Mohon tunggu...
Noor Afeefa
Noor Afeefa Mohon Tunggu... Penulis - Pemerhati Kebijakan Pendidikan

"Ketahuilah, sesungguhnya pintu terbesar manusia yang dimasuki oleh iblis adalah kebodohan” (al-Hafidz Imam Ibnul Jauzi al-Hanbali)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Soal Daya Nalar Tinggi (HOTS) dalam Ujian, Solusi atau Masalah?

27 Maret 2019   06:11 Diperbarui: 27 Maret 2019   06:25 739
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Noor Afeefa (Pemerhati Kebijakan Pendidikan Dasar Menengah)

Ujian Nasional kembali digelar mulai 25 Maret ini.  Dimulai dari jenjang SMK, lalu SMA, SMP dan terakhir SD.  Tahun 2018 lalu, para peserta ujian sempat galau.  Pasalnya, mereka tidak menyangka keluarnya soal HOTS (daya nalar tinggi) yang dianggap sulit dipecahkan.  Kontan, Kemendikbud pun kebanjiran protes siswa.  Akankah kegalauan itu terulang kembali tahun ini?

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah menegaskan bahwa tingkat kesulitan soal Ujian Nasional tahun ini sama dengan tahun lalu.  Itu artinya siswa harus bersiap menghadapi soal HOTS.  

Bagaimana pun tanggapan siswa, hadirnya soal HOTS memang layak dikritisi.  Tentu, hal ini bukan berarti sikap mendukung semua keluh kesah siswa, atau sikap memanjakan siswa dengan pengerjaan berbagai soal mudah agar siswa mendapatkan nilai bagus.  Tentu saja bukan itu.  

Perihal memacu kemampuan siswa agar memahami ilmu dengan pemahaman yang mendalam sehingga mampu memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi (termasuk mengerjakan soal ujian dan aplikasinya dalam kehidupan) adalah perkara yang pasti dan harus.  Hal ini berbeda dan terpisah dengan penerapan soal HOTS pada ujian akhir siswa.  Hal yang pertama berkaitan dengan sistem pendidikan.  Adapun yang kedua, berbicara tentang konsep berpikir.

Mengapa HOTS
Higher Order of Thinking Skill (HOTS) adalah kemampuan berpikir kritis, logis, reflektif, metakognitif, dan berpikir kreatif yang merupakan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Dalam proses pendidikan, ranah dari HOTS meliputi analisis, evaluasi dan mengkreasi.  Analisis merupakan kemampuan berpikir dalam menspesifikasi aspek-aspek/elemen dari sebuah konteks tertentu.  Evaluasi merupakan kemampuan berpikir dalam mengambil keputusan berdasarkan fakta/informasi.  Adapun mengkreasi merupakan kemampuan berpikir dalam membangun gagasan/ide-ide.

Menurut pemerintah, diterapnya konsep soal dengan daya nalar tinggi (HOTS), dilatar belakangi oleh rendahnya kualitas output pendidikan di Indonesia.  Hal ini menuntut perbaikan kurikulum, terlebih dalam menghadapi tantangan abad 21 dan Revolusi Industri 4.0.  Kurikulum 2013 diperbaiki dengan 4 (empat) perubahan elemen.  Keempat elemen tersebut adalah Standar Kompetensi Lulusan, Standar Isi, Standar Proses dan  Standar Penilaian.  Hadirnya soal HOTS dalam ujian bertujuan untuk meningkatkan keempat elemen ini, khususnya standar penilaian.

Sebagaimana diketahui, ciri pembelajaran dalam Kurikulum 2013 adalah pendekatan saintifik (Scientific Approach).  Hal ini dilakukan melalui pengembangan kemampuan dan keterampilan baik dalam mengamati, menanya, mencoba, menalar, dan mengkomunikasikan.  
Kurikulum 2013 mengharuskan peserta didik mampu berpikir dalam tingkat lebih tinggi. Dalam dunia pendidikan berpikir merupakan bagian dari ranah kognitif. Dalam hirarki Bloom terdiri dari enam tingkatan: (1) pengetahuan (knowledge); (2) pemahaman (comprehension); (3) penerapan (application); (4) mengalisis (analysis); (5) menilai (evaluation) dan (6) mensintesakan (synthesis).   Jika selama ini siswa hanya berada pada tingkat berpikir 1-2-3, maka dengan HOTS diharapkan mampu sampai pada level 4-5-6.  
Untuk mencapai taraf berpikir lebih tinggi itulah, dalam kurikulum 2013 ini pendelatan HOTS diaruskan baik dalam proses pembelajaran maupun evaluasi belajar (ujian).  

HOTS dalam Soal Ujian
Jumlah soal HOTS dalam UN hanya sekitar 10%.  Menurut Kepala Pusat Penilaian dan Pendidikan (Kapuspendik) Kemendikbud Abduh, hal ini dianggap masih lebih rendah jika dibandingkan soal penalaran pada studi PISA yang sekitar 25%. 1
Meski hanya 10%, kebanyakan siswa tidak siap dan mengeluhkan tidak mampu menyelesaikannya.  Para pengemat dunia pendidikan pun urun saran.  Mereka menuntut kepada pemerintah agar mempersiapkan proses pendidikan yang dijalani siswa sehingga mampu menjalani evaluasi pembelajaran dengan pendekatan HOTS.

Pemerintah berkeyakinan pengenalan soal HOTS diharapkan mampu mengembangkan kapasitas berpikir siswa, membangun pengetahuan, memecahkan masalah dan mampu menemukan hal baru dalam kehidupan nyata.  Pada akhirnya konsep ini dapat meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.

Penerapan HOTS juga tak bisa dilepaskan dari keinginan pemerintah untuk meningkatkan penilaian PISA.  Sebagaimana diketahui, Indonesia menjadi bagian dari Programme for Internasional Student Assessment (PISA) yang merupakan Program Penilaian Internasional bersama 81 negara lainnya. PISA bertujuan mengukur literasi dasar untuk hidup dan kompetensi siswa yang relevan dengan kecakapan abad-21.  Adapun domain yang diukur pada PISA adalah reading literacy, mathematics literacy, scientific literacy, financial literacy dan global competency.

Survey PISA dilakukan 3 tahun sekali.  Dalam PISA 2015, posisi Indonesia untuk sains, membaca, dan matematika berada di peringkat 62, 61 dan 63 dari 69 negara yang dievaluasi. 2

Rendahnya peringkat PISA menjadi momentum untuk mengakselerasi perubahan pada kurikulum, pembelajaran, dan penilaian untuk menyongsong tantangan abad-21.  Pendekatan HOTS dalam kurikulum 2013 mau tak mau menjadi bagian yang harus dijalani oleh peserta didik maupun tenaga pendidik.

Kritik HOTS
Sebagai sebuah sarana untuk mewujudkan konsep pembelajaran abad 21, HOTS layak dikritisi.  Sebab, konsep pembelajaran abad 21 yang merupakan kelanjutan dari konsep pembelajaran sebelumnya, masih berpijak pada landasan sekulerisme.  Landasan ini menjauhkan peran agama dari ranah pendidikan.  
Sekalipun dalam kurikulum 2013 diaruskan PPK (Pengarusan Pendidikan Karakter) namun tidak serta merta mengadopsi ajaran agama dalam proses pendidikan.  Pada faktanya, PPK pun tak mampu mengatasi problem karakter peserta didik yang terus berkembang, karena tidak bersandar pada akidah (Islam).  Dengan demikian, pendidikan di Indonesia dalam sejarahnya hingga kini masih mengadopsi asas sekuler.

Sekulerisme sendiri bertentangan dengan Islam.  Sebab, Allah SWT memerintahkan umat Islam untuk ber-Islam secara menyeluruh (QS. Albaqarah [2]:208).  Dalam pelaksanaan pendidikan pun harus berdasarkan akidah Islam.  
Untuk menghadapi abad 21 (dan RI 4.0, pen-) yang makin sarat dengan teknologi dan sains dalam masyarakat global di dunia ini, maka pendidikan (konsep pembelajaran abad 21) berorientasi pada ilmu pengetahuan matematika dan sains alam disertai dengan sains sosial dan kemanusiaan (humaniora) dengan keseimbangan yang wajar (BNSP, 2010).  Implementasinya nampak pada kurikulum pendidikan yang lebih menekankan scientific approach.  

Dalam banyak hal, peserta didik diberi beban pembelajaran di luar kebutuhannya, padahal waktu belajar terbatas.  Akhirnya, aspek sosial -termasuk pembentukan kepribadian- kerap dipinggirkan.  Inilah yang menambah beban masalah pendidikan berikutnya.  Tawuran, pesta miras-narkoba, pesta seks, kurang ajar pada guru hingga pembunuhan janin bukan hal aneh di kalangan pelajar.  Jika begini, dimana kebaikan pembelajaran yang lebih menekankan pada aspek saintifik dan adanya keseimbangan yang wajar. 

Tantangan abad 21 seharusnya disikapi dengan paradigma pendidikan yang sahih.  Yakni paradigma pendidikan yang berdasarkan akidah Islam.  Terintegrasinya pendidikan agama (Islam) dalam seluruh bidang pembelajaran menjadikan ilmu yang diperoleh tidak kehilangan ruh akidah.  Demikian pula dalam aspek pembentukan kepribadian.  Sebab, tantangan abad 21 sangat kompleks.  Penguatan kepribadian Islam akan menangkal pengaruh negatif arus globalisasi.  Dengan semangat akidah pula, mereka akan menjadi manusia-manusia yang selalu bersemangat menggali ilmu, meraih kemuliaan ilmu dan mengamalkannya bagi kemajuan masyarakat.

HOTS sebenarnya merupakan konsep berpikir pada manusia.  Sebagai sebuah konsep berpikir tentu terkait dengan pandangan hidup (akidah) pengembannya.  Tatkala HOTS mengacu pada scientific approach, sejatinya HOTS tidak bisa digunakan pada semua bidang ilmu.  Sebab, HOTS hanya mengandalkan metode ilmiah.  Sedangkan metode ilmiah hanya layak digunakan pada materi-materi saintifik.  Adapun dalam ilmu-ilmu sosial, maka metode ilmiah tidak dapat digunakan.  Seringkali terjadi kesalahan dalam penarikan kesimpulan karena memaksakan metode ilmiah pada masalah sosial.

Sebagai contoh, betapa sering siswa mendapatkan pembahasan tentang manusia purba.  Jika menggunakan pendekatan HOTS, maka siswa (tingkat dasar hingga menengah) didorong memahami ciri-ciri fisiknya, bagaimana cara berjalannya, bentuk rahang dan gigi, dagu, kening dan sejenisnya.  Padahal secara hakiki, anak-anak ini seharusnya didorong untuk memahami hakikat kehidupan manusia purba.  Yakni, bahwa bagaimana pun kondisi mereka -kalaupun ada perbedaan fisik dengan manusia saat ini, manusia purba adalah makhluk Allah SWT berjenis manusia.  Mereka sama kududukannya dengan manusia saat ini.  Mereka makhluk berakal, berjenis laki-laki dan perempuan dengan kebutuhan hidup yang sama dengan manusia sekarang.  Mereka pun diperintah untuk menyembah Allah SWT Tuhan manusia.  Mereka bukan hasil evolusi dari kera dan tidak ada hubungan apapun dengan binatang.

Dalam banyak hal, pendekatan soal HOTS dalam bidang sosial tidak serta merta membentuk kepribadian Islami.  Bahkan siswa menjadi lebih disibukkan oleh hal-hal rumit di luar kebutuhan dan kehidupannya.  Soal-soal HOTS kerap dipandang rumit dan di luar nalar kehidupan mereka sehari-hari.  Padahal persoalan terdekat kehidupan mereka saja tidak mampu mereka hadapi dan selesaikan.

Capaian nilai PISA yang rendah, sejatinya disebabkan oleh lemahnya sistem pendidikan (baik dalam kurikulum maupun pengelolaan lembaga pendidikan).  Akidah sekuler yang mendasari sistem pendidikan saat ini tidak mendorong peserta didik untuk mengembangkan taraf berpikirnya.  Kemampuan mereka akhirnya hanya pada level C1 hingga C4 dalam taksonomi Bloom.  Ini semua terjadi karena sekulerisasi pendidikan.

Pendidikan Islam Maju tanpa HOTS
Yang menjadi persoalan, jika tidak dengan HOTS, mampukah kita meningkatkan taraf berpikir peserta didik?  Mampukah kita meningkatkan daya kreasi siswa untuk memecahkan berbagai persoalan bahkan menemukan berbagai terobosan baru untuk menghadapi era digital yang serba canggih?  Tentu saja bisa.  Dan hal itu tidak harus dengan HOTS yang berbasis sekulerisme.  

