Mohon tunggu...
Noor Azasi
Noor Azasi Mohon Tunggu... Freelancer - Alumni IPB dan Magister Ilmu Universitas Krisnadwipayana

Pegiat sosial, tinggal di Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menunggu Kehadiran Ratu Adil di Laut Cina Selatan

14 Mei 2024   03:25 Diperbarui: 14 Mei 2024   04:08 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kawasan Laut China Selatan meliputi perairan dan daratan dari gugusan kepulauan dua pulau besar, yakni Spratly dan Paracels, serta bantaran Sungai Macclesfield dan Karang Scarborough yang terbentang luas dari Selat Malaka sampai ke Selat Taiwan.1 Negara-negara Republik Rakyat China (RRC), Taiwan, Vietnam, Filipina, dan Brunei Darussalamsaling klaim atas sebagian ataupun seluruh wilayah perairan tersebut hingga sampai menimbulkan konflik antar negara.

Sebagaimana yang terjadi Maret 2024 lalu, Kapal Pasukan Penjaga Pantai Cina menembakkan meriam air ke kapal pasokan militer Filipina dan melukai empat awaknya. Dalam konferensi pers, Rabu, 6 Maret 2024, Satuan tugas Laut Cina Selatan Filipina mengatakan, meriam air memecahkan jendela kapal tersebut. Kapal Pasukan Penjaga Pantai Cina juga bertabrakan dengan kapal Filipina dalam misi pasokan rutin ke pos militer di Karang Second Thomas, Selasa, 5 Maret 2024.

Konflik juga terjadi antara RRC dan Vietnam. Kapal CCG 5901 milik Cina yang dijuluki monster  melakukan patroli intrusif di ladang minyak dan gas Vanguard Bank yang merupakan wilayah ekonomi eksklusif (ZEE) milik Vietnam. Hanoi telah mengeksplorasi wilayah itu dengan menggandeng mitra-mitra asing. Wilayah ini merupakan pula titik konflik antara Vietnam dan China.  Kapal Cina yang dikenal sebagai Zhong Guoa Hai Jing 3901 melakukan pola on-and-off di sebelah barat Vanguard Bank sejak 9 Desember 2023. Sebelumnya, kapal penegak hukum kedua negara juga pernah saling berhadapan pada tahun 2019. 

Padahal Laut Cina Selatan merupakan jalur penting untuk sebagian besar pengiriman komersial dunia dengan beberapa negara terletak di bibir lautan itu seperti Brunei, Kamboja, China, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Taiwan, Thailand, dan Vietnam. Lautan itu pun diyakini sebagai lautan yang kaya hasil alam, terutama migas dan ikan.

Konflik yang terjadi di Laut Cina Selatan, setidaknya berdampak pada dua hal bagi Indonesia. Pertama, meningkatkan biaya dan mengganggu kelancaran transportasi logistik, baik dari luar maupun keluar Indonesia. Kedua, keselamatan kerja bagi para Pekerja Migran Indonesia (PMI), khususnya  pelaut dan anak buah kapal (ABK) yang bekerja pada kapal asing di kawasan tersebut semakin tidak terjamin.

Mengenang perjalanan Wuryanto cs lima tahun lalu

Waryanto sebagai kapten dan enam ABK berpaspor Indonesia lainnya, yakni Oskar Raya Bitan, Zainal Haris, Endrayanto, Setiawan Zem Rente , Azzumar Sajidin, dan Sahbri bekerja di kapal Jixiang berbendera Sierra Leone yang dioperasikan oleh perusahaan pelayaran Taiwan. Kapal bermuatan gula dari Taichung dan Taipei, Taiwan, itu seharusnya berlayar menuju Hong Kong, namun kapten kapal diperintahkan memutar melalui Shanghai sehingga dianggap melakukan pelanggaran wilayah. Setelah melalui proses panjang dan desakan dari Konsulat Jenderal RI di Shanghai, pihak perusahaan akhirnya bersedia membayar denda yang ditetapkan oleh pihak Badan Keamanan Laut China (MSA) dan Imigrasi China sekitar lima tahun lalu, tepatnya Kamis, 9 Mei 2019sebagaimana diberitakan Antaranews.com, Senin 13 Mei 2019.

Indonesia sebenarnya telah memiliki UU No 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan PMI (PPMI), termasuk yang berprofesi sebagai pelaut dan ABK. Indonesia pun telah meratifikasi Maritime Labour Convention (MLC) 2006 melalui UU No 15 Tahun 2016.  Keduanya saling menguatkan dalam perlindungan pada aspek hukum, social dan ekonomi karena pelaut itu, ada yang di pelayaran, ada pula yang menjadi nelayan di perikanan.  

Selain yang dialami Wuryanto cs di Sanghai itu, jauh sebelumnya  pernah pula terjadi pemulangan pelaut dari Cape Town dan beberapa negara lain. Mereka ditolak oleh Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) yang sekarang sudah bertransformasi menjadi Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) karena tidak mempunyai Standard Operational Processedure  (SOP) untuk menangani itu. Pada sisi lain, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menyatakan itu para pelaut itu bekerja pada kapal perikanan, bukan kapal niaga, penanganannya menjadi ranah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Akhirnya Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang saat itu dijabat oleh Gus Muhaimin Iskandar mengeluarkan surat pada tahun 2013, menegaskan siapa pun itu, mereka adalah PMI yang harus dilindungi. UU No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan segala keterbatasannya, digunakan sebagai dasar hukum untuk mengatasi persoalan yang dihadapi para pelaut itu. Itulah aspek historis yang melatarbelakangi lahirnya UU 18/2017.

Minimnya pengawasan memang menyebabkan banyak pelaut yang diabaikan oleh agen yang menempatkannya. Bahkan ada yang menyatakan tidak memperoleh Jaminan Hari Tua (JHT) meskipun sudah bekerja lebih dari 17 tahun. Perlu waktu hingga empat tahun dalam merumuskan filosofis dan materi muatan hingga adanya kepastian hukum dalam UU 18/2017.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun