Mohon tunggu...
Noor Azasi
Noor Azasi Mohon Tunggu... Freelancer - Alumni IPB dan Magister Ilmu Universitas Krisnadwipayana

Pegiat sosial, tinggal di Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Mengapa Tidak Dikelola Saja secara Kolektif?

30 Maret 2021   21:46 Diperbarui: 30 Maret 2021   22:18 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selain aspek legal-formal, penyelesaian kasus ini perlu memperhatikan aspek teknis dan kondisi sosiologis di tengah suasana pandemic corona virus disease 2019 (covid-19). Oleh karena itu, kemanfaatan dari Green House yang dibangun perlu menjadi pertimbangan dalam penyelesaiannya.

Prinsip kemanfaatan

Sekalipun skema pelaksanaan pekerjaan tidak sesuai dengan Juknis, namun penulis melihat ada sisi positif dari pembangunan Green House ini yang perlu juga dipertimbangkan. Bagaimana dia bisa berfungsi dan berkontribusi dalam mendukung pemulihan ekonomi di tengah situasi pandemic covid-19.

Dalam Ahmad Sukamto (2013), Manfaat dan Tujuan Greenhouse, disebutkan sebagai sarana penunjang agribisnis dan hortikultura, Green House sangat mendukung upaya peningkatan produksi dan kontinyuitas produk. Budidaya pertanian modern dan presisi dengan menggunakan Green House dapat mendatangkan berbagai manfaat, diantaranya pengaturan jadwal produksi, sarana agrowisata dan minimalisasi pestisida. Selain dapat menyesuaikan jadwal produksi secara mandiri, pengaturan iklim mikro dalam Green House akan mengurangi resiko gagal panen.

Green house yang baik juga memberikan perlindungan tanaman terhadap hama dan penyakit. Umumnya dilakukan dengan memasang insect screen pada dinding dan bukaan ventilasi di bagian atap. Bahkan bisa didesain untuk keperluan wisata pendidikan (edu-wisata) dengan melengkapinya taman koleksi yang berisi aneka jenis tanaman langka yang unik dan menarik. Pengunjung bisa diperkenalkan dengan nama-nama tanaman tersebut sambil belajar cara membudidayakannya.

Bila setiap anggota hanya mendapat manfaat berupa UPK sebesar Rp 75 ribu per hari atau Rp 750 ribu dalam sepuluh hari kerja. Tanpa kegiatan produktif yang permanen, mereka akan kembali menganggur setelah pekerjaan selesai. Daripada dipaksakan memperbaiki jalan pada lokasi yang kondisi jalannya sebenarnya relative masih bagus. Atau memperbaiki saluran air yang masih digunakan digunakan. Akan lebih bermanfaat bila digunakan untuk sarana ekonomi produktif multi fungsi seperti Green House.

Penulis melihat sesungguhnya ada niat baik dari inisiator kegiatan ini untuk menjamin kelangsungan dan memberikan manfaat berkelanjutan dari pembangunan Green House tersebut. Namun hal tersebut tidak dikomunikasikan dan disosialisasikan dengan baik pada kelompok-kelompok yang juga menjadi shareholder dalam kegiatan ini. Bahkan desa yang menjadi lokasi pembangunannnya pun, menurut berita, tidak mengetahui adanya kegiatan tersebut.

Atas dasar pertimbangan kemanfaatan, sebaiknya penyelesaian kasus ini dengan mendorong penyelesaian pembangunan dan mendesain ulang pola pengelolaannya agar bisa secara kolektif melalui koperasi sehingga memberi manfaat bagi semua kelompok dan masyarakat sekitarnya. Bila dikelola secara optimal dan profesional, Green House tersebut dapat membantu penyerapan tenaga kerja permanen, baik langsung maupun tidak langsung.

Setidak-tidaknya, ada tiga peran dan posisi yang bisa dijalankan. Pertama, menjadi pengelola Green House. Atas dasar kesepakatan bersama, bisa diatur bergilir dari perwakilan ke-48 kelompok sehingga bisa bekerja sambil belajar, learning by doing. Kedua, mengembangkan kegiatan usaha jasa pendukung dalam bidang pemasaran dan pengolahan maupun usaha kuliner dan transportasi seiring pengembangannya sebagai obyek wisata. Ketiga, memperoleh bagian dari Sisa Hasil Usaha (SHU) sebagaimana pola yang selama ini berjalan dalam koperasi.

Bila pembangunannya tidak diselesaikan dan tidak dimanfaatkan, justru akan lebih merugikan lagi bagi negara. Baik dilihat dari sisi potensi produksi pangan yang dihasilkan, maupun potensinya dalam mendukung perekonomian local serta mendukung perluasan kesempatan kerja dan penyerapan tenaga kerja secara permanen. Ke depan, perlu redesain program sejalan perkembangan lingkungan strategis dengan lahirnya UU Nomor 11 Tahun 2021 tentang Cipta Kerja (UUCK) melalui penyederhanaan formasi kelompok dan penggunaannya benar-benar diarahkan untuk pembangunan infrastruktur produktif. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun