Bulan suci Ramadan terrangkum dalam surat Al-Baqarah ayat 186, yang artinya: “Bulan Ramadan adalah bulan yang di dalamnya Al-Quran diturunkan.”
Malam di bulan Ramadan ketika Al-Quran diturunkan kepada Nabi Besar Muhammad s.a.w. disebut dengan Lailatul Qadr (Al-Qadr:2) atau Lailatul Mubarakah (Ad-Dhukan:4).
Menurut hadits-hadits shahih, ‘Lailatul Qadr’ pada umumnya jatuh pada 10 malam terakhir bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya Al-Quran diwahyukan; lebih tepat lagi pada malam ke-24 Ramadan (Musnad Ahmad ibn Hanbal oleh Imam Abu Abdullah Ahmad ibn Hanbal dan Tafsir Quran oleh Imam Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir Thabari)
Tanggal 24 Ramadan, Rasulullah s.a.w. menerima wahyu pertama Al-Quran (Tafsir Quran oleh Imam Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir Thabari); dan seluruh wahyu diperdengarkan ulang tiap-tiap tahun kepada Rasulullah s.a.w. oleh Malaikat Jibril dalam bulan Ramadan pula. Kebiasaan itu terus dilakukan hingga tahun terakhir hayat Rasulullah s.a.w., pada saat Al-Quran diulangi kepada beliau dua kali oleh Malaikat Jibril di bulan Ramadan itu (Shahih Bukhari, oleh Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail Bukhari). Jadi, dari segi yang lain dapat juga dikatakan bahwa seluruh Al Quran telah diwahyukan dalam bulan Ramadan.
Dari [ayat] ‘SyahruRamadanallazi unziila fiihil quran’tampak keagungan bulan Ramadan. Para sufi menuliskan bahwa bulan ini sangat baik untuk Tanwirul Qulub (penyinaran kalbu). Di dalamnya banyak sekali terjadi Mukassyafaat (pemandangan-pemandangan kasyaf). Shalat mengakibatkan Tazkiya e Nafs (pensucian jiwa), sedangkan puasa mengakibatkan Tajalli e Qulub.
Orang-orang yang berpuasa hendaknya senantiasa memperhatikan bahwa puasa bukanlah hanya menahan haus dan lapar , melainkan mereka itu hendaknya sibuk dalam berzikir kepada Allah Ta’ala, sehingga memperoleh tabattul dan inqita.
Jadi, yang dimaksud dengan puasa adalah supaya manusia meninggalkan satu makanan yang hanya memberikan kelangsungan hidup bagi tubuh dan meraih makanan kedua yang dapat memberikan ketentraman dan kekenyangan bagi ruh. Dan orang-orang yang berpuasa semata-mata demi Allah Ta’ala, serta bukan sebagai suatu adat kebiasaan, mereka itu hendaknya terus sibuk dalam sanjungan, tasbih dan tahlil kepada Allah Ta’ala, yang mana dari itu mereka akan memperoleh makanan kedua.” (Al-Hakamjilid 11, no. 2-11, tanggal17 Januari 1907; Malfuzat, jilid 9, hal. 122-123)
Di banding puasa-puasa lainnya, puasa di bulan suci Ramadan memiliki berbagai keistimewaan. Keistimewaan ini bukan terletak pada kebiasaan atau tradisi mulia yang selalu diulang di setiap tahunnya, namun terletak pada hari-hari khusus turunnya berkat-berkat dari Allah Ta’ala. Bahkan Allah Ta’ala sendiri menyatakan bahwa bagi orang yang berpuasa dengan benar pahalanya adalah Allah Ta’ala sendiri.
Maka oleh sebab itu, Nabi Besar Muhammad s.a.w. memanfaatkan moment istimewa di bulan Ramadan itu dengan berpuasa, memperbanyak shalat sunnah, berzikir, membaca Al-Quran, beramal shaleh, hingga melakukan I’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadan.
Pada hakikatnya puasa Ramadan adalah Mi’raj dari ibadah-ibadah. Puasa Ramadan adalah paling mulia dari sekalian ibadah. Di dalamnya menyatu seluruh ibadah. Segenap ibadah mencapai puncaknya dan menjelma di dalam bentuk puasa. Di atasnya hanyalah kedudukan ibadah Haji. Setelah haji, adalah ibadah puasa. Semua ibadah lainnya merupakan pengikut dari kedua ibadah ini.
Tidak ada satu indra pun yang tidak terpengaruh oleh puasa. Setiap indra menjadi terkendali. Setiap keinginan manusiawi menjadi terikat oleh suatu ketentuan atau batasan. Sebab, secara murni manusia melakukan pengorbanan secara total di hadapan Allah Ta’ala.