Hingga tahun 2006, Indonesia masih terdaftar sebagai anggota Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC), organisasi negara-negara pengekspor minyak di dunia. Pada masa puncaknya tahun 1977 dan 1991, produksi minyak Indonesia pernah mencapai 1,7 juta barrel per hari (BPOD). Pada masa itulah Tugu Obor Mabuun dibangun di Murung Pudak dan menjadi icon Kabupaten Tabalong, daerah utama penghasil minyak di Kalimantan Selatan .
Hasil minyak membawa kemakmuran bagi wilayah Murung Mudak. Fasilitasnya sangat lengkap untuk sebuah kecamatan di kabupaten yang berjarak sekitar dua ratus kilometer dari ibukota provinsi. Ada rumah sakit, jalan-jalan beraspal, perumahan yang teratur hingga terminal dan Bandara Warukin. Petrodollar digunakan membiayai pembangunan berbagai infrastruktur. Saat itu memang belum ada handphone, namun kemakmuran tampak dari pakaian dan asesori yang dikenakan pada masa itu.
Nyala api meredup
Penurunan jumlah produksi minyak dalam negeri tanpa temuan sumber baru yang memadai, menyebabkan Indonesia menjadi net importir sejak tahun 2002. Produksi minyak yang dihasilkan jauh di bawah kebutuhan minyak dalam negeri. Indonesia pun keluar dari OPEC beberapa tahun kemudian.
Seiring dengan itu, nyala api Tugu Obor Mabuun pun meredup. Bahkan ketika penulis ke sana, apinya sudah tidak lagi menyala. Data SKK Migas memang menunjukkan, produksi Indonesia hanya 720 ribu BPOD dan produksi gas 6.830 juta standar kaki kubik per hari (mmscfd) pada tahun 2020. Padahal kebutuhan dalam negeri saja sudah lebih dari 1,5 juta bpod per hari.
Kondisi ini diikuti pengurangan jumlah karyawan dan kegiatan operasional. Mess-mess karyawan Pertamina banyak yang kosong. Roda perekonomian bergerak lebih lambat. Banyak ruas jalan yang rusak. Sementara dana desa belum bisa digunakan untuk memperbaikinya karena masih berstatus sebagai lahan milik Pertamina. Â
Beruntung masih ada perusahaan tambang batubara yang beroperasi di sana. Mereka menyediakan angkutan umum gratis ke beberapa lokasi. Dana CSR juga disalurkan pada beberapa kegiatan social dan pemberdayaan masyarakat di sejumlah desa. Dari program ini, lahirlah kemudian bank sampah desa, budidaya ikan dalam bioflog, industry kerajinan anyaman dan kopi pasak bumi hingga kegiatan seni-budaya local di sejumlah pemukiman masyarakat Dayak.
Melengkapi semangat berdesa ini, Pemerintah Kabupaten Tabalong pun mendorong pengembangan Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa). Wujudnya melalui fasilitasi pendirian ritel modern BUMDesmart di desa-desa, salah satunya berlokasi di Desa Kasiau.Â
Kios Pertamini yang menjual BBM dari BUMDesMart Desa Kasiau pernah menghasilkan Rp 4 juta penghasilan per bulan ketika masih diberikan alokasi voucher. Usaha lain yang prospektif dikelola BUMDes adalah pengelolaan embung untuk pemancingan dan pembibitan karet yang potensial memberikan keuntungan Rp 100 rupiah per pohon.
Pada sisi lain, Kabupaten Tabalong Persoalan masih menghadapi persoalan stunting dan terbatasnya infrastruktur pada sebagian wilayah perdesaan. Misalnya yang dihadapi Bintang Ara yang berada di kawasan hutan lindung. Jalan menuju kesana rusak parah.
Secercah harapan menyalakannya kembali