Bermain adalah  dunia anak-anak. "Seribu bahasa anak",  menggambarkan bahwa anak-anak memiliki banyak cara untuk berkomunikasi, bereksplorasi, dan memahami dunia. Bermain menjadi salah satu media yang memungkinkan anak-anak mengekspresikan bahasa tersebut. Dalam artikel ini, pemikiran Emmi Pikler dan teori psikoanalisa akan digunakan untuk menjelaskan bagaimana bermain dapat mendukung perkembangan anak secara holistik, cara anak mengungkapkan bahasanya dan peran penting orang dewasa dalam mendukung perkembangannya
Emmi Pikler (Sagastui et al., 2020) menekankan pentingnya kebebasan dan otonomi anak dalam proses bermain. Menurut Pikler, lingkungan yang mendukung eksplorasi mandiri memberikan ruang bagi anak untuk mengembangkan keterampilan fisik, emosi, dan sosial secara alami. Observasi yang dilakukan secara sistematis yang dilakukan oleh orang dewasa menunjukkan bahwa bermain bebas yang dilakukan anak yang didampingi secara minimal  memperkuat rasa percaya diri anak dan kemampuan  untuk menentukan keinginan mereka sendiri
Terinspirasi dari Pikler Nursery School, anak-anak diberi kebebasan untuk menjelajahi lingkungan sesuai dengan minat dan kebutuhan mereka. Sementara orang dewasa, baik guru maupun orang tua, hadir dan berperan sebagai pendukung pasif yang menyediakan  ruang aman dan memberikan perhatian yang dibutuhkan anak. Orang dewasa tidak mengarahkan permainan dan tidak memberikan intervensi saat anak-anak bermain, tetapi mereka hadir untuk mendukung ketika anak membutuhkan bantuan atau penguatan emosional. Hal ini mengajarkan anak bahwa setiap tindakan mereka penting dan bermakna. Proses ini membangun hubungan yang stabil dan mendalam antara anak dengan lingkungannya, dan mendukung perkembangan emosi yang sehat.
Lebih jauh Pikler menjelaskan bahwa permainan bebas memungkinkan anak untuk belajar dari pengalaman nyata. Ketika anak mengambil keputusan sendiri, mereka belajar tentang konsekuensi, keterampilan penyelesaian masalah, dan bagaimana memengaruhi lingkungan mereka secara positif. Deci dan Ryan (2000)(Cavell, 1954) menyatakan bahwa "proses ini mendukung tiga kebutuhan dasar manusia dalam teori determinasi diri: otonomi, kompetensi, dan keterkaitan" (hal. 68).
Dari perspektif psikoanalisa, bermain dipandang sebagai cara anak-anak mengungkapkan konflik batin dan fantasi mereka. Sigmund Freud(Winnicott, 1953) berpendapat bahwa bermain adalah sarana sublimasi, di mana anak-anak dapat menyalurkan dorongan atau emosi yang tidak dapat mereka ekspresikan secara langsung. Bermain membantu anak memproses pengalaman yang menimbulkan ketegangan atau ketakutan dengan cara yang aman dan menyenangkan.
Melalui permainan simbolik, seperti bermain peran  anak-anak menciptakan skenario yang mencerminkan pengalaman mereka sehari-hari. Misalnya, seorang anak yang merasa takut ditinggalkan mungkin memainkan adegan di mana ia "meninggalkan" bonekanya, sehingga ia dapat mengatasi rasa takut tersebut. Dalam proses ini, anak-anak belajar mengatur emosi mereka dan mengembangkan rasa kontrol terhadap dunia di sekitar mereka.
Donald Winnicott, seorang psikoanalis terkemuka, memperluas pemikiran ini dengan konsep "ruang bermain" (play space). Ia menjelaskan bahwa bermain terjadi di dalam ruang  antara realitas eksternal dan dunia internal anak. Dalam ruang ini, anak-anak merasa aman untuk berkreasi, mengeksplorasi, dan memproyeksikan pikiran mereka. Lingkungan yang mendukung dan tidak menghakimi, seperti yang ditekankan oleh Pikler, memperbesar manfaat terapeutik dari ruang bermain ini.
Cameron (Prins et al., 2023) di dalam sebuah artikel menyampaikan bahwa pengalaman bermain di alam menghasilkan kekayaan kata dalam pembicaraan anak. Dari sini kita dapat mengetahui di saat anak bermain bebas mereka akan menghasilkan kosa kata yang lebih banyak
Anak-anak menggunakan berbagai cara untuk mengekspresikan bahasa mereka dalam bermain, termasuk:
- Bahasa verbal, dimana anak berbicara atau bercerita saat bermain, menciptakan dialog imajiner, atau berbicara tentang pengalaman mereka.
- Bahasa visual, di sini anak menggambar, melukis, atau membuat karya seni lain untuk mengekspresikan perasaan dan ide mereka.
- Bahasa tubuh, anak menggunakan tubuh mereka untuk menari, bermain peran, atau melakukan gerakan lain yang menggambarkan emosi atau cerita tertentu.
- Bahasa irama, Â anak menciptakan irama sederhana, menyanyi, atau menggunakan alat musik untuk mengekspresikan suasana hati mereka.
- Bahasa simbolik, melalui kegiatan bermain peran atau menggunakan objek sebagai simbol, seperti menggunakan kotak kardus sebagai "mobil" atau "rumah."
Setiap cara ini adalah cerminan unik dari dunia batin anak dan cara mereka memahami dunia di sekitar mereka. Orang dewasa yang peka terhadap "bahasa" ini dapat membantu anak mengeksplorasi potensinya secara maksimal.
Di Indonesia, pendidikan anak usia dini menekankan pendekatan berbasis bermain  sebagai metode utama. Bermain dianggap sebagai metode terbaik untuk mengintegrasikan aspek perkembangan kognitif, emosional, sosial, dan fisik anak. Kurikulum PAUD, memprioritaskan pembelajaran yang berpusat pada anak dengan memberikan kebebasan untuk bereksplorasi sesuai dengan minat dan kebutuhan mereka.