Rilis BPS tentang angka pengangguran di Indonesia menjadi pijakan pemerintah untuk membenahi pendidikan vokasi SMK. Â Pasalnya, lembaga pendidikan ini dinyatakan sebagai penyumbang pengangguran terbesar dibandingkan jenjang pendidikan lainnya. Â Berbagai terobosan pun dilakukan. Â
Berbarengan dengan hadirnya era RI 4.0 (Revolusi Indistri ke-4), arah pendidikan vokasi pun dirancang untuk mengatasi problem tersebut. Â Diharapkan, RI 4.0 membuka peluang terserapnya lulusan SMK. Â Kurikulum pun akan dibenahi. Â
Dalam kerangka ini, secara vulgar Mendikbud Muhajir menyampaikan rancangannya. Â Dia mengatakan tentang demand side sebagai acuan untuk menyusun kurikulum pendidikan vokasi. Â Maksudnya, kurikulum harus memberi penekanan lebih kepada calon pengguna, yakni perusahaan atau pelaku usaha lainnya. Â Tak hanya di tingkat nasional dan regional, bahkan internasional. Â Harapannya, lulusan SMK segera terserap di berbagai perusahaan. Â
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution juga menegaskan hal serupa. Â Ia berencana untuk merombak kurikulum SMK. Ia juga meminta dunia industri membuka peluang magang yang sesuai dengan standar kerja, agar lulusan SMK bisa memiliki kemampuan. Intinya, dunia indutri harus selaras dengan kebutuhan SMK.
Berharap pengangguran segera teratasi adalah lumrah. Â Namun, pernyataan Mendikbud tentang demand side ini tentu cukup memprihatinkan, terlebih jika menyangkut kurikulum pendidikan. Â Apa jadinya jika kurikulum pendidikan lebih menekankan kalangan tertentu (yaitu perusahaan). Â Walaupun, dampaknya dirasakan juga oleh lulusan SMK yang terserap di perusahaan. Â
Menekankan perusahaan dan pelaku usaha sebagai sisi pengguna adalah sebuah kepicikan berpikir. Â Pasalnya, pengguna lulusan SMK sejatinya bukan hanya perusahaan. Â RI 4.0 memang menggiring masyarakat untuk bergantung pada perusahaan dan industri. Â Namun, kondisi ini seharusnya bisa ditelaah lebih jauh sehingga ketergantungan tersebut tidak terjadi begitu saja. Â Masih banyak lahan kehidupan ekonomi yang bisa dimasuki oleh lulusan SMK. Â Jika saja ada keinginan baik dari para perancang pendidikan vokasi, niscaya banyak lahan yang bisa dimasuki oleh lulusan SMK.
Jika pun akhirnya mengikuti arus RI 4.0, maka yang lebih banyak diuntungkan adalah para pengusaha. Â Lulusan SMK memang bisa mengabdikan tenaganya di perusahaan-perusahaan tersebut. Â Namun, kebanyakannya mereka hanya menjadi sapi perah, diambil tenaganya secara murah. Â
Lagi pula, penyerapannya di pasar tenaga kerja industri juga terbatas. Â Dunia usaha dan industri di era RI 4.0 justru melemahkan pasar tenaga kerja. Â Era digital meminimalisir tenaga manusia. Â Meski membutuhkan kemampuan digital yang bisa disumbang oleh lulusan SMK, namun jumlahnya amat terbatas dibanding jumlah siswa SMK yang belajar. Â Akibatnya tetap saja tidak akan mampu menyerap seluruh lulusan SMK.
Menyelaraskan kurikulum dengan industri juga berbahaya. Â Sebab, akan mengubah paradigma pendidikan vokasi itu sendiri. Â Pendidikan bisa menjadi alat bagi makin berkuasanya para korporat. Â Negara akan makin kapitalis dengan filosofi ini. Â Dengan demikian, konsep ini makin menegaskan bahwa pendidikan vokasi di Indonesia bercorak kapitalisme liberal. Â
Pendidikan vokasi seharusnya dirancang untuk menghasilkan tenaga ahli dan terampil di berbagai bidang kehidupan (sesuai jenjangnya, baik di sekolah menengah maupun perguruan tinggi). Â Mereka bukanlah budak (sapi perah) para pelaku usaha dan industri. Â Ketrampilan ini selayaknya bisa dimanfaatkan oleh semua lapisan masyarakat, bukan hanya menguntungkan para pengusaha. Â Mereka bahkan seharusnya mampu berdikari menciptakan usaha mandiri dan lapangan kerja. Â Tidak hanya bergantung pada industri milik korporat.
Kondisi ini juga menunjukkan lemahnya peran Negara. Â Selama ini Negara tidak memerankan perannya secara dominan, bahkan lebih bergantung kepada perusahaan swasta. Â Akibatnya perusahaanlah yang lebih berperan dalam membina (bekerja sama) dengan SMK. Â