Noor Johan Nuh
Hari Minggu 20 Oktober 2024 pukul 10.05, setelah mengucapkan anak kalimat pasal 9 UUD 1945 yaitu; "....serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa,"---maka seluruh kekuasaan pemerintahan di Republik Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote, berada di tangan Parbowo Subianto, Presiden Indonesia ke 8.
Jika Presiden Soekarno mengawali pemerintahannya pada 18 Agustus 1945 dalam keadaan perangkat pemerintahan baru saja dibentuk dan sama sekali tidak memiliki dana untuk menjalankan pemerintahannya.
Jika Pejabat Presiden Soeharto mengawali pemerintahannya pada 12 Maret 1967 dalam keadan perekonomian terpuruk, tingkat inflasi 650%, ditambah stabilitas politik dan keamanan sangat buruk.
Begitu juga yang dialami Presiden Prabowo, mengawali pemerintahannya dalam keadaan perekonomian tidak baik-baik saja---ruang fiskal sangat sempit seperti tergambar dalam APBN 2025.
Total  APBN 2025 yang disahkan oleh DPR tanggal  19 September sebesar Rp.3.621,3 triliun.Â
Defisit 2,53% atau sebesar Rp.616,2 triliun.
Penerimaan negara dari pajak dan PNBP Rp.3.005,1 triliun.
Belanja Kementrian/Lembaga Rp. 1.541,4 triliun.
Transfer ke Daerah Rp.919,9 triliun.
Pembayaran utang Rp.800,33 triliun.
Pertanyaanya; Apakah defisit sebesar Rp.616,2 triliun itu cukup? Jika tidak cukup maka penambahan defisit dibatasi oleh UU yaitu maksimun 3% dari PDB, dan penambahan defisit berarti menambah utang baru sementara utang yang diwariskan oleh pemerintahan sebelumnya sudah sangat besar.
Lalu apakah penerimaan sebesar Rp.3.005,1 triliun akan tercapai? Â Kondisi perekonomian yang terpuruk berdampat target tersebut sulit dicapai. Menurut BPS, sudah 5 bulan Indonesia mengalami deflasi. Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Maraknya pemutusan hubungan kerja dan sangat sedikit lapangan kerja baru menandakan bahwa deflasi terjadi karena pelemahan daya beli.
Reformasi perpajakan, perluasan basis pajak, peningkatan kepatuhan wajib pajak, sangat sulit tercapai karena melemahnya daya beli, ditambah tutupnya berbagai pabrik menandakan terjadi gejala deindustrialisasi.
Dan mengenai  belanja Kementrian/Lembaga Rp. 1.541,4 triliun yang sangat tidak memadai untuk memenuhi janji-janji kampanye. Apa lagi jika hendak menambah kementrian dan lembaga yang tentu memerlukan biaya yang tidak sedikit.
Tentu tidak sama dengan Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto di awal pemerintahannya, namun awal pemerintahan Presiden Prabowo juga mengalami kesulitan yang tidak kecil yaitu terbatasnya ruang fiskal.
Dengan terbatasnya ruang fiskal,  sangat sulit bagi Prabowo melunasi janji-janji kampanye dan bisa saja dalam 100 hari pemerintahannya, para penagih janji mulai bersuara.
Tentu saja kita berharap Presiden Prabowo berhasil mengatasinya seperti presiden pertama dan kedua Indonesia berhasil mengatasi masalah yang dihadapi saat itu. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H