Noor Johan Nuh
Ditunjuknya anak sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka menjadi calon wakil presiden mendampingi calon presiden Prabowo Subianto dalam pemilihan umum (Pemilu) 2024, menimbulkan kegaduhan dari mereka yang tidak setuju, dan yang setuju membela habis-habisan  hingga kegaduhan bertambah riuh.
Berbagai argumen dilontarkan oleh para yang tidak setuju, dan berbagai alasan  dijadikan landasan membenarkan Gibran menjadi Cawapres.                                                                   Â
Salah satu tokoh partai yang setuju memberikan contoh tentang pemimpin-peminpin muda di dunia yang mumpuni, tapi ia alpa menyebutkan bahwa para pemimpin muda dunia itu bukan anak presiden dan kapasitas sebagai pemimpin sudah teruji sebelumnya.
Adalah Cawapres menjadi penting dan serius  karena kapasitasnya harus tidak berbeda jauh dengan Capres.                                  Â
Cawapres tidak sekedar ban serep yang dipakai saat dibutuhkan, Â akan tetapi, berdasarkan Undang-Undang Dasar pasal 8 ayat 1; "Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya."
Wapres harus siap menjadi Presiden, karena itu, Â kapasitas Wapres harus benar-benar mumpuni. Ia harus menguasai masalah politik global, regional dan domestik, menguasai makro ekonomi, masalah sosial politik, pertahanan keamanan dan berbagai masalah kebangsaan lainnya.
Gibran yang dapat maju sebagai Cawapres berkat keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menambahkan norma bahwa Kepala Daerah dapat dicalonkan meskipun berusia belum empat puluh tahun, pada awalnya, keputusan ini mendapat kritik keras dari Yusril Ihza Mahaendra, Ketua Umum Partai Bulan Bintang, salah satu partai koalisinya Prabowo.
Dalam kritiknya Yusril mengatakan: "putusan MK mengandung penyelundupan hukum." Â Meskipun mengkritik keras putusan MK, akan tetapi Yusril tetap dalam koalisi dan patuh pada Cawapres pilihan Prabowo.
Memang agak janggal, partai-partai koalisi lainnya yang sebelumnya sudah menggadang-gadang Cawapres masing-masing  untuk mendampingi Prabowo---seperti Yusril---mereka patuh dengan Cawapres pilihan Prabowo.
Bisa saja kepatuhan partai-partai itu karena terperangkap Undang-undang no 7 tahun 2017 tentang Pemilu pasal 235 Â ayat 5; Â "Dalam hal partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi syarat mengajukan pasangan calon tidak mengajukan bakal pasangan calon, partai politik bersangkutan dikenai sanksi tidak mengikuti pemilu berikutnya."
Partai-partai koalisi Prabowo tidak punya pilihan selain mendukung Cawapres pilihan Prabowo. Jika tidak mendukung dan ke luar dari koalisi akan disanksi tidak bisa ikut pemilu berikutnya. Sedangkan ikut ke koalisi Anis atau Ganjar tidak dimungkinkan lagi karena keduanya sudah mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum.
Selain itu, yang membuat kegaduhan politik tidak akan segera  reda adalah sikap dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menghadapi kadernya dijadikan Cawapres dari partai lain. Apa langkah yang akan diambil oleh PDIP menghadapi kader yang loncat pagar?  Kita tunggu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H