Sejatinya, itu semua telah tertuang dalam konsep berpikir Islami.  Konsep berpikir ini diyakini mampu membekali siswa akan kebutuhannya di masa mendatang apapun kondisinya.  Sebab, pada hakikatnya persoalan manusia tidak berubah sepanjang zaman.  Yang berubah adalah bentuk-bentuk fisik peradaban.  Kecanggihan berbagai penemuan mengikuti perkembangan masyarakat.  Sedangkan yang menjadi persoalan adalah bagaimana manusia bersikap atas perkembangan yang terjadi.  Di sinilah manusia memerlukan konsep berpikir sahih agar tidak mengambil keputusan keliru dan terus terdorong melahirkan kemajuan yang dibutuhkan manusia dalam koridor aturan Allah SWT.

Dalam sejarah penerapan sistem pendidikan Islam, tidak dikenal istilah HOTS maupun konsep berpikir tingkat tinggi.  Sistem pendidikan Islam menggunakan paradigma berpikir aqliyah.  Yaitu pola pikir yang didasarkan pada penggunaan akal.  Pola pikir aqliyah didasari oleh akidah Islam.  Oleh karenanya, hasil pemikiran aqliyah ini tidak akan menyimpang dari aturan karena basis akidah tersebut.

Metode berpikir aqliyah inilah yang digunakan untuk menemukan hakikat sesuatu. Basis akidah akan mendorong setiap pengemban ilmu untuk terus menggali hingga menemukan berbagai penemuan yang berguna bagi peradaban.  Dari sinilah sistem pendidikan Islam yang pernah diterapkan dalam masa Kekhilafahan Islam dahulu telah mampu melahirkan para ilmuwan yang mumpuni di bidang sains maupun budaya dan sosial.  Merekalah yang membangun peradaban Islam hingga Islam menjangkau dari Timur hingga Barat. Tercatat diantaranya : Al Khawarizmi, seorang ahli matematika yang dikenal Barat dengan Algebra atau Aljabar, seorang ahli kimia, Jabir Ibnu Hayyan atau dikenal dengan nama Ibnu Geber dan lain sebagainya.

Dalam Islam memang dikenal metoda berpikir ilmiah.  Namun, metoda ini hanya digunakan untuk menemukan hakikat yang bersifat materi dan saintifik.  Tidak bisa diterapkan pada objek bersifat sosial.  Penggunaannya pun harus disandarkan pada akidah dan syariat Islam.

Walhasil, sistem pendidikan Islam telah mengatur metode berpikir yang mampu merangsang peserta didik untuk terus mengembangkan akalnya untuk memahami ilmu dan menerapkannya dalam kehidupan.  Umat Islam akan maju dan tidak tertinggal oleh Barat bahkan bisa menguasai dunia jika mereka menerapkan sistem pendidikan Islam.  

Apa yang terjadi saat ini sejatinya lebih disebabkan kegagalan sistem pendidikan sekuler ditambah beban hidup yang berat dari penerapan neoliberalisme.  Beban berat ini telah membuat mereka malas berpikir, belajar hingga berprestasi.  Semua itu tentu tidak bisa diselesaikan dengan HOTS baik pada proses pembelajaran maupun evaluasi.

Negeri ini membutuhkan perombakan tolal.  Bukan hanya sistem pendidikan, namun juga sistem ketatanegaraannya.  Politik ekonomi dan politik pemerintahan neoliberal dan demokrasi harus diubah menjadi sistem Khilafah Islam.  Dengannya kehidupan akan berkah. Tak perlu mengekor pada Barat dengan HOTS atau yang lainnya.  Sebab, Allah SWT telah menurunkan aturan-Nya secara paripurna bagi manusia.  Tinggal kita mewujudkannya dengan penuh kepatuhan. Yuk! []
 
1 http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/eduaction/18/04/16/p7a6h9354-kemendikbud-tingkat-kesulitan-soal-un-relatif-sama
2  https://www.ubaya.ac.id/2018/content/articles_detail/230/Sekelumit-dari-Hasil-PISA-2015-yang-Baru-Dirilis.html  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun