Mohon tunggu...
Noor Zainab
Noor Zainab Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Selayak pena, ingin kuberitahu dunia lewat goresan tinta. Aku hanya perempuan sangat biasa.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Nilai Matematika; Sudah Benarkah Anda Sebagai Guru?

17 Maret 2017   19:51 Diperbarui: 17 Maret 2017   19:53 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang dokter datang kepada pasien sambil menodongkan sebilah pisau. Dia bermaksud menanyakan keluhan pasien tentang sakit yang dideritanya. Kemungkinan besar sebelum menjawab pertanyaan dokter, pasien akan lari karena ketakutan dan batal mengutarakan maksudnya.

Bagaimana jika ini terjadi pada seorang guru terhadap muridnya, khususnya guru matematika. Ketika seorang guru matematika tidak mengajar dengan benar maka yang akan terjadi adalah murid tidak merasa nyaman kemudian lari dari kelas. Bisa jadi dia lari secara fisik, tidak masuk ke kelas. Bisa jadi secara fisik dia ada di kelas, namun pikirannya jauh melanglang entah kemana.

Hari ini, saya dan teman-teman mahasiswa Unesa mendapat kesempatan berharga untuk menghadiri kuliah tamu dari dosen Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Sultan Idris Malasyia, Prof. Dr. Mohd. Uzi Dollah. Tema yang tertulis pada undangan adalah Nilai-Nilai Matematika dan Berpikir Kritis. Kami bertanya-tanya makna nilai yang dimaksud dalam tema. Apakah nilai secara kognitif yang biasanya berupa angka-angka, ataukah nilai karakter. Apakah hubungan nilai-nilai matematika dengan berpikir kritis. Dan beragam pertanyaan lainnya.

Kuliah yang disampaikan dalam bahasa Melayu itu berlangsung selama 2 jam. Selama waktu tersebut, antuasiasme mahasiswa amat terlihat dan kami hampir tidak pernah melewatkan satu pun paparan yang diberikan. Banyak sekali fakta-fakta yang menampar guru matematika, khususnya saya sendiri.

Ketika kuliah di tingkat sarjana dulu, kami belajar tentang teori-teori pembelajaran, psikologi pendidikan dan ilmu-ilmu yang diperlukan sebelum menerima tugas sebagai seorang guru. Namun, berapa persen dari ilmu yang telah dipelajari dulu yang kami amalkan sebagai seorang guru. Beliau tidak ingin menanyakan kepada kami. Jawaban mahasiswa beliau di Malasyia diantaranya ada yang 50%, 40%, 30%. Tidak ada satu pun yang 100% mengamalkan ilmu pembelajaran yang dahulu telah dipelajarinya.

Ketika memberikan soal matematika, biasanya yang ditanyakan guru adalah apa jawabannya. Guru meminta siswa mengerjakan soal begitu saja tanpa bertanya apakah siswa telah membaca soal, apakah siswa telah memahami apa maksud soal tersebut, apa yang ditanyakan soal. Disinilah proses berpikir siswa seolah diabaikan oleh guru, semata-mata berorientasi pada hasil akhir yaitu angka-angka yang tertulis di akhir pembelajaran.

Mungkin kita pernah menemui ketika berkeliling kelas, sementara murid mengerjakan soal yang diberikan. Ada murid yang menutup jawabannya ketika guru mendekat. Dia takut terlihat salah di depan gurunya. Penyebabnya adalah sikap guru sendiri. Sikap guru ketika menemukan kesalahan murid. Ada guru yang lantas menyalahkan murid, menganggap dia tidak bisa sama sekali, bahkan sampai mencaci -makinya di hadapan muridnya yang lain. Guru yang baik seharusnya memberikan nilai-nilai matematika sehingga murid berani menampilkan jawaban kemudian bertanya tentang kebenaran jawaban yang telah dihasilkannya. Murid merasa memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikan soal tersebut. Apabila jawabannya masih salah maka murid akan memperbaiki kembali sehingga dia memperoleh jawaban yang benar dengan proses yang benar.

Seringkali murid pergi ke sekolah, masuk ke kelas matematika, kemudian belajar matematika, namun pembelajarannya tidak berkesan. Misalnya tentang luas segitiga. Murid akan pulang ke rumah dengan membawa hafalan rumus bagaimana mencari luas segitiga yaitu setengah kali panjang alas kali tinggi. Mereka tidak mengetahui untuk apa belajar luas segitiga. Apa hubungannya dengan kehidupan sehari-hari mereka. Apa manfaatnya jika dia cakap dalam menghitung luas segitiga.

===============================
Contoh pengajaran tentang jarak:
*Jarak Matahari-Bumi sekitar 93.000.000 mil
Untuk itu, jika diadakan perjalanan dengan kecepatan 100 mil/jam,
maka memerlukan waktu 930.000 jam = 38.750 hari = 106 tahun.

**Bintang terdekat dengan matahari adalah Proxima Centuri.
Jaraknya sekitar 4,3 tahun cahaya dari Matahari.
Satu tahun cahaya sama dengan 5.880.000.000.000 mil = 9.460.000.000.000 km.
Untuk itu, jika diadakan perjalanan dengan kecepatan 100 mil/jam,
Maka memerlukan waktu 94.600.000.000 jam = 39.416.667 hari = 1.642.361 bulan = 4.499 tahun.
Berarti 4,3 tahun cahaya = 19,346 tahun.

*** Apa maksudnya?
Murid diajak berpikir tentang bintang-bintang yang selama ini dilihat di malam hari dengan kerlap kerlip sinarnya. Jika cahaya dari bintang terdekat dengan matahari saja memerlukan perjalanan 19,346 tahun cahaya, kemudian jarak bumi ke matahari adalah 106 tahun. Maka boleh jadi cahaya matahari pada siang hari maupun cahaya bintang yang tampak oleh mata kita pada malam itu merupakan cahaya yang dihasilkan pada waktu yang berbeda dengan di Bumi.
===============================

Begitu pun orang tua di rumah, yang mereka tanyakan kepada anak biasanya tidak jauh dari nilai yang berupa angka-angka. Jarang orang tua menanyakan bagaimana proses mereka belajar. Sehingga sebagian murid yang kurang percaya diri dengan kemampuan matematikanya akan terbiasa mencontek jawaban temannya tanpa menanyakan bagaimana proses mendapatkan jawaban tersebut. Namun sebagai guru, kurang etis jika menyalahkan orang tua begitu saja, karena mungkin mereka sendiri tidak mengetahui bagaimana seharusnya mengajarkan anaknya matematika. Introspeksi diri akan tugas sebagai seorang guru yang menjadi tumpuan harapan dapat mencetak murid-murid yang kaya nilai. Jika murid kaya nilai matematika, maka nilai kognitifnya akan berjalan beriringan.

Gagalnya guru dalam menerapkan nilai-nilai matematika secara menyeluruh akan menyebabkan proses belajar mengajar matematika menjadi kurang berkesan dan bermakna. Ada lubang-lubang yang menuntut untuk diisi namun tidak dapat terisi ketika pembelajaran yang dilaksanakan cenderung pragmatis, mementingkan produk daripada proses.

Pascasarjana Unesa, 13 Maret 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun