Mohon tunggu...
Noor Halimah
Noor Halimah Mohon Tunggu... -

seorang yang ingin terus belajar tuk memperbaiki diri

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Ketika #Bahasadankita Semakin Kacau

20 September 2012   05:56 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:11 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya pernah bekerja di sebuah tempat yang cukup unik. Tempat kerjaku itu bergerak di bidang pendidikan, khususnya menjadi fasilitator e-learning. Sebuah universitas yang digagas oleh para ulama Saudi untuk memberikan kemudahan menuntut ilmu agama dari para ulama. Mahasiswa dari manapun tidak perlu jauh-jauh pergi ke Mesir,  Mekkah atau Madinah, kota - kota yang selama ini dikenal sebagai gudangnya ulama, khususnya ulama agama Islam. Singkatnya, universitas tersebut menawarkan sebuah sistem pendidikan jarak jauh, sebuah aplikasi teknologi untuk kemudahan akses menuntut ilmu agama, boleh disebut dengan universitas virtual.

Tugas saya saat itu adalah sebagai student servicer, semacam staf akademik dan kemahasiswaan, yang tentu saja bekerja secara 'virtual' pula. Sebuah pengalaman yang tidak mudah untuk dilupakan. Salah satu dari sekian banyak hal yang menjadi kenangan semasa aku bekerja adalah kerap kali kesabaranku diuji saat menghadapi tingkah dan komplain mahasiswa, khususnya mahasiswa dari Indonesia tentu saja. Kerapkali berhadapan dengan mereka membuat moodku menjadi sangat buruk. Semua itu berakar dari bahasa, karena semua aktivitas dilakukan melalui dunia maya.

Saya memang bukan ahli bahasa, dan bukan berarti juga saya selalu berbahasa indonesia sesuai dengan EYD. Sepertinya, kalau saya selalu berbicara menurut EYD malah terkesan kaku dan lucu. Namun, saat aku bekerja di universitas virtual itu, aku dapat merasakan bahwa perkembangan media komunikasi elektronik mulai dari telepon, sms, jejaring sosial sampai dengan jaringan bbm turut berpartisipasi dalam pergeseran nilai berbahasa. Aku pun menjadi orang yang paling sering uring-uringan mengenai ini. Seringkali saya mispersepsi dengan sms-sms yang dikirimkan oleh para mahasiswa. Bukan mengenai tulisan besar kecil angka huruf gaya khas remaja yang sekarang sedang menjamur (baca: alay). SMS  mereka masih tertulis dengan tulisan dalam kategori wajar. Namun, saya seringkali mispersepsi karena pemenggalan kata dalam intonasi, penggunaan tanda baca dan penempatan besar kecilnya huruf. Perbedaan persepsi yang seringkali menimbulkan penafsiran negatif, dan terkadang juga saya mengartikannya agak berlebihan. Sampai-sampai teman saya pernah bilang, " Kamu itu baca sms kayak baca skrip drama".
Itu baru soal sms. Permasalahan akibat bahasa pun menjadi semakin kacau ketika sebagian besar mahasiswa tidak dapat membedakan penggunaan pola bahasa lisan dan tulisan. Belum lagi soal penggunaan bahasa terkait dengan kepentingan, dan dengan siapa kita berbicara. Bukan berarti saya ingin sebuah penghormatan atas kedudukan saya sebagai staf akademik, tentu itu terlalu klasik. Lebih dari itu, menurut saya semestinya para mahasiswa dapat membedakan hal formal dan nonformal dalam batas keakraban dengan lawan bicara. Lebih-lebih, ini terjadi dalam pola komunikasi tulisan.
Menurut saya, maraknya media komunikasi menjadikan kebanyakan orang berkomunikasi dengan gaya bahasa lisan. Ini menjadi cukup fatal, terutama jika terjadi dalam lingkup sebuah institusi yang semestinya ada nilai-nilai formal yang terjaga dalam komunikasi. Gimana saya nggak merasa 'gerah' kalau ada seorang mahasiswa mengirimkan email tentang pengajuan cuti akademik dengan tulisan yang berwarna warni? Lebih parah lagi, kalau ada mahasiswa yang hanya memberi sebuah sms berhuruf all capital dengan bunyi, "NILAIKU KAPAN KELUAR????"
Berbicara soal nilai, etika, norma berbahasa, barangkali memang benar jikalau kemajuan jaman telah sukses besar menggeser semuanya. Tidak ada lagi keindahan #bahasadankita, karena mungkin tinggal sedikit saja orang yang memegang prinsip bahwa bahasa adalah cermin kepribadian. Namun, apakah lantas kita rela kehilangan jati diri yang selama ini kita banggakan? Jati diri ketimuran yang identik dengan tata krama dan sopan santun.
Memang benar, tidak ada undang-undang yang menyatakan dilarang menulis pakai tinta merah, tidak pula ada larangan menulis pakai huruf besar dengan tanda pentung ataupun tanda tanya yang berjejer. Semua itu tidak ada undang-undangnya. Akan tetapi, bukankah semua itu dalam kaidah berbahasa ada seperti sebuah kesepakatan tidak tertulis mengenai persepsinya, seperti tinta merah yang menjadi pertanda emosi, atau tanda pentung berjejer yang dapat dirasakan sebagai suruhan dengan tekanan tinggi.
Entahlah, apakah teknologi yang patut dipersalahkan atas ini semua? Ataukah memang bahasa harus selalu mengikuti jaman, sekalipun itu merusak keindahan dan kesantunannya? Ataukah kita yang memang telah mengacaukan keharmonisan #bahasadankita ?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun