teacher, Team Azkiya Publishing dan Sanggar Rumah Hijau, Admin Komunitas Easy Writing

http://noorhanilaksmi.wordpress.com FB : Nenny Makmun

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | A l o n e

28 Maret 2020   12:59 Diperbarui: 28 Maret 2020   13:18 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
picture source : freepik.com

"Aku mencintaimu dan setelah selesai wisuda nanti aku akan melamarmu," Lutfi tersenyum manis menggenggam tanganku.

Sementara aku tengah merasakan nikmatnya wangi tubuh dan rambutnya yang masih setengah basah sepanjang Malioboro senja menjelang malam Minggu. Kurengkuh pinggang dan merasakan hangatnya punggung bidang yang setahun belakang ini menjadi sandaranku. Terasa beban akan urusan rumah di kampung sekejap hilang.

"Mama akan bercerai dengan Papamu! Semua sudah kami pikirkan matang-matang dan kamu sudah kami rasa cukup dewasa, jadi jangan kamu sesali apa yang terjadi dalam keluarga kita," ucapan mama kemarin saat menelepon kostanku membuat aku terdiam seribu bahasa.

Pupus sudah aku mewujudkan berasal dari keluarga yang sempurna. Anak yang terlahir dari keluarga bahagia hanya cerita lalu.

"Ris, mau bermain ke Beringin Kembar?" Lutfi suka sekali mencoba menerobos Beringin Kembar yang ada di alun-alun Selatan setelah panjang Jalan Malioboro.

"Hmmm boleh, tapi aku ingin duduk-duduk di warung cendol dulu depan Mirota. Aku haus, Lut."

"Siap, Ndoro Puteri ..." katanya meledek.

Itulah panggilan khas Lutfi setiap menyetujui permintaanku.

Menikmati es dawet menjelang sore Malioboro yang tidak pernah sepi merupakan hal yang menyenangkan. Semilir angin sore menjadi bagian yang pasti akan aku rindukan berapa puluh tahun ke depan. Beberapa waktu lagi, aku harus meninggalkan kota ini, kota dimana aku menempuh kuliah.

Aku merasa kalau Yogyakarta sebagai salah satu kota singgahan dalam perjalanan hidupku. Dan Lutfi, apakah ia hanya akan menjadi salah satu singgahan hatiku setelah aku sebelumnya berpindah dari hati ke hati? Sungguh, aku pun ingin mengiyakan dan memastikan pertanyaan Lutfi dan menjawab kalau aku serius menyayanginya dan berharap dia dalah persinggahan hati terakhir.

Tapi, ini pasti sangat sulit mengingat percakapannya yang tanpa sengaja aku dengar. Aku tanpa sengaja menguping dari balik sekat pembatas rak makanan kaleng di supermarket.

"Lut, kamu itu anak siji-siji-ne. Kamu itu penerus usaha kami dan kamu itu Sarjana Teknik yang menjadi kebanggaan Ibu. Ibu berharap kamu memikirkan Kartika yang calon dokter. Wis jelas bobot, bibit dan bebetnya."

Lutfi pernah mencoba mengenalkan aku dengan ibunya yang berprofesi sebagai dokter sekaligus pengusaha sukses. Selama ini aku merasa sudah menjadi pacar terbaik untuk Lutfi. Menguatkan saat dia terpuruk karena putus dengan Frizka dan aku hadir baginya tidak lagi sekadar sahabat.

Aku membiarkan bibit cinta ini semakin tumbuh subur. Apa yang baru aku dengar merasa menohok hingga ulu hati. Aku tidak tahu persis bobot, bibit, dan bebet yang bunda Lutfi harapkan.

Setahun terlewati ...

            Aku duduk masih di warung cendol yang sama saat jelang senja bersama Lufti, hmmm setahun lalu saat aku resah dengan hubungan aku dan Lutfi.

Malioboro begitu ramai. Tapi, aku merasa  begitu sepi di tengah ramainya kota yang selalu penuh kesan. Setahun lalu ... Aku belum bisa bercerita keputusan final akan kedua orang tuaku yang bercerai. Karena aku tahu ini akan menambah beban pikiran Lutfi yang sebentar lagi akan menghadapi sidang skripsinya.

Sampai akhirnya aku putuskan menjauh darimu karena kedua orang tuaku benar-benar berpisah dan ibu kamu terang-terang menegur aku tanpa kamu tahu teguran yang menyakitkan! Aku bukan calon mantu yang beliau harapkan! Maaf aku harus tinggalkan kamu tanpa kata-kata. Aku terlalu sakit dengan semua yang tiba-tiba terjadi.

Malioboro masih saja ramai sama dengan setahun lalu aku bersama kamu. Keramain yang selalu bisa menutupi perasaanku yang gundah dan resah.

Ramai Malioboro ekuivalen dengan rasa sepi hati yang tiba-tiba mendera. Lara sekali mengenang seseorang yang pernah singgah di hati ini. Lutfi kalau kamu tahu aku tak bisa melupakan kamu setahun ini, mungkin aku pecundang yang hanya bisa merindukan kamu dalam hati dan kenangan ... I miss you ....

Di sudut Malioboro_Yogyakarta 1999

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun