Mohon tunggu...
noor johan
noor johan Mohon Tunggu... Jurnalis - Foto Pak Harto

pemerhati sejarah

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

12 Maret 1967, Pejabat Presiden Tidak Disumpah Sesuai Pasal 9 UUD 1945

11 Maret 2024   19:04 Diperbarui: 11 Maret 2024   19:08 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengucapan Sumpah Pejabat Presiden Soeharto Dibacakan Ketua MPRS Jenderal AH Nasution, 12 Maret 1967 (foto;Sekneg) 

Tanggal 20 Juni sampai 5 Juli 1966 berlangsung Sidang Umum IV MPRS. Dalam sidang itu, tokoh  yang lolos dari pembunuhan kudeta Gerakan 30 September (G30S), Jenderal AH Nasution, terpilih menjadi Ketua MPRS menggantikan Wiluyo Puspoyudo.

Dalam sidang itu dikeluarkan Keputusan MPRS no. 5 tahun 1966 yaitu meminta Presiden Soekarno melengkapi pertanggungjawabannya yang diberi judul Nawaksara.

Selain itu,  dikeluarkan beberapa ketetapan mulai dari Surat Perintah 11 Maret 1966 dikukuhkan menjadi Ketetapan MPRS no IX tahun 1966.

Keppres no 1/3 tahun 1966 tentang pembubaran PKI menjadi Ketetapan MPRS no XXV tahun 1966.

Ketetapan MPRS no XIII tahun 1966 tentang pembentukan Kabinet Ampera dan Jenderal Soeharto sebagai Ketua Presedium Kabinet.

Ketetapan MPRS no XV tahun 1966 menetapkan  jika Presiden berhalangan maka Pengemban Supersemar sebagai Pejabat Presiden.                   

Dengan ketetapan-ketetapan MPRS tersebut, posisi politik Jenderal Soeharto menjadi sangat kuat.                                                             

Dalam posisi politik seperti itu ia didesak untuk  mengakhiri dualisme pimpinan nasioanal yakni Presiden Soekarno dan Jenderal Soeharto.

Desakan itu ditolak. Dalam otobiografi Soeharto ditulis; "Jika memaksa saya menjadi Presiden, silahkan cari orang lain saja."

Di tengah kondisi politik dan ekonomi yang terpuruk ditambah dualisme pimpinan nasional saat itu, pada Maret 1967 MPRS mengadakan Sidang Istemewa.                                                                    

Dalam sidang itu, fraksi-fraksi di MPRS sebagai representasi Partai Politik, ditambah Utusan Golongan dan Utusan Daerah, mendesak agar Jenderal Soeharto ditetapkan menjadi presiden menggantikan Presiden Soekarno.

Akan tetapi desekan dari lembaga tertinggi sementara itu juga ditolak. Soeharto hanya bersedia menjadi Pejabat Presiden dan jika dalam satu tahun tidak mampu harap diganti.

Akhirnya kehendak Jenderal Soeharto disetujui oleh MPRS.

Satu hari sebelum pelantikan, Sekretaris Pribadi Jenderal Soeharto Alamsjah Ratu Perwiranegara menemui Ketua MPRS Jenderal Nasution,   menyampaikan pesan bahwa Jenderal Soeharto  tidak bersedia mengucapkan sumpah sesuai Pasal 9 UUD 1945.

Tentu saja pesan itu sangat mengagetkan karena pengucapan sumpah presiden sudah diagendakan sebagai acara puncak dan ditulis di undangan yang sudah tersebar.                                                                                                                                   

Dalam memoarnya Nasution menuliskan;  "Satu pendadakan, Saya merasa terjepit antara Pejabat Presiden dengan  Pimpinan MPRS dan Pimpinan Fraksi, Utusan Daerah serta Utusan Golongan."

Dikatakan oleh Nasution bahwa Pejabat Bupati, Pejabat Camat pun sebelum memangku jabatannya harus disumpah terlebih dahulu, apalagi Pejabat Presiden.

Atas saran Alamsyah, Nasution mengirim surat kepada Soeharto yang isinya menjelaskan bahwa pengambilan sumpah Pejabat Presiden sudah diagendakan dan menjadi acara puncak Sidang Istimewa MPRS.

Akan tetapi Soeharto tetap kekeh dengan pendiriaannya dan dalam surat balasan seperti ditulis di memoir Nasution disebutkan; "Saya tidak melihat suatu keharusan konstitusional mengenai pengambilan sumpah Pejabat Presiden, yang disumpah adalah Presiden, bukan mandatarisnya."

 Akhirnya Nasution mengambil jalan tengah. Acara pengambilan sumpah tetap ada, tapi yang mengambil sumpah bukan Ketua Mahkamah Agung melainkan Nasution sendiri  sebagai Ketua MPRS. Perubahan ini hanya diberitahukan kepada para Wakil Ketua MPRS saja, sedangkan   anggota MPRS dan para undangan tidak diberitahu.

Tanggal 12 Maret 1967 pukul 22.12, Ketua MPRS Jenderal AH Nasution membacakan pasal 4 Ketetapan MPRS no XXXIII/ 1967, diikuti oleh Jenderal Soeharto yang berdiri dihadapannya.

Usai acara puncak Sidang Umum IV MPRS/1967 maka berakhirlah dualisme pimpinan nasional yang sudah berlangsung hampir dua tahun sejak kudeta Gerakan 30 September/PKI, 1 Oktober 1965. []

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